^ asaL – USUL SUKU PAKPAK silima SUAK ^
MATANARI PAKPAK PEGAGAN
Pakpak-Dairi
Suku Pakpak berasal dari keturunan imigran bangsa atau suku dari India
Selatan (kerajaan Colamandala) yang pernah menyerang dan menahlukkan kerajaan
Sriwijaya (di Palembang) hingga raja Sri Sangramawijaya Tunggawarman tertawan
(1025 M). Kerajaan Sriwijaya ini akhirnya runtuh tahun tahun 1337 M, yang
menyebabkan terjadi penyebaran manusia sehingga terbentuk suku Pakpak suak
Pegagan sekitar 600 tahun yang silam. Diduga manusia pendatang (imigran)
pertama yang masuk ke tanah Pakpak, Karo dan Gayo (Alas) adalah sama
nenek-moyangnya, karena kata menyebutkan air (kebutuhan utama manusia) adalah
hampir sama. Air bahasa pakpak adalah Lae, bahasa Karo adalah Lau dan bahasa
Gayo (Alas) adalah Lawe. Kemiripan kata-kata dalam bahasa Pakpak dengan bahasa
Karo adalah relatip besar. Jika di Tanah Karo terkenal Marga Silima, di Tanah
Pakpak terkenal Pakpak Lima Suak (sama-sama kata lima).
Suku Pakpak-Dairi terdiri dari lima (5) suak yang menempati wilayah (hak
wilayat) masing-masing, yakni:
1. Pakpak suak Boang, di daerah Boang, Singkil, Sbullusalam, daerah Aceh dan
sekitarnya.
2. Pakpak suak Klassan, di derah Parlilitan, Pakkat dan sekitarnya, misalnya marga di daerah Urang julu (disebut: daerah Sionem Koden) adalah Simbuyak-mbuyak (tidak berketurunan), Turuten, Pinayungen, Maharaja, Tinambunen, Tumangger dan Anak Ampun (artinya anak bungsu, sering disebut Nahampun) dan didaerah pakat marga Meka dan lain lain,
3. Pakpak suak Simsim, didaerah kecamatan Kerajaan, Salak dan sekitarnya, misalnya marga Kabeaken, Brutu (Sinaga..?), Padang (Situmorang..?), Padang Batanghari (keturunan Parrube Haji…?), Sitakar, Tinendung, dan lain lain.
4. Pakpak suak Keppas, misalnya keturunan si Naga Jambe yang mulanya berasal dari daerah Sicikeh-cikeh dan kemudian berkembang didaerah Sidikalang yakni ada 7 marga yaitu, Raja Udjung, Raja Angkat, Raja Bintang, Raja Capah, Raja Gajah Manik, Raja Kudadiri dan Raja Sinamo.
5. Pakpak Pegagan, di daerah Pegagan (meliputi daerah Balna Sibabeng-kabeng, Lae Rias, Lae Pondom, Sumbul, Juma Rambah, Kuta Manik, Kuta Usang dan sekitarnya, hanya ada tiga (3) marga, yaitu (1) Raja Matanari, (2) Raja Manik, dan (3) Raja Lingga.
2. Pakpak suak Klassan, di derah Parlilitan, Pakkat dan sekitarnya, misalnya marga di daerah Urang julu (disebut: daerah Sionem Koden) adalah Simbuyak-mbuyak (tidak berketurunan), Turuten, Pinayungen, Maharaja, Tinambunen, Tumangger dan Anak Ampun (artinya anak bungsu, sering disebut Nahampun) dan didaerah pakat marga Meka dan lain lain,
3. Pakpak suak Simsim, didaerah kecamatan Kerajaan, Salak dan sekitarnya, misalnya marga Kabeaken, Brutu (Sinaga..?), Padang (Situmorang..?), Padang Batanghari (keturunan Parrube Haji…?), Sitakar, Tinendung, dan lain lain.
4. Pakpak suak Keppas, misalnya keturunan si Naga Jambe yang mulanya berasal dari daerah Sicikeh-cikeh dan kemudian berkembang didaerah Sidikalang yakni ada 7 marga yaitu, Raja Udjung, Raja Angkat, Raja Bintang, Raja Capah, Raja Gajah Manik, Raja Kudadiri dan Raja Sinamo.
5. Pakpak Pegagan, di daerah Pegagan (meliputi daerah Balna Sibabeng-kabeng, Lae Rias, Lae Pondom, Sumbul, Juma Rambah, Kuta Manik, Kuta Usang dan sekitarnya, hanya ada tiga (3) marga, yaitu (1) Raja Matanari, (2) Raja Manik, dan (3) Raja Lingga.
Marga (Raja) Matanari, Manik dan Lingga adalah keturunan Papak Suak Pegagan
(disebut si Raja Gagan ataupun si Raja Api). Si Raja Api adalah salah seorang
dari Pitu (7) Guru Pakpak Sindalanen (yakni keturunan Perbuahaji) . yang cukup
terkenal ilmu kebatinannya (dukun yang disegani , ditakuti dan tempat belajar
atau berguru ilmu kebatinan) diketahui melalui legenda yang cukup terkenal di
daerah Pakpak, Karo Simalem dan mungkin juga di Gayo ..? (Alas). Apabila Pitu
Guru Pakpak Sindelanan bersatu, maka dianggap sudah lengkaplah ilmu kebatinan
yang dipelajari orang pada zaman dahulu, yakni meliputi:
1. Raja Api (Raja Gagan) di daerah Pakpak Suak Pegagan, adalah dukun (datu)
yang mempunyai ilmu kebatinan Aliran Ilmu Tenaga Dalam, yang menyerupai tenaga
Api (misalnya disebut: Gayung Api, apabila kena pukulanya akan terbakar atau
gosong, Tinju Marulak, yakni justru orang yang memukulnya yang mengalami efek
pukulan, dan lain lain), Ilmu kebatinan yang dikuasai dan dikembangkan si Raja
Api dan keturunnya berkaitan dengan pembelaan diri, berkelahi, dan berperang
melawan musuh.
2. Raja Angin di daerah Pakpak Suak Keppas, adalah dukun yang mempunyai ilmu kebatinan sperti tenaga angin. Kalau angin kuat berhembus (topan) dapat merobohkan yang kuat dan besar. Kalau angin berhembus lambat, tidak akan terasa dan tidak dapat dilihat, tetapi mereka ada. Jadi dapat tiba-tiba si Dukun (yang mempunyai ilmu ini) tiba-tiba ada di depan mata kita.
3. Raja Tawar pergi ke Tanah Karo Simalem, adalah dukun yang mempunyai ilmu kebatinan berkaitan dengan obat-obatan ramuan tradisional. Terbukti di daerah tanah Karo Simalem berkembang ilmu pengobatan Ramuan Tradisional, pengobatan Patah Tulang, luka terbakar dan lain lain, yang kadang kala lebih hebat dari pengobatan ilmu medis (kedokteran).
4. Raja Lae atau Lau atau Lawe yang pergi ke daerah Tanah Karo Simalem atau daerah Gayo-Alas. Lae = lau = lawe berarti air (bahasa suku Toba disebut aek). Raja Lae adalah dukun yang mempunyai ilmu kebatinan yang dapat mendtangkan hujan, mencegah turun hujan di suatu tempat atau mengalihkan hujan dari satu tempat ke tempat lain (disebut Pawang Hujan).
5. Raja Aji di daerah Pakpak Suak Simsim sekitar kecamatan Kerajaan, Salak dan sekitarnya. Raja Aji adalah dukun yang mempunyai aliran ilmu Membuat dan Pengobatan penyakit Aji-ajian (Guna-guna, misalnya Aji Turtur, Gadam,Racun, dan lain lain).
6. Raja Besi di daerah Pakpak Suak Kellasen, adalah dukun yang mempunyai ilmu kebatinan yang berhubungan alat-alat terbuat dari besi. Misalnya ilmu tahan (kebal) ditikam dengan pisau, kebal digergaji, terhindar dari atau kebal peluru senjata api, dan lain lain.
7. Raja Bisa di daerah Pakpak Suak Boang, adalah dukun yang mempunyai ilmu kebatinan yang berhubungan dengan pembuatan dan Pengobatan yang ditimbulkan oleh Bisa, missal bisa ular, kalajengking, lipan, laba-laba, dll
2. Raja Angin di daerah Pakpak Suak Keppas, adalah dukun yang mempunyai ilmu kebatinan sperti tenaga angin. Kalau angin kuat berhembus (topan) dapat merobohkan yang kuat dan besar. Kalau angin berhembus lambat, tidak akan terasa dan tidak dapat dilihat, tetapi mereka ada. Jadi dapat tiba-tiba si Dukun (yang mempunyai ilmu ini) tiba-tiba ada di depan mata kita.
3. Raja Tawar pergi ke Tanah Karo Simalem, adalah dukun yang mempunyai ilmu kebatinan berkaitan dengan obat-obatan ramuan tradisional. Terbukti di daerah tanah Karo Simalem berkembang ilmu pengobatan Ramuan Tradisional, pengobatan Patah Tulang, luka terbakar dan lain lain, yang kadang kala lebih hebat dari pengobatan ilmu medis (kedokteran).
4. Raja Lae atau Lau atau Lawe yang pergi ke daerah Tanah Karo Simalem atau daerah Gayo-Alas. Lae = lau = lawe berarti air (bahasa suku Toba disebut aek). Raja Lae adalah dukun yang mempunyai ilmu kebatinan yang dapat mendtangkan hujan, mencegah turun hujan di suatu tempat atau mengalihkan hujan dari satu tempat ke tempat lain (disebut Pawang Hujan).
5. Raja Aji di daerah Pakpak Suak Simsim sekitar kecamatan Kerajaan, Salak dan sekitarnya. Raja Aji adalah dukun yang mempunyai aliran ilmu Membuat dan Pengobatan penyakit Aji-ajian (Guna-guna, misalnya Aji Turtur, Gadam,Racun, dan lain lain).
6. Raja Besi di daerah Pakpak Suak Kellasen, adalah dukun yang mempunyai ilmu kebatinan yang berhubungan alat-alat terbuat dari besi. Misalnya ilmu tahan (kebal) ditikam dengan pisau, kebal digergaji, terhindar dari atau kebal peluru senjata api, dan lain lain.
7. Raja Bisa di daerah Pakpak Suak Boang, adalah dukun yang mempunyai ilmu kebatinan yang berhubungan dengan pembuatan dan Pengobatan yang ditimbulkan oleh Bisa, missal bisa ular, kalajengking, lipan, laba-laba, dll
Setelah si Raja Api mempunyai keturunan 3 orang anak laki-laki, maka salah
seorang putranya diberi nama Raja Matanari (berasal dari arti Matahari). Si
Raja Api menginginkan ilmu/tenaga kebatinan yang dimiliki putranya harus
melebihi tenga Api seperti yang telah dimilikinya. Keinginan si Raja Api,
putranya harus mempunyai ilmu kebatinan/tenaga dalam menyerupai tenaga
(kekuatan) Matahari.
Pada mulanya Pakpak Pegagan (si Raja Api), bapa dan kakeknya adalah manusia
Nomade (mendapat makanan dari alam, hanya memanen hasil hutan dan hasil berburu
binatang, menangkap ikan dan tinggal berpindah-pindah). Diduga mereka pertama
sekali tinggal sekitar hutan Lae Rias dan Lae Pondom, sehingga perkampungan
mereka yang pertama diyakini adalah di sekitar Lae Rias di hulu (takal) sungai Lae
Patuk, yakni daerah di atas daerah Silalahi. Kuburan si Raja Api dan
orangtuanya serta beberapa keturunannya Raja Matanari diduga disekitar hutan
Lae Rias, yang menurut Legenda disebut daerah Sembahan (keramat) SIMERGERAHGAH,
Simergerahgah adalah mpung si Perbuahaji (yang memperanakkan si Raja Api =
Pakpak Pegagan) keturunan orang/suku Imigran dari India yang masuk dari daerah
Barus.
Sesuai perkembangan zaman dan kebudayaan, keturunan Pakpak Pegagan tersebut
di atas mengalami perubahan dari budaya Nomade menjadi Petani Berpindah-pindah.
Mereka berpindah-pindah mencari lahan yang lebih subur, dan setelah agak tandus
kemudian ditinggalkan. Sistim pertanian berpindah-pindah ini mengarahkan mereka
dan keturunanya bergerak ke arah Balna Sikabeng-kabeng, Kuta Gugung, Kuta
Manik, Kuta Raja, Kuta Singa, Kuta Posong, Sumbul Pegagan, Batangari
(Batanghari), Juma Rambah, Simanduma, sampai daerah Tigalingga.
Pakpak Suak Pegagan hanya ada tiga (3) marga yaitu Raja Matanari, Raja Manik
dan Raja Lingga.
Sesuai dengan perkembangan kebudayaan, zaman dan sejarah akhirnya
masing-masing keturunan 3 putra si Raja Api Pakpak suak Pegagan menempati
daerah Balna Sikaben-kabeng dan Kuta Gugungserta sekitarnya (keturunan Raja
Matanari), daerah Kuta Manik dan Kuta Raja serta sekitarnya (Raja Manik).dan
daerah Kuta Singa dan Kuta Posong serta sekitarnya (Raja Lingga). Kuta
(kampung) yang lain adalah perkembangan (pertambahan) pada generasi
berikutnya…..info lebih jelas lihat di www.pakpakonline.com atau
www.pakpakbharat.go.id
Review Buku Silsilah Marga Manik Pakpak Dairi
Kali ini saya coba membuat resensi buku sejarah silsilah marga Manik yang
berasal dari Pakpak Dairi,buku ini ditulis oleh Bp.Mansehat Manik,S.Pd salah
seorang keturunan marga Manik dari Pakpak yang saat ini masih menjabat sebagai
Ketua DPRD Kabupaten Pakpak Bharat juga anggota Majelis Pusat Gereja Kristen
Protestan Pakpak Dairi (GKPPD).
Selama ini pihak keturunan Raja Borbor ataupun yang lebih kecilnya lagi
keturunan Silau Raja dari Toba selalu mengklaim bahawa semua marga yang
berbunyi Manik entah dari Toba,Damanik di Simalungun,Karo-Karo Manik di Karo
dan Manik di Pakpak Dairi seakan-akan membuat sebutan “manik” adalah Hak
Ekslusif dari pihak Toba semata.
Mari kita perdalam buku ini…
Diceritakan dalam Sejarah Pihak Pakpak maka asal mereka adalah dari India
Selatan yaitu dari Indika Tondal ke Muara Tapus dekat Barus lalu berkembang di
Tanah Pakpak dan menjadi Suku Pakpak.Pada dasarnya mereka sudah mempunyai marga
sejak dari negeri asal namun kemudian membentuk marga baru yang tidak jauh
berbeda dengan marga aslinya.
Tidak semua Orang Pakpak berdiam di atas Tanah Dairi namun mereka juga
berdiaspora,meninggalkan negerinya dan menetap di daerah baru.
1. Sebagian tinggal di Tanah Pakpak dan menajadi Suku Pakpak “Situkak Rube:,”Sipungkah
Kuta” dan “Sukut Ni Talun” di Tanah Pakpak.
2. Sebagian ada pergi merantau ke daerah lain,membentuk komunitas baru.Dia tahu asalnya dari Pakpak dan diakui bahwa Pakpak adalah sukunya namun sudah menjadi marga di suku lain.
3. Ada juga yang merantau lalu mengganti Nama dan Marga dengan kata lain telah mengganti identitasnya.
2. Sebagian ada pergi merantau ke daerah lain,membentuk komunitas baru.Dia tahu asalnya dari Pakpak dan diakui bahwa Pakpak adalah sukunya namun sudah menjadi marga di suku lain.
3. Ada juga yang merantau lalu mengganti Nama dan Marga dengan kata lain telah mengganti identitasnya.
Diceritakan bahwa Nenek Moyang awal Pakpak adalah Kada dan Lona yang pergi
meninggalkan kampungnya di India lalu terdampar di Pantai Barus dan terus masuk
hingga ke Tanah Dairi,dari pernikahan mereka mempunyai anak yang diberi nama
HYANG.Hyang adalah nama yang dikeramatkan di Pakpak.
Hyang pun besar dan kemudian menikah dengan Putri Raja Barus dan mempunyai 7
orang Putra dan 1 orang Putri yaitu :
1. Mahaji
2. Perbaju Bigo
3. Ranggar Jodi
4. Mpu Bada
5. Raja Pako
6. Bata
7. Sanggar
8. Suari (Putri)
2. Perbaju Bigo
3. Ranggar Jodi
4. Mpu Bada
5. Raja Pako
6. Bata
7. Sanggar
8. Suari (Putri)
Pada urutan ke 4 terdapat nama Mpu Bada,Mpu Bada adalah yang terbesar dari
pada saudara-saudaranya semua,bahkan dari pihak Toba pun kadangkala mengklaim
bahwa Mpu Bada adalah Keturunan dari Parna dari marga Sigalingging,gimana
bisa?sedangkan pada sejarah sudah jelas-jelas bahwa Mpu Bada adalah anak ke 4
dari Hyang..makanya perlu hati-hati jika memperhatikan pembalikan fakta sejarah
yang sering dilakukan oleh Pihak Toba dewasa ini.
Anak Sulung,Mahaji mempunyai Kerajaan di Banua Harhar yang mana saat ini
dikenal dengan nama Hulu Lae Kombih,Kecamatan Siempat Rube.
Parbaju Bigo pergi ke arah Timur dan membentuk Kerajaan Simbllo di
Silaan,saat ini dikenal dengan Kecamatan STTU Julu.
Ranggar Jodi pergi ke arah Utara dan membentuk Kerajaan yang bertempat di
Buku Tinambun dengan nama Kerajaan Jodi Buah Leuh dan Nangan Nantampuk
Emas,saat ini masuk Kecamatan STTU Jehe.
Mpu Bada pergi ke arah Barat melintasi Lae Cinendang lalu tinggal di Mpung
Si Mbentar Baju.
Raja Pako pergi ke arah Timur Laut membentuk Kerajaan Si Raja Pako dan
bermukim di Sicike-cike.
Bata pergi ke arah Selatan dan menikah kemudian hanya mempunyai seorang
Putri yang menikah dengan Putra Keturunan Tuan Nahkoda Raja.Dari sini menurunkan
marga Tinambunen,Tumangger,Maharaja,Turuten,Pinanyungen dan Anak Ampun.
Sanggir pergi ke arah Selatan tp lebih jauh daripada Bata dan mmbentuk
Kerajaan di sana,dipercaya menjadi nenek moyang marga Meka,Mungkur dan Kelasen.
Suari Menikah dengan Putra Raja Barus dan memdiam di Lebbuh Ntua.
Marga Manik diturunkan oleh Mpu Bada yang mempunyai 4 orang anak yaitu :
1. Tndang
2. Rea sekarang menjadi Banurea
3. Manik
4. Permencuari yang kemudian menurunkan marga Boang Menalu dan Bancin.
2. Rea sekarang menjadi Banurea
3. Manik
4. Permencuari yang kemudian menurunkan marga Boang Menalu dan Bancin.
Ditulis oleh : Mansehat Manik,S.pd
SUMBER : SUKU pakPAK COMUNITY
SUMBER : SUKU pakPAK COMUNITY
sukut sukuten
kisah sepasang suami istri yang saling cinta dan saling
sayang tapi kurang musyawarah/arih arih.
sang suami kerj tukang mungut getah kemennyan/ per kemenjen
sang istri ngurus rumah dll.
si suami lot jam tangan na tapi oda ne mertali serrap.
si istri gedang buk na tapi oda lot bando ket eket buk na.
pas mo hari onan meronan mo kalak en dua na tapi oda rebakkn jolo mo si suami en meronan merdea kmenjen na asa lot lako mahan belanja kalak i.
si istri pe meronan ma tapi lako ki gtapken buk na janah buk nen idea na mo buk na ndai itokorkrn mo tali jam, lako mahan tali jam suami na sangkin kllengna ate na mendahi suami na ndai, asa tambah maholi daholi ken bagi atena..
si suami ndai pe enggo kksa i deaken kmenjen na ndai belanja mo iya menokor beras ket ikan janh pas pas ngo kepng na jadi ona ne lot tading. ibgs niat na kin ning menokor bando ket ikat rambut lako man bren kenna mendahi istri nen. owh cpeh asa lolo nan istriku katena ideaken mo jam tangan na si oda mer tali ndai itokorken mo bando ket ikat rambut lako men dahi istrina ndai.
enggo mo cibon ari mulak mo kalak en duana tapi oda ma rebakken bagas ate kalak en dua na lako ki pesennang ukur mo duana tapi oda si mer betohen.
soh mo isapo..
suami:> dek en lot ku tokor bando mu ket eket buk mi da asa tambah mbru ko imo dah ko seyang na aq bamu....enggo ku dea jam tangan ku lako menokor en
istri:> yahhhhhh le abg... enggo mo ku gtapken buk ku ku tokorken mi tali jam asa mertali jam daholi ku bagi ate ku en kune mi..?
suami: yah kasa oda i bgah ken ko..?
istri: yah ko pe oda ma i bahaken ko.?
jadi mer siroi kalak en krna enggo mago sia kepeng oda mer guna imo akibat na oda lot musyawarah/mupakat kalak en si dua.
mendahiken dengan dengan krina musyawarah/ mupakat i penting kalon ngo kppe..asa olang peol/sia sia bage crita ni dates..
njuah njuah.
EMPAMA/PANTUN PAKPAK
ibuat kalakati asa lot menaka pinag
asa lot dengan napuren
ni ruap le kata sentabi mendahi
karina dengan ta pulung
dulang mo daling kasumpat
si tagke mahan pengenahen
mla mer sirang ulang mo merubat
mennde sppe mer sitenahen
kitik ngo si buah mburle
buah kempaba ngo i oreken
cituk ngo dalan asa mbue
narapken taba mo tangan mreken
aceh si pihir tulan
mbllang tanoh na mahan pilihen
sa maseh mo ate tuhan
i pedaoh mo krina per selisihen
cibako bulung nintuba
kapias mo bulung nintalun
krna simbak dekkt pertua
knnah ruap ngo merkata lalun
mbulak si kayu rube
ngulang soh mi tahuma
mulak pe kami lbbe
sekalen njola kita pejumpa
ndabuh si rimo mungkur
mertinggang rimo kejaren
kene si gedang ukur
kami en mahan ajaren
bigo bigo menum tasari
buah ni salak mer jari jari
bagi mo lbbe kata i pesakat kami
tah kurang mnde ulang lupa ke mengajari
dua lubang ni sige
sada mahan grit griten
tah soh mi ladang dike
ulang ma mo mbernit mberniten
isuan mo page mentr turah dukut
ni suan dukut oda turah mer dengan page
ni suan pe kini mende geut dak kelduk
makin ni bain ngkelduk
makin ndaoh krina kini mnde
kudok dalan mi juma
kppe dalan ki ranting
ku dok dalanta jumpa
kppe dalan ku tading
rirang rirang buah gumparing
ruah ruah dahan parira
gia pe kita sirang
njuah njuah mo banta krina
mbulak si kayu rube
ruah ruah dahan parira
mulak mo aq lbbe
njuah njuah mo banta karina.
maju trus rebak rebak ken mo kita ki pekade lebuh ta i asa boi ma kita nduma bage si deban i
njuah njuah oang oang
arnia lot mo sada gajah soh mbelgahna janah nina ia mo si mahantu na /jago kalon glarna GAJAH BANGGAL.
lot ma mo PLANDUK/KANCILl soh pandena ki pesagut sagut/propokator.
lot ma mo NIPE/ULAR mbelgah kalon ma gedangna 50 m janah pe mengaku ia ma mo si kuat na ,simahantuna.
lot ma CIBLLEK MANTIR ANTIR/PEMAKAN DAGING YG SANGAT RAKU DAN KUAT MAKAN
pas sada hari..
PLANDUK : pung nina menenggoi gajah en
GAJAH: kade..????
PLANDUK: mbegahna ko ni pung kate mu oda ne mo ise lot berani ki alo ko..?????
GAJAH:kate mu kin mo kunu ise deng berani mengalo aq i portibi en knnah ku reppuk ..
PLANDUK; sombongna ko ni pung kaduan lot ngo mengalo ko i tenggen dah ko..
GAJAH: kum lot deng ise berani mengalo aq dokken sambing mo asa ku sudahi ..asa i tandai le aq gajah baggal..
PLANDUK: uwe pung...
laus mo planduk en menulusi igonggen letja asal nai ngo boi ki pesagut sagut sagutken jumpa na mo sada nipe..
PLANDUK:oweeeee pung...
NIPE:kade we...??
PLANDUK:mbelgah na ma ko ni gedang mu pe sun .
NIPE: yah kate mu kunu aq ngo si raja kuson isen,, ise mengalo bangku knah ku tebbi/pagut,bisa enda pe lot ise pang/brani mengalo bangku..
PLANDUK:lot ngo pung tapi tah oda ko pang nina ia mango si raja ku son kum ise pang mangalo banggu knah mate ku bain nina pung kune berani ma ko.?????
NIPE:idike bekasna asa ta dahi asa i tandai ma lbbe aq si mate mate pe berani ngo aq..petuduh bangku we asa kudahi..
PLANDUK:bagi etamo ku petuduh bekasna.
laus mo planduk ket nipe en mendahi gajah ndai i pejumpaken mo nipa ket gajah en.jukmpa mo kalak i..
NIPE: oiiiiiiiiii gajah ku bgge ko enggo mahantu janh jago ma nina tuhu mang ngi..?
GAJAH:tuhu kade pana mengalo ko sasa ta cuba leken..?
NIPE: pejago jago kenna ko ni we..? enggo kate mu tralo ko ma aq.?
GAJAH:yah bage ko ndai ngo dokken lima nai
PLANDUK: ribut na ke ni pung duana main mo ke kidah tah ise ma si jago na..
main mo kalak i dua na i lilit nipe en mo gajah mbelgah ndai mentr mengamuk ma mo gajah i mbenceng i pe bellen blltek na mpestep mo nipe ndai roh nipe en bagi mate aq katena i tebbi mo/ ipagut gajah en dungna gajah bak nipe ndai.
planduk go cio takal na mate kalak en duana macik ma mo nhan mbau ma mer pikir mo ia owh.. lot kppekn mbisa mangan gule katena
laus ma mo ia menulusi si kuat mangan gule ndai dungna jumpa ma mo ia ket ci blek mantir antir
PLANDUK: pung ku bgge kabarna ko kuat mangan gule tih..?
CIBLLKMANTIR ANTIR:kuat mo da kum kum bage ko ketek na naing mo kate 1000 kalak we asa besur aq
PLANDUK: mentr..? bagi eta pakdenang lot sadenga gule mbue .
CIBLLKMANTIR ANTIR: eta tuhu daaaaaa..
laus mo kalak i mendahi gajah ket nipe si enggoi mate merubat ndai soh kssa lansung ipangan ci bllkmantir antir en mo daging gajah ket nipe ndai pas lako ningkrri udan roh gaya guyu nderas kalon mbiar mo planduk
PLANDUK; PUNG kuakui kuat ko mangan tapi en udan janha pulian/petir aq mbiar en kune mi
CIBLLKMANTIR ANTIR:yah roh ko pak en itruh isang ken mo ko asa ulang mbiar ken ulang taptap
laus mo palnduk en mi truh isang cibllekmanti anti en . enggo pana besur su cibllekmantir antir en enggo payh mer kessah mentr mencalit pulian/petir mpustak mo bltek ciblek mantir antir ndai dungna mate mo krina jumlah mate 4 nola mo . NIPE,GAJAH.CIBLLKMANTIR ANTIR,PLANDUK..
bagi mo sukut sukutenna/ceritana.
ta buat inti crita i dates..
berati oda gunana kita pejagojagoken/pantanmg so mbilak ulang mo ta contoh si bage crita en ..sada poda kasea..
i ceritaken pertua nami bapak muslim padang km20/desa simbruna kec sitellutali urang jehe STTUJ (sibande)
PEADAH SI TUA TUA
-ulang kita bage ki pikeke baka ndilo
-janah ulang ta tutu page apa apa
-ulang kohkohi besi buntal
-idilat le bibir asa i ruap rana
-ulang mengruap siso rana
-ulang memahan siso ulah
-ulang kipangan siso sulang
-ulang menjalo siso jambar
-sik sik lbbe asa tendds
-melangkah mi jolo dateken kabat mi podi
-ulang cicedur mi dates geut sangul mi abe
-janah getuk getuk koling ngo gluh en
-si talu lbbe asa ue mer laba
-kasah ngo kalak asa ue nduma
-ulang mo kita bage sanggar i uruk uruk
-ulang bage bulung gometen
-ulang nanjolo bibir
-ulang bage katcang lupa koling na
-enget si enggo salpun rasaken si bagendari janah ukuri si lako roh
-ulang bage takur takur mersisaongi dirina
-ulang menuan pejojorken siso roroh
-ulang mengkubak siso koling
-ulang menuan siso lppk
-ulang mengoltep gule tinuhuren
-ulang mengrungrung siso korn
-ulang peguguten siso sira
-ulang mengonjemken kerbo mi luhung
sang suami kerj tukang mungut getah kemennyan/ per kemenjen
sang istri ngurus rumah dll.
si suami lot jam tangan na tapi oda ne mertali serrap.
si istri gedang buk na tapi oda lot bando ket eket buk na.
pas mo hari onan meronan mo kalak en dua na tapi oda rebakkn jolo mo si suami en meronan merdea kmenjen na asa lot lako mahan belanja kalak i.
si istri pe meronan ma tapi lako ki gtapken buk na janah buk nen idea na mo buk na ndai itokorkrn mo tali jam, lako mahan tali jam suami na sangkin kllengna ate na mendahi suami na ndai, asa tambah maholi daholi ken bagi atena..
si suami ndai pe enggo kksa i deaken kmenjen na ndai belanja mo iya menokor beras ket ikan janh pas pas ngo kepng na jadi ona ne lot tading. ibgs niat na kin ning menokor bando ket ikat rambut lako man bren kenna mendahi istri nen. owh cpeh asa lolo nan istriku katena ideaken mo jam tangan na si oda mer tali ndai itokorken mo bando ket ikat rambut lako men dahi istrina ndai.
enggo mo cibon ari mulak mo kalak en duana tapi oda ma rebakken bagas ate kalak en dua na lako ki pesennang ukur mo duana tapi oda si mer betohen.
soh mo isapo..
suami:> dek en lot ku tokor bando mu ket eket buk mi da asa tambah mbru ko imo dah ko seyang na aq bamu....enggo ku dea jam tangan ku lako menokor en
istri:> yahhhhhh le abg... enggo mo ku gtapken buk ku ku tokorken mi tali jam asa mertali jam daholi ku bagi ate ku en kune mi..?
suami: yah kasa oda i bgah ken ko..?
istri: yah ko pe oda ma i bahaken ko.?
jadi mer siroi kalak en krna enggo mago sia kepeng oda mer guna imo akibat na oda lot musyawarah/mupakat kalak en si dua.
mendahiken dengan dengan krina musyawarah/ mupakat i penting kalon ngo kppe..asa olang peol/sia sia bage crita ni dates..
njuah njuah.
EMPAMA/PANTUN PAKPAK
ibuat kalakati asa lot menaka pinag
asa lot dengan napuren
ni ruap le kata sentabi mendahi
karina dengan ta pulung
dulang mo daling kasumpat
si tagke mahan pengenahen
mla mer sirang ulang mo merubat
mennde sppe mer sitenahen
kitik ngo si buah mburle
buah kempaba ngo i oreken
cituk ngo dalan asa mbue
narapken taba mo tangan mreken
aceh si pihir tulan
mbllang tanoh na mahan pilihen
sa maseh mo ate tuhan
i pedaoh mo krina per selisihen
cibako bulung nintuba
kapias mo bulung nintalun
krna simbak dekkt pertua
knnah ruap ngo merkata lalun
mbulak si kayu rube
ngulang soh mi tahuma
mulak pe kami lbbe
sekalen njola kita pejumpa
ndabuh si rimo mungkur
mertinggang rimo kejaren
kene si gedang ukur
kami en mahan ajaren
bigo bigo menum tasari
buah ni salak mer jari jari
bagi mo lbbe kata i pesakat kami
tah kurang mnde ulang lupa ke mengajari
dua lubang ni sige
sada mahan grit griten
tah soh mi ladang dike
ulang ma mo mbernit mberniten
isuan mo page mentr turah dukut
ni suan dukut oda turah mer dengan page
ni suan pe kini mende geut dak kelduk
makin ni bain ngkelduk
makin ndaoh krina kini mnde
kudok dalan mi juma
kppe dalan ki ranting
ku dok dalanta jumpa
kppe dalan ku tading
rirang rirang buah gumparing
ruah ruah dahan parira
gia pe kita sirang
njuah njuah mo banta krina
mbulak si kayu rube
ruah ruah dahan parira
mulak mo aq lbbe
njuah njuah mo banta karina.
maju trus rebak rebak ken mo kita ki pekade lebuh ta i asa boi ma kita nduma bage si deban i
njuah njuah oang oang
arnia lot mo sada gajah soh mbelgahna janah nina ia mo si mahantu na /jago kalon glarna GAJAH BANGGAL.
lot ma mo PLANDUK/KANCILl soh pandena ki pesagut sagut/propokator.
lot ma mo NIPE/ULAR mbelgah kalon ma gedangna 50 m janah pe mengaku ia ma mo si kuat na ,simahantuna.
lot ma CIBLLEK MANTIR ANTIR/PEMAKAN DAGING YG SANGAT RAKU DAN KUAT MAKAN
pas sada hari..
PLANDUK : pung nina menenggoi gajah en
GAJAH: kade..????
PLANDUK: mbegahna ko ni pung kate mu oda ne mo ise lot berani ki alo ko..?????
GAJAH:kate mu kin mo kunu ise deng berani mengalo aq i portibi en knnah ku reppuk ..
PLANDUK; sombongna ko ni pung kaduan lot ngo mengalo ko i tenggen dah ko..
GAJAH: kum lot deng ise berani mengalo aq dokken sambing mo asa ku sudahi ..asa i tandai le aq gajah baggal..
PLANDUK: uwe pung...
laus mo planduk en menulusi igonggen letja asal nai ngo boi ki pesagut sagut sagutken jumpa na mo sada nipe..
PLANDUK:oweeeee pung...
NIPE:kade we...??
PLANDUK:mbelgah na ma ko ni gedang mu pe sun .
NIPE: yah kate mu kunu aq ngo si raja kuson isen,, ise mengalo bangku knah ku tebbi/pagut,bisa enda pe lot ise pang/brani mengalo bangku..
PLANDUK:lot ngo pung tapi tah oda ko pang nina ia mango si raja ku son kum ise pang mangalo banggu knah mate ku bain nina pung kune berani ma ko.?????
NIPE:idike bekasna asa ta dahi asa i tandai ma lbbe aq si mate mate pe berani ngo aq..petuduh bangku we asa kudahi..
PLANDUK:bagi etamo ku petuduh bekasna.
laus mo planduk ket nipe en mendahi gajah ndai i pejumpaken mo nipa ket gajah en.jukmpa mo kalak i..
NIPE: oiiiiiiiiii gajah ku bgge ko enggo mahantu janh jago ma nina tuhu mang ngi..?
GAJAH:tuhu kade pana mengalo ko sasa ta cuba leken..?
NIPE: pejago jago kenna ko ni we..? enggo kate mu tralo ko ma aq.?
GAJAH:yah bage ko ndai ngo dokken lima nai
PLANDUK: ribut na ke ni pung duana main mo ke kidah tah ise ma si jago na..
main mo kalak i dua na i lilit nipe en mo gajah mbelgah ndai mentr mengamuk ma mo gajah i mbenceng i pe bellen blltek na mpestep mo nipe ndai roh nipe en bagi mate aq katena i tebbi mo/ ipagut gajah en dungna gajah bak nipe ndai.
planduk go cio takal na mate kalak en duana macik ma mo nhan mbau ma mer pikir mo ia owh.. lot kppekn mbisa mangan gule katena
laus ma mo ia menulusi si kuat mangan gule ndai dungna jumpa ma mo ia ket ci blek mantir antir
PLANDUK: pung ku bgge kabarna ko kuat mangan gule tih..?
CIBLLKMANTIR ANTIR:kuat mo da kum kum bage ko ketek na naing mo kate 1000 kalak we asa besur aq
PLANDUK: mentr..? bagi eta pakdenang lot sadenga gule mbue .
CIBLLKMANTIR ANTIR: eta tuhu daaaaaa..
laus mo kalak i mendahi gajah ket nipe si enggoi mate merubat ndai soh kssa lansung ipangan ci bllkmantir antir en mo daging gajah ket nipe ndai pas lako ningkrri udan roh gaya guyu nderas kalon mbiar mo planduk
PLANDUK; PUNG kuakui kuat ko mangan tapi en udan janha pulian/petir aq mbiar en kune mi
CIBLLKMANTIR ANTIR:yah roh ko pak en itruh isang ken mo ko asa ulang mbiar ken ulang taptap
laus mo palnduk en mi truh isang cibllekmanti anti en . enggo pana besur su cibllekmantir antir en enggo payh mer kessah mentr mencalit pulian/petir mpustak mo bltek ciblek mantir antir ndai dungna mate mo krina jumlah mate 4 nola mo . NIPE,GAJAH.CIBLLKMANTIR ANTIR,PLANDUK..
bagi mo sukut sukutenna/ceritana.
ta buat inti crita i dates..
berati oda gunana kita pejagojagoken/pantanmg so mbilak ulang mo ta contoh si bage crita en ..sada poda kasea..
i ceritaken pertua nami bapak muslim padang km20/desa simbruna kec sitellutali urang jehe STTUJ (sibande)
PEADAH SI TUA TUA
-ulang kita bage ki pikeke baka ndilo
-janah ulang ta tutu page apa apa
-ulang kohkohi besi buntal
-idilat le bibir asa i ruap rana
-ulang mengruap siso rana
-ulang memahan siso ulah
-ulang kipangan siso sulang
-ulang menjalo siso jambar
-sik sik lbbe asa tendds
-melangkah mi jolo dateken kabat mi podi
-ulang cicedur mi dates geut sangul mi abe
-janah getuk getuk koling ngo gluh en
-si talu lbbe asa ue mer laba
-kasah ngo kalak asa ue nduma
-ulang mo kita bage sanggar i uruk uruk
-ulang bage bulung gometen
-ulang nanjolo bibir
-ulang bage katcang lupa koling na
-enget si enggo salpun rasaken si bagendari janah ukuri si lako roh
-ulang bage takur takur mersisaongi dirina
-ulang menuan pejojorken siso roroh
-ulang mengkubak siso koling
-ulang menuan siso lppk
-ulang mengoltep gule tinuhuren
-ulang mengrungrung siso korn
-ulang peguguten siso sira
-ulang mengonjemken kerbo mi luhung
Rabu, 15 Desember 2010
kepemilikan tanah yang di tempati suku Pak Pak
kemandirian suku pakpak untuk memperoleh kepemilikan tanah
beberapa macam ia menembuka tanah marga
- rading bru/ paken bru
-pengarar utang adad
-upah ulu baleng
-tanoh perjaen/pembagian warisan yg di berikan org tua(sukut kuta)
-kundulen sintua(kehormatan bagi tokoh)
- pemberian seperpadana atw perjanjian
-tanah yg di adati sifat nya milik pribadi
-penerimaan lemba
masing masing mempunyai sulang si lima dan silima sulang
penjabaran sulang silima ialah per siang isang pertulan tengah dan per ekur ekur sulang puang dan sulang bru
si lima sulang adalah lima dengan si beltek.
1) sibeltek marga
2)si beltek empung
3)si beltek bapa
4) sibeltek sada inang sada bapa
5)sebeltek inang
puang ada lima
1) puang bnna niari
2)puang bnna
3)puang pengamaki
4) puang trrm
5)puang lbbe
brru ada lima
1)bru takal puggu/ sikadang jandi
2)bru ekur puggu
3)bru mbllen
4)bru lbbe niabing
5)bru trrm
nama adad si bren ket si jalon
-bnna kesukuten
-kaing
-upah
-oles kaing siso siat
-oles takalen
-proles
penjelasan bna kesukuten ter sebut dalam adad perkawinan/ mahan utang.
kaing? perkain . upah turang ,togoh togoh,penampati,perteddoan,persinabul.
upah puhun, upah empung, upah mendedah. upah penulangken, upah telangke mangemolih.
kaing/ kaing sisosioat setara dengan kaing yang menerima sejajar tahapan keturunan si kawin yang ber saudara
oles takalen setara dengan si penerima kaing per keturunan yg ber saudara.
proles dapat si penerima dari saudara strara dengan sinina bru dan puang.
MARGA MARGA PAKPAK YANBG TERDIRI DI BERBAGAI SUAK/ TERPUK
SIMSIM: padang,brutu,solin, manik,bringin,tendang,banurea,berasa,gajah, boang manalu,bancin,sitakar,tinendung,lembeng,kabeaken,cibro, padang batang ari,sinamo.
KELASEN:tumagger,turuten,anak ampun,maharaja,kesogihen,tinambunen,meka, mungkur.
KEPPAS:angkat,ujung,bintang,saran, matanari,maha,capah,bako,kuda diri, gajah manik, pasi, penarik.
PEGAGAN: lingga. maibang,saing, manik kuta usang,kaloko,
BOANG:kombih,sambo,
kemudian marga dari suku toba yg beralih sihotang menjadi si kettang si tungkir menjadi si tongkir
dan marga2 tersebut sudah bercampur setiap suak.
----------------------------------------------------------------------------------
ibuat lbbe kalakati asa ibain menaka pinang asa lot dengan napuren
iruap lbbe kata sentabi mendahiken bapa dekket inang
bagi ma menhadi jllma sinterrm..
njuah njuah oang oang..
BERSAMBUNG
- rading bru/ paken bru
-pengarar utang adad
-upah ulu baleng
-tanoh perjaen/pembagian warisan yg di berikan org tua(sukut kuta)
-kundulen sintua(kehormatan bagi tokoh)
- pemberian seperpadana atw perjanjian
-tanah yg di adati sifat nya milik pribadi
-penerimaan lemba
masing masing mempunyai sulang si lima dan silima sulang
penjabaran sulang silima ialah per siang isang pertulan tengah dan per ekur ekur sulang puang dan sulang bru
si lima sulang adalah lima dengan si beltek.
1) sibeltek marga
2)si beltek empung
3)si beltek bapa
4) sibeltek sada inang sada bapa
5)sebeltek inang
puang ada lima
1) puang bnna niari
2)puang bnna
3)puang pengamaki
4) puang trrm
5)puang lbbe
brru ada lima
1)bru takal puggu/ sikadang jandi
2)bru ekur puggu
3)bru mbllen
4)bru lbbe niabing
5)bru trrm
nama adad si bren ket si jalon
-bnna kesukuten
-kaing
-upah
-oles kaing siso siat
-oles takalen
-proles
penjelasan bna kesukuten ter sebut dalam adad perkawinan/ mahan utang.
kaing? perkain . upah turang ,togoh togoh,penampati,perteddoan,persinabul.
upah puhun, upah empung, upah mendedah. upah penulangken, upah telangke mangemolih.
kaing/ kaing sisosioat setara dengan kaing yang menerima sejajar tahapan keturunan si kawin yang ber saudara
oles takalen setara dengan si penerima kaing per keturunan yg ber saudara.
proles dapat si penerima dari saudara strara dengan sinina bru dan puang.
MARGA MARGA PAKPAK YANBG TERDIRI DI BERBAGAI SUAK/ TERPUK
SIMSIM: padang,brutu,solin, manik,bringin,tendang,banurea,berasa,gajah, boang manalu,bancin,sitakar,tinendung,lembeng,kabeaken,cibro, padang batang ari,sinamo.
KELASEN:tumagger,turuten,anak ampun,maharaja,kesogihen,tinambunen,meka, mungkur.
KEPPAS:angkat,ujung,bintang,saran, matanari,maha,capah,bako,kuda diri, gajah manik, pasi, penarik.
PEGAGAN: lingga. maibang,saing, manik kuta usang,kaloko,
BOANG:kombih,sambo,
kemudian marga dari suku toba yg beralih sihotang menjadi si kettang si tungkir menjadi si tongkir
dan marga2 tersebut sudah bercampur setiap suak.
----------------------------------------------------------------------------------
ibuat lbbe kalakati asa ibain menaka pinang asa lot dengan napuren
iruap lbbe kata sentabi mendahiken bapa dekket inang
bagi ma menhadi jllma sinterrm..
njuah njuah oang oang..
BERSAMBUNG
asal mula suku pak pak
lot mo keturunen nintura,lot keturunen si milang ilang,lot
keturunen nisi haji
1:nintura berasal dari kata manusia raksasa(NTUARA)
2: similang ilang berasal dari hindia
3:sini haji berasal dari bangsa arap memasuki wilayah pulau jawa yg di sebut dengan wali songo memasuki barus trus turun ke wilayah ualyat pakpak.
SUKU PAKPAK TERDIRI DARI 5 TERPUK DISEBUT SUAK.
1:suak simsim nterpuk simsim
2:suakkppas nterpuk kppas
3:suak pegagan nterpuk pegagan
4:suak kelasen nterpuk kelasen
5:suak boang nterpuk boang
DIANTARA 5 NTERPUK/SUAK TERSEBUT YANG DI SEBUT SUKU PAKPAK DAN PUNYA
1:tanah tersendiri
2: bhasa tersendiri
3:adad tersendri
4:tutur tersendiri
5:budaya tersendiri
6:hukum tersendiri
7;marga tersendiri
8:ritual tersendiri
lahir nya secara alami yg telah menjadi milik pakpak turun temurun yg tidak dapat di jangkau lamanya sejak jaman purba kala.
ADAD PAKPAK
adad pakpak sipat nya dua macam (1):ngkerja bagak(2
): ngkerja njahat
1: NGKERJA BAGAK: kerja /pesta perkawinan dan adad nya terbagi 7 macam
yaitu:
-merkata sipitu
-merbayo
-sohom sohom
-menoh kela
-memelat soki
-menada bunga rambu rambu
-maing pertabar(pesakat mabruna kalon
2:NGKERJA NJAHAT: yg di sebut adad tentang akhir kematian adad nya ada 3 macam yaitu:
-males bulung simbernaik
-males bulung sampula
males bulung ni buluh
dengan tingkat kemampuan dan usia yg meningggal dunia yg di namakan bahasa ada yaitu
1:tingkat membayar lemba berati yg meninggal sudah scayur ntua
2: bura bura cipako berati yg meninggal sudah berumah tangga
3:bura bura koning berati yg meninggal di bawah umur org dewasa.
MENGENAI PELAKSANAN ADAD
kata kunci dalam bahasa pakpak
-mengido sodip mendahi puang
-mengido gegoh mendahi brru
-mengido pengurupi mendahi dedahen dengan se beltek
-memerre serbeb mendahi pertua/orang tua
ADAD PERKAWINAN/MAHAN UTANG
memereken simpihir pihir berupa, mas,perak,kepeng secukupnya tapi oles nya harus lima
-oles inang brru -oles culkkai -oles penatum -oles lemlem nakan-oles peraleng.
inilah merupakan kewajipan dari pihak laki laki yg harus di berikan ke pihak perempuan/si per brru/puang.
setelah pihak perempuan menerima kewajiban dari pihak laki laki maka pihak perempuan wajip pula memberikan yaitu:
-nakan penjalon -penjukuti mersendihi - belagen 3 - kembal 12 - selampis baka 24
nama/glar, belagen peramak, belagen dabuhen/tabir,dinding ulu/tutup takal.
ramuan pelengkap nya yg mempunyai makna tersendiri di tambah dengan .nditak, dohomen pinahpah,lemang/ tinembu,galuh tasak, tebbu merleppk dengan beras simperbean.
ADAD NJHAHAT(KEPATEN)
yg wajip dihadapi puang yaitu:
puang bona,puang pengamaki,puang lebbe,
puang bial disebut sampe ke pembayaran lemba.
berikut nya di berikan oles 3 lembar nama nya oles sintaken,oles tatakenken,oles baubau, di tambah simpihir pihir/mas.kepeng manoh manoh/kenagen yg sipat nya misal nya kebun, sawah atau seluas tanah dan pokok tanaman durian petai,kelapa ,dll.
sipuang rasa berkewajipan memberi pihak brru yaitu:
memereken nakan pengambat,memereken nakan persirangen,memereken nakan ariari tendi ket ieket jari kikambal kambirang pake bengkuang/bahan untuk baka.
yg bermakna supaya mpihir mo tendi ket mambal sindanggel, dan di berikan beras pengkicik simpihir tendi nakan tsb tidak terlepas dari merangkap kambing,ayam.
MENGENAI BUDAYA PAKPAK
budaya pakpak terbagi 3 macam yaitu
-budaya marga-budaya lebbuh-budaya jabu
A)-budaya marga disebut pelaksanaan nya mendangger uruk yg harus menghadirkan perisang isang,pertulan tengah,damper ekur ekur,puang,bru,sicibal baleng.
di propmotori oleh sipantes ndiase,si gedang radumen ket si baso.
hal tersebut dinamakan pesta budaya sulang silima(marga tertentu)
B)- budaya lebbuh srupa diatas tapi sipat nya satu lbbuh yg di sebut sada kuta
C)-budaya jabu/perjabujabu serupadiatas sipat nya perorangan atau keluarga.
SECARA UMUM A.B.C. masing masing budaya seni yg sama.
odong odong,nagen atau nyanyian.tangis milangi dan mempunyai onong oningen misal nya
genderang,gung,klondang,sordam,kecapi,lobat,taratoa,sagasaga,genggong,kettuk.
MAKANAN DALAM KHASA BUDAYA PAKPAK
plleng,ginaruncor, nditak, tinembu,lemang, pianahpah ,ginustung, nakan pagit /nakan simalu malum, nakan serbeb nakan luah nakan pengambat.nakan ari ari tendi memere ndirabaren.
1:nintura berasal dari kata manusia raksasa(NTUARA)
2: similang ilang berasal dari hindia
3:sini haji berasal dari bangsa arap memasuki wilayah pulau jawa yg di sebut dengan wali songo memasuki barus trus turun ke wilayah ualyat pakpak.
SUKU PAKPAK TERDIRI DARI 5 TERPUK DISEBUT SUAK.
1:suak simsim nterpuk simsim
2:suakkppas nterpuk kppas
3:suak pegagan nterpuk pegagan
4:suak kelasen nterpuk kelasen
5:suak boang nterpuk boang
DIANTARA 5 NTERPUK/SUAK TERSEBUT YANG DI SEBUT SUKU PAKPAK DAN PUNYA
1:tanah tersendiri
2: bhasa tersendiri
3:adad tersendri
4:tutur tersendiri
5:budaya tersendiri
6:hukum tersendiri
7;marga tersendiri
8:ritual tersendiri
lahir nya secara alami yg telah menjadi milik pakpak turun temurun yg tidak dapat di jangkau lamanya sejak jaman purba kala.
ADAD PAKPAK
adad pakpak sipat nya dua macam (1):ngkerja bagak(2
): ngkerja njahat
1: NGKERJA BAGAK: kerja /pesta perkawinan dan adad nya terbagi 7 macam
yaitu:
-merkata sipitu
-merbayo
-sohom sohom
-menoh kela
-memelat soki
-menada bunga rambu rambu
-maing pertabar(pesakat mabruna kalon
2:NGKERJA NJAHAT: yg di sebut adad tentang akhir kematian adad nya ada 3 macam yaitu:
-males bulung simbernaik
-males bulung sampula
males bulung ni buluh
dengan tingkat kemampuan dan usia yg meningggal dunia yg di namakan bahasa ada yaitu
1:tingkat membayar lemba berati yg meninggal sudah scayur ntua
2: bura bura cipako berati yg meninggal sudah berumah tangga
3:bura bura koning berati yg meninggal di bawah umur org dewasa.
MENGENAI PELAKSANAN ADAD
kata kunci dalam bahasa pakpak
-mengido sodip mendahi puang
-mengido gegoh mendahi brru
-mengido pengurupi mendahi dedahen dengan se beltek
-memerre serbeb mendahi pertua/orang tua
ADAD PERKAWINAN/MAHAN UTANG
memereken simpihir pihir berupa, mas,perak,kepeng secukupnya tapi oles nya harus lima
-oles inang brru -oles culkkai -oles penatum -oles lemlem nakan-oles peraleng.
inilah merupakan kewajipan dari pihak laki laki yg harus di berikan ke pihak perempuan/si per brru/puang.
setelah pihak perempuan menerima kewajiban dari pihak laki laki maka pihak perempuan wajip pula memberikan yaitu:
-nakan penjalon -penjukuti mersendihi - belagen 3 - kembal 12 - selampis baka 24
nama/glar, belagen peramak, belagen dabuhen/tabir,dinding ulu/tutup takal.
ramuan pelengkap nya yg mempunyai makna tersendiri di tambah dengan .nditak, dohomen pinahpah,lemang/ tinembu,galuh tasak, tebbu merleppk dengan beras simperbean.
ADAD NJHAHAT(KEPATEN)
yg wajip dihadapi puang yaitu:
puang bona,puang pengamaki,puang lebbe,
puang bial disebut sampe ke pembayaran lemba.
berikut nya di berikan oles 3 lembar nama nya oles sintaken,oles tatakenken,oles baubau, di tambah simpihir pihir/mas.kepeng manoh manoh/kenagen yg sipat nya misal nya kebun, sawah atau seluas tanah dan pokok tanaman durian petai,kelapa ,dll.
sipuang rasa berkewajipan memberi pihak brru yaitu:
memereken nakan pengambat,memereken nakan persirangen,memereken nakan ariari tendi ket ieket jari kikambal kambirang pake bengkuang/bahan untuk baka.
yg bermakna supaya mpihir mo tendi ket mambal sindanggel, dan di berikan beras pengkicik simpihir tendi nakan tsb tidak terlepas dari merangkap kambing,ayam.
MENGENAI BUDAYA PAKPAK
budaya pakpak terbagi 3 macam yaitu
-budaya marga-budaya lebbuh-budaya jabu
A)-budaya marga disebut pelaksanaan nya mendangger uruk yg harus menghadirkan perisang isang,pertulan tengah,damper ekur ekur,puang,bru,sicibal baleng.
di propmotori oleh sipantes ndiase,si gedang radumen ket si baso.
hal tersebut dinamakan pesta budaya sulang silima(marga tertentu)
B)- budaya lebbuh srupa diatas tapi sipat nya satu lbbuh yg di sebut sada kuta
C)-budaya jabu/perjabujabu serupadiatas sipat nya perorangan atau keluarga.
SECARA UMUM A.B.C. masing masing budaya seni yg sama.
odong odong,nagen atau nyanyian.tangis milangi dan mempunyai onong oningen misal nya
genderang,gung,klondang,sordam,kecapi,lobat,taratoa,sagasaga,genggong,kettuk.
MAKANAN DALAM KHASA BUDAYA PAKPAK
plleng,ginaruncor, nditak, tinembu,lemang, pianahpah ,ginustung, nakan pagit /nakan simalu malum, nakan serbeb nakan luah nakan pengambat.nakan ari ari tendi memere ndirabaren.
Jejak Hindu-Buddha dalam Sejarah Suku Pakpak
Selama ini pihak
keturunan Raja Borbor ataupun yang lebih kecilnya lagi keturunan Silau Raja
dari Toba selalu mengklaim bahawa semua marga yang berbunyi Manik entah dari
Toba,Damanik di Simalungun,Karo-Karo Manik di Karo dan Manik di Pakpak Dairi
seakan-akan membuat sebutan “manik” adalah Hak Ekslusif dari pihak Toba semata.
Diceritakan dalam
Sejarah Pihak Pakpak maka asal mereka adalah dari India Selatan yaitu dari
Indika Tondal ke Muara Tapus dekat Barus lalu berkembang di Tanah Pakpak dan
menjadi Suku Pakpak.Pada dasarnya mereka sudah mempunyai marga sejak dari
negeri asal namun kemudian membentuk marga baru yang tidak jauh berbeda dengan
marga aslinya.
Tidak semua Orang
Pakpak berdiam di atas Tanah Dairi namun mereka juga berdiaspora,meninggalkan
negerinya dan menetap di daerah baru.
- Sebagian tinggal di Tanah Pakpak dan menajadi Suku Pakpak “Situkak Rube:,”Sipungkah Kuta” dan “Sukut Ni Talun” di Tanah Pakpak.
- Sebagian ada pergi merantau ke daerah lain,membentuk komunitas baru.Dia tahu asalnya dari Pakpak dan diakui bahwa Pakpak adalah sukunya namun sudah menjadi marga di suku lain.
- Ada juga yang merantau lalu mengganti Nama dan Marga dengan kata lain telah mengganti identitasnya.
Diceritakan bahwa
Nenek Moyang awal Pakpak adalah Kada dan Lona yang pergi meninggalkan
kampungnya di India lalu terdampar di Pantai Barus dan terus masuk hingga ke
Tanah Dairi,dari pernikahan mereka mempunyai anak yang diberi nama HYANG.Hyang
adalah nama yang dikeramatkan di Pakpak.
Hyang pun besar dan
kemudian menikah dengan Putri Raja Barus dan mempunyai 7 orang Putra dan 1
orang Putri yaitu :
- Mahaji
- Perbaju Bigo
- Ranggar Jodi
- Mpu Bada
- Raja Pako
- Bata
- Sanggar
- Suari (Putri)
Pada urutan ke 4
terdapat nama Mpu Bada,Mpu Bada adalah yang terbesar dari pada
saudara-saudaranya semua,bahkan dari pihak Toba pun kadangkala mengklaim bahwa
Mpu Bada adalah Keturunan dari Parna dari marga Sigalingging,gimana
bisa?sedangkan pada sejarah sudah jelas-jelas bahwa Mpu Bada adalah anak ke 4
dari Hyang..makanya perlu hati-hati jika memperhatikan pembalikan fakta sejarah
yang sering dilakukan oleh Pihak Toba dewasa ini.
Anak Sulung,Mahaji
mempunyai Kerajaan di Banua Harhar yang mana saat ini dikenal dengan nama Hulu
Lae Kombih,Kecamatan Siempat Rube.
Parbaju Bigo pergi
ke arah Timur dan membentuk Kerajaan Simbllo di Silaan,saat ini dikenal dengan
Kecamatan STTU Julu.
Ranggar Jodi pergi
ke arah Utara dan membentuk Kerajaan yang bertempat di Buku Tinambun dengan
nama Kerajaan Jodi Buah Leuh dan Nangan Nantampuk Emas,saat ini masuk Kecamatan
STTU Jehe.
Mpu Bada pergi ke
arah Barat melintasi Lae Cinendang lalu tinggal di Mpung Si Mbentar Baju.
Raja Pako pergi ke
arah Timur Laut membentuk Kerajaan Si Raja Pako dan bermukim di Sicike-cike.
Bata pergi ke arah
Selatan dan menikah kemudian hanya mempunyai seorang Putri yang menikah dengan
Putra Keturunan Tuan Nahkoda Raja.Dari sini menurunkan marga
Tinambunen,Tumangger,Maharaja,Turuten,Pinanyungen dan Anak Ampun.
Sanggir pergi ke
arah Selatan tp lebih jauh daripada Bata dan mmbentuk Kerajaan di
sana,dipercaya menjadi nenek moyang marga Meka,Mungkur dan Kelasen.
Suari Menikah dengan
Putra Raja Barus dan memdiam di Lebbuh Ntua.
Marga Manik
diturunkan oleh Mpu Bada yang mempunyai 4 orang anak yaitu :
- Tndang
- Rea sekarang menjadi Banurea
- Manik
- Permencuari yang kemudian menurunkan marga Boang Menalu dan Bancin.
Asal-usul
dan persebaran orang Pakpak
Pakpak biasanya
dimasukkan sebagai bagian dari etnis Batak, sebagaimana Karo, Mandailing,
Simalungun, dan Toba. Orang Pakpak dapat dibagi menjadi 5 kelompok berdasarkan
wilayah komunitas marga dan dialek bahasanya, yakni (Berutu dan Nurani,
2007:3–4):
- Pakpak Simsim, yakni orang Pakpak yang menetap dan memiliki hak ulayat di daerah Simsim. Antara lain marga Berutu, Sinamo, Padang, Solin, Banurea, Boang Manalu, Cibro, Sitakar, dan lain-lain. Dalam administrasi pemerintahan Republik Indonesia, kini termasuk dalam wilayah Kabupaten Pakpak Bharat.
- Pakpak Kepas, yakni orang Pakpak yang menetap dan berdialek Keppas. Antara lain marga Ujung, Bintang, Bako, Maha, dan lain-lain. Dalam administrasi pemerintahan Republik Indonesia, kini termasuk dalam wilayah Kecamatan Silima Pungga-pungga, Tanah Pinem, Parbuluan, dan Kecamatan Sidikalang di Kabupaten Dairi.
- Pakpak Pegagan, yakni orang Pakpak yang berasal dan berdialek Pegagan. Antara lain marga Lingga, Mataniari, Maibang, Manik, Siketang, dan lain-lain. Dalam administrasi pemerintahan Republik Indonesia, kini termasuk dalam wilayah Kecamatan Sumbul, Pegagan Hilir, dan Kecamatan Tiga Lingga di Kabupaten Dairi.
- Pakpak Kelasen, yakni orang Pakpak yang berasal dan berdialek Kelasen. Antara lain marga Tumangger, Siketang, Tinambunan, Anak Ampun, Kesogihen, Maharaja, Meka, Berasa, dan lain-lain. Dalam administrasi pemerintahan Republik Indonesia, kini termasuk dalam wilayah Kecamatan Parlilitan dan Kecamatan Pakkat (di Kabupaten Humbang Hasundutan), serta Kecamatan Barus (di Kabupaten Tapanuli Tengah).
- Pakpak Boang, yakni orang Pakpak yang berasal dan berdialek Boang. Antara lain marga Sambo, Penarik, dan Saraan. Dalam administrasi pemerintahan Republik Indonesia, kini termasuk dalam wilayah Singkil (Nanggroe Aceh Darussalam).
Meskipun oleh para
antropolog orang-orang Pakpak dimasukkan sebagai salah satu subetnis Batak di
samping Toba, Mandailing, Simalungun, dan Karo. Namun, orang-orang Pakpak
mempunyai versi sendiri tentang asal-usul jatidirinya. Berkaitan dengan hal
tersebut sumber-sumber tutur menyebutkan antara lain (Sinuhaji dan Hasanuddin,1999/2000:16):
- Keberadaan orang-orang Simbelo, Simbacang, Siratak, dan Purbaji yang dianggap telah mendiami daerah Pakpak sebelum kedatangan orang-orang Pakpak.
- Penduduk awal daerah Pakpak adalah orang-orang yang bernama Simargaru, Simorgarorgar, Sirumumpur, Silimbiu, Similang-ilang, dan Purbaji.
- Dalam lapiken/laklak (buku berbahan kulit kayu) disebutkan penduduk pertama daerah Pakpak adalah pendatang dari India yang memakai rakit kayu besar yang terdampar di Barus.
- Persebaran orang-orang Pakpak Boang dari daerah Aceh Singkil ke daerah Simsim, Keppas, dan Pegagan.
- Terdamparnya armada dari India Selatan di pesisir barat Sumatera, tepatnya di Barus, yang kemudian berasimilasi dengan penduduk setempat.
Berdasarkan sumber
tutur serta sejumlah nama marga Pakpak yang mengandung unsur keindiaan (Lingga,
Maha, dan Maharaja), boleh jadi di masa lalu memang pernah terjadi kontak
antara penduduk pribumi Pakpak dengan para pendatang dari India. Jejak kontak
itu tentunya tidak hanya dibuktikan lewat dua hal tersebut, dibutuhkan data
lain yang lebih kuat untuk mendukung dugaan tadi. Oleh karena itu maka
pengamatan terhadap produk-produk budaya baik yang tangible maupun
intangible diperlukan untuk memaparkan fakta adanya
kontak tersebut. Selain itu waktu, tempat terjadinya kontak, dan bentuk kontak
yang bagaimanakah yang mengakibatkan wujud budaya dan tradisi masyarakat Pakpak
sebagaimana adanya saat ini. Untuk itu diperlukan teori-teori yang relevan
untuk menjelaskan sejumlah fenomena budaya yang ada.
Jejak
Hindu-Buddha dalam kepercayaan dan tradisi orang Pakpak
Sebelum kedatangan
agama Islam dan Kristen di tanah Pakpak, masyarakatnya meyakini bahwa alam raya
ini diatur oleh Tritunggal Daya Adikodrati yang terdiri dari Batara
Guru, Tunggul Ni Kuta, dan Boraspati Ni Tanoh (Siahaan dkk.,1977/1978:62). Nama-nama itu antara lain terwujud lewat mantra ketika diadakan upacara menuntung tulan (pembakaran tulang-tulang leluhur). Sebelum api disulut oleh salah seorang Kula-kula/Puang dia mengucapkan kata-kata sebagai berikut (Berutu, 2007:32):
Guru, Tunggul Ni Kuta, dan Boraspati Ni Tanoh (Siahaan dkk.,1977/1978:62). Nama-nama itu antara lain terwujud lewat mantra ketika diadakan upacara menuntung tulan (pembakaran tulang-tulang leluhur). Sebelum api disulut oleh salah seorang Kula-kula/Puang dia mengucapkan kata-kata sebagai berikut (Berutu, 2007:32):
“O…pung…!
Ko Batara Guru,
Beraspati
ni tanah, Tunggul ni kuta, … .”
Nama Boraspati
dan Batara Guru jelas merupakan adopsi dari bahasa
Sanskerta yang disesuaikan dengan pelafalan setempat. Kata Boraspati
merupakan adopsi dari kata Wrhaspati yang
berarti nama/sebutan purohita (utama/pertama) bagi
para dewa. Jadi kata ini merujuk pada penyebutan bagi dewa tertinggi atau yang
dianggap utama/penting yang dalam konteks ini (boraspati ni tanoh)
dapat diartikan sebagai dewa utama yang berkuasa di tanah/bumi.
Penyebutan
Batara
Guru dalam mantra sebelum api dinyalakan dalam upacara menuntung tulan jelas merupakan adopsi dari kepercayaan Hindu yang berkenaan dengan salah satu perwujudan dari Dewa Siwa yakni sebagai Agastya (Batara Guru). Menurut Krom (1920:92 dalam Poerbatjaraka,1992:110) wujud Siwa yang paling populer di Nusantara adalah wujud yang yang memakai nama Bhatara Guru (Guru Dewata). Sosok utama dengan nama ini juga banyak ditemukan di tempat-tempat lain di Nusantara. Hal ini disebabkan oleh anggapan bahwa tokoh ini adalah dewa asli Indonesia yang konsepnya kemudian tercampur seiring dengan masuknya agama Hindu melalui perwujudan Siwa sebagai Mahayogi. Pendapat Krom tersebut senada dengan yang dikemukakan oleh Kern (1917:21 dalam Poerbatjaraka 1992:110). Menurut Kern bukti nyata tentang popularitas agama Hindu Siwa adalah dengan tersebarnya nama Bhatara Guru sebagai dewa utama di Nusantara. Demikian halnya dengan Wilken (1912:244 dalam Poerbatjaraka 1992:110) yang menyatakan bahwa Soripada dan Batara Guru adalah dewa-dewa pribumi yang semula mempunyai nama pribumi asli yang kemudian berubah dengan menggunakan bahasa Sanskerta.
Guru dalam mantra sebelum api dinyalakan dalam upacara menuntung tulan jelas merupakan adopsi dari kepercayaan Hindu yang berkenaan dengan salah satu perwujudan dari Dewa Siwa yakni sebagai Agastya (Batara Guru). Menurut Krom (1920:92 dalam Poerbatjaraka,1992:110) wujud Siwa yang paling populer di Nusantara adalah wujud yang yang memakai nama Bhatara Guru (Guru Dewata). Sosok utama dengan nama ini juga banyak ditemukan di tempat-tempat lain di Nusantara. Hal ini disebabkan oleh anggapan bahwa tokoh ini adalah dewa asli Indonesia yang konsepnya kemudian tercampur seiring dengan masuknya agama Hindu melalui perwujudan Siwa sebagai Mahayogi. Pendapat Krom tersebut senada dengan yang dikemukakan oleh Kern (1917:21 dalam Poerbatjaraka 1992:110). Menurut Kern bukti nyata tentang popularitas agama Hindu Siwa adalah dengan tersebarnya nama Bhatara Guru sebagai dewa utama di Nusantara. Demikian halnya dengan Wilken (1912:244 dalam Poerbatjaraka 1992:110) yang menyatakan bahwa Soripada dan Batara Guru adalah dewa-dewa pribumi yang semula mempunyai nama pribumi asli yang kemudian berubah dengan menggunakan bahasa Sanskerta.
Kata adopsi lain
yang juga tampil dalam mantra orang-orang Pakpak adalah dalam mantra menolak
mimpi buruk (Siahaan dkk.,1977/1978:150):
Hung,
pagari mo kita
Da
hompungku
Hompung
ni pangir …
Kata Hung
dalam mantra penolak mimpi buruk pada tradisi Pakpak di atas adalah
pelafalan lain dari kata Hum yang sering digunakan
dalam mantra-mantra Hindu maupun Buddha. Dalam kitab suci Hindu yakni Weda,
kata Hum adalah mantra bagi Agni, sang dewa api, sehingga
mantra ini digunakan saat dilakukan upacara persembahan kepada api suci. Selain
itu juga digunakan untuk memanggil atau membangkitkan api sehingga nyalanya
lebih kuat. Hum juga merupakan
representasi dari jiwa dalam diri mahluk, sekaligus wujud keberadaan Dewa di
dunia. Melalui pelafalannya manusia berharap sifat-sifat kedewaan merasuk ke
dirinya sekaligus memberikan kesadaran jiwa akan keberadaanNya. Di samping
sebagai mantra yang ditujukan pada Agni sang dewa api, Hum
juga merupakan mantra bagi Dewa Siwa serta Chandika (perwujudan lain dari Kali
sang dewi maut). Pelafalannya bertujuan untuk menghancurkan hal-hal negatif
sekaligus menciptakan kekuatan dan kemauan yang besar. Sedangkan dalam agama
Buddha Hum merupakan salah satu kata dalam mantra bagi
Boddhisatva Avalokitesvara yang teksnya sebagai berikut: Om
Mani Padme Hum. Kata ini juga
dipakai bagi dewa lainnya dalam Buddhisme yakni bagi Jambala Putih yang teksnya
sebagai berikut: Om Padma Corda Arya Jambhala Setaya Hum
Phet.
Mantra-mantra
sebagai salah satu wujud budaya yang intangible dalam
kebudayaan Pakpak biasanya dihadirkan saat upacara-upacara adat. Masyarakat
Pakpak pada umumnya mengenal dua bentuk kerja (horja
dalam bahasa Batak Toba atau upacara/ritus dalam bahasa Indonesia)
yakni, kerja baik dan kerja njahat.
Kerja baik adalah segala jenis upacara yang
berkaitan dengan rasa sukacita atau gembira seperti, keberhasilan panen,
pernikahan, dan kelahiran anak. Sebaliknya Kerja Njahat adalah
segala jenis upacara yang berkaitan dengan rasa dukacita atau sedih seperti
kematian (Berutu,2007:8).
Hal-hal yang
berhubungan dengan duka cita, kematian, mangokal tulan (membongkar
tulang-belulang dari kuburan dan menempatkannya di kubur sekunder),
dikategorikan sebagai kerja njahat. Upacara
kematian dapat dibagi menjadi 4 yakni (Siahaan dkk.,1977/1978:92–94):
- Mati
Bayi
Anak yang baru lahir
yang belum bergigi jika meninggal dikebumikan dekat rumah tanpa diketahui oleh
orang lain, karena takut diambil orang lain, dijadikan guna-gunaan.
- Mati
Dewasa
Orang yang meninggal
dalam usia muda (dewasa) dikuburkan dimana saja dan termasuk mate
ntalpok (mati belum berketurunan)
ntalpok (mati belum berketurunan)
- Mati
Ntua
Seorang yang
meninggal dan telah berkeluarga dikebumikan di kuburan umum.
- Mati
Cayur
Tua
Bagi orang yang meninggal
tapi sudah mempunyai cucu, biasanya diadakan kerja
njahat, sewaktu mayatnya masih di rumah. Pembiayaan umumnya ditanggung oleh keluarga/ahli waris yang meninggal itu sendiri karena almarhum enggo
mencari (hasil pencarian/kerja mendiang selama hidupnya). Jadi biaya diambil dari harta yang ditinggalkan oleh mendiang.
njahat, sewaktu mayatnya masih di rumah. Pembiayaan umumnya ditanggung oleh keluarga/ahli waris yang meninggal itu sendiri karena almarhum enggo
mencari (hasil pencarian/kerja mendiang selama hidupnya). Jadi biaya diambil dari harta yang ditinggalkan oleh mendiang.
Salah satu bagian
penting dalam ritus mati cayur tua adalah Menuntung
Tulan (upacara pembakaran tulang jenazah). Upacara ini disebut juga
Penahangken (meringankan), sebab tujuan dilaksanakannya
adalah untuk meringankan beban roh mendiang (Berutu, 2007:30).
Upacara ini
dilaksanakan bila keluarga mendiang mendapat mimpi (nipi) yang
seolah menggambarkan mendiang di alam kuburnya merasakan beban yang berat,
sesak, atau sempit. Upacara ini harus dilaksanakan, bila tidak maka jiwa/roh
mendiang akan mengakibatkan sakit kepala pada keturunannya (Berutu,2007:30).
Peralatan yang
dibutuhkan dalam upacara ini antara lain kayu bakar, batang pohon pisang (sitabar)
yang dibentuk menyerupai manusia serta diberi pakaian (persilihi),
kain putih pembungkus tulang-tulang mendiang, sumpit/kembal
wadah bagi tulang yang telah dibungkus, dan sejumlah hewan kurban. Setelah
segala persiapan selesai, maka pihak kerabat (Kula-kula, Berru,
dan Sinina) berangkat ke pekuburan. Biasanya dilakukan
pada waktu pagi hari, agar roh/jiwa bangkit sebagaimana matahari terbit, juga
agar sanak kerabatnya nasibnya menjadi lebih baik di kemudian hari
(Berutu,2007:31).
Setelah api padam,
secara hati-hati keluarga mengambil abu dan sisa-sisa tulang yang telah
dibakar. Abu dan sisa-sia tulang itu kemudian dibungkus dengan kain putih lalu
dibawa ke tempat pertulanen (lesung batu).
Namun, ada kalanya abu dan sisa-sisa tulang tersebut dibawa dan digantung di
rumah sukut (Berutu,2007:32).
Upacara sejenis juga
dilakukan oleh masyarakat Karo setidaknya hingga awal abad ke-20 yang lalu.
Jenis upacara ini hingga kini masih dilakukan oleh masyarakat Bali, yang
disebut sebagai ngaben. Beberapa unsur yang
mirip dengan upacara pembakaran jenazah di Bali (Ngaben)
dengan upacara pembakaran tulang-tulang jenazah di Pakpak (Menuntung
Tulan) selain proses pembakarannya sendiri adalah pembuatan boneka
manusia dari batang pisang yang disebut sebagai persilihi.
Di Bali boneka/patung yang melambangkan sosok mendiang yang diaben
disebut sebagai pratima.
Selain dalam upacara
adat, pengaruh Hindu-Buddha (India) juga hadir dalam sistem waktunya. Sebelum
kedatangan pengaruh Islam dan Kristen sistem kala yang dikenal oleh masyarakat
Pakpak adalah sebagai berikut. Berikut adalah nama-nama hari dalam 1 bulan
(Siahaan dkk.,1977/1978:68):
- Antia 16. Suma Teppik
- Suma 17. Anggara Kolom
- Anggara 18. Budhaha Kolom
- Budhaha/Muda 19. Beraspati Kolom
- Beraspati 20. Cukerra Genep Duapuluh
- Cukerra 21. Belah Turun
- Belah
Naik 22. Adintia Nangga - Sumasibah 23. Sumanti Mante
- Anggara
Sipuluh 24. Anggara Bulan Mate - Budhaha
Mangadep 25. Budha Selpu - Antia
Naik 26. Beraspatigok - Beraspati Tangkep 27. Cukerra Duduk
- Cukerra Purnama 28. Samisara Mate Bulan
- Belah Purnama 29. Dalan Bulan
15. Tula
30. Kurung
Bandingkan
penyebutan nama 7 hari pertama dalam 1 bulan pada tradisi Pakpak di atas dengan
penyebutan nama hari dalam siklus 7 hari (saptawara)
pada prasasti-prasasti Jawa Kuna yang sangat dipengaruhi oleh kebudayaan India
(Hindu-Buddha) sebagaimana terlihat pada tabel berikut:
No
|
Indonesia
|
Pakpak
|
Jawa Kuna
|
1
|
Ahad/Minggu
|
Antia
|
Aditya
|
2
|
Senin
|
Suma
|
Soma
|
3
|
Selasa
|
Anggara
|
Anggara
|
4
|
Rabu
|
Budhaha/Muda
|
Buddha
|
5
|
Kamis
|
Beraspati
|
Wrhaspati
|
6
|
Jumat
|
Cukerra
|
Çukra
|
7
|
Sabtu
|
Belah
Naik |
Çanaiçcara
|
Sumber
Pakpak: Siahaan dkk.,1977/1978:68; Jawa Kuna: Zoetmulder,1985:245
Berbeda dibandingkan
nama-nama hari dalam tradisi Pakpak yang dipengaruhi kebudayaan Hindu-Buddha,
penyebutan nama-nama bulan mereka lebih bersifat pribumi:
Bulan
|
Pakpak
|
Jawa (tani)
|
Jawa Kuna
|
Sanskerta
|
Toba
|
Karo
|
1
|
Pekesada
|
Kasa
|
Cetra
|
Caitra
|
Sitora
|
Citera
|
2
|
Pekedua
|
Karwa
|
Weçakha
|
Vaiçakha
|
Sisaha
|
Sisaka
|
3
|
Peketellu
|
Katlu
|
Jyestha
|
Jestha
|
Sibista
|
Sidista
|
4
|
Pekeempat
|
Kapat
|
Asādha
|
Asādha
|
Sisanti
|
Sitama
|
5
|
Pekelima
|
Kalima
|
Srāwana
|
Srāvana
|
Sisorbaba
|
Siresba
|
6
|
Pekeenam
|
Kanem
|
Bhādra(-pada/wada)
|
Bhādra(-pada)
|
Sibadora
|
Sibadera
|
7
|
Pekepitu
|
Kapitu
|
Asuji/ Aswayuja
|
Asvina/ Asvayuja
|
Sisudija
|
Sisudi
|
8
|
Pekewaluh
|
Kawwalu
|
Kārttika
|
Kārttika
|
Siaji mortiha/mertika
|
Sisakadi
|
9
|
Pekesiwah
|
Kasanga
|
Margasirsa
|
Mārgasirsa/ Agrahāyana
|
Sianggara Aji
|
Simerga
|
10
|
Pekesipuluh
|
Kasapuluh
|
Posya
|
Pausa
|
Sipusija
|
Sipusija
|
11
|
Pekesibellas
|
Hapit (lemah)
|
Magha
|
Māgha
|
sipalaguna
|
Siguwa
|
12
|
Pekeduabellas
|
Hapit (kayu)
|
Phalguna
|
Phālguna
|
Siraja urip
|
Sikurung lamadu
|
Sumber
Pakpak: Siahaan dkk.,1977/1978:68; Jawa Kuna: Zoetmulder,1985:245; Toba &
Karo: Voorhoeve,1972:495
Sebagaimana tampak
pada tabel di atas, nama-nama bulan dalam tradisi Pakpak jelas merupakan
tradisi setempat yang didasarkan pada perhitungan kaum tani sebagaimana juga
dikenal di Jawa hingga kini. Bedanya, di Jawa dahulu juga dikenal nama-nama
bulan yang merupakan adopsi dari bahasa Sanskerta, sebagaimana puak-puak lain
di sekitar Pakpak seperti Toba dan Karo pernah mengenalnya.
Data lain yang juga
dapat dijadikan fakta adanya pengaruh India (Hindu-Buddha) dalam kebudayaan
Pakpak adalah pada wujud budaya yang tangible,
antara lain dalam wujud patung.
Di beberapa daerah
di wilayah Kabupaten Pakpak Bharat hingga kini masih dapat dijumpai rumah-rumah
tradisional Pakpak. Salah satu bentuk rumah tradisional mereka dikenal sebagai rumah
jojong. Rumah jojong berarti rumah
yang memiliki menara, dibentuk dari 2 kata, yakni rumah dan jojong
yang berarti menara. Jojong ditempatkan di
tengah-tengah bubungan atap yang melengkung (denggal).
Hanya raja dan keluarganya yang menempati rumah jenis ini (Siahaan
dkk.,1977/1978:121). Salah satu hal menarik dari rumah jojong adalah
keberadaan bentuk kepala manusia di bagian atas pintu masuk yang dalam istilah
seni hias Toba disebut sebagai jenggar.
Jenggar
yang terdapat di rumah jojong milik keluarga
Raja Johan Berutu di Desa Ulu Merah, Kecamatan Sitelu Tali Urang Julu ini
berbentuk kepala manusia bermahkota dengan hiasan menyerupai sulur-suluran di
sisi kiri dan kanannya. Pengamatan lebih lanjut terhadap jenggar
pada rumah tradisional Pakpak ini menunjukkan adanya kemiripan
dengan bagian kepala arca perunggu Wisnu berbahan perunggu dari Tanjore, negara
bagian Tamil Nadu, India; serta bagian kepala arca perunggu Siwa Nataraja juga
dari Tanjore, negara bagian Tamil Nadu, India. Bagian dari jenggar
yang mirip dengan arca Wisnu dari Tanjore adalah bentuk mahkotanya
yang dalam ikonografi disebut sebagai kirita-mukuta;
sedangkan bagian dari jenggar yang mirip dengan
arca Siwa Nataraja adalah bentuk yang menyerupai sulur-suluran di sisi kiri dan
kanan jenggar yang mirip dengan bagian rambut arca Siwa
Nataraja yang digambarkan terurai di sisi kiri dan kanan kepalanya. Kedua arca
pembanding dari Tanjore tersebut diperkirakan dibuat pada abad ke-11 M, masa
kekuasaan Dinasti Chola di India selatan.
Arca-arca berlanggam
Chola ternyata ditemukan juga di daerah lain di Sumatera Utara, antara lain
adalah arca batu Buddha yang ditemukan di situs Kota Cina, Medan; arca batu
Wisnu dan Lakshmi juga dari situs Kota Cina, Medan; dan arca perunggu Lokanatha
dari Gunung Tua, Padang Lawas, Tapanuli Selatan. Berdasarkan contoh-contoh
pembanding itu, tentunya bentuk jenggar dari rumah
jojong di Pakpak Bharat itu mengambil prototipenya dari arca-arca
berlanggam Chola di atas.
Wujud tri matra lain
yang juga merupakan hasil adopsi dari India adalah patung angsa yang banyak
ditemukan di kompleks-kompleks mejan di sejumlah kecamatan
di Kabupaten Pakpak Bharat. Salah satu di antaranya adalah patung angsa yang
terdapat di kompleks mejan Bancin di Desa
Penanggalan Binanga Boang, tepatnya 55 m arah barat dari Sungai Ordi yang
secara astronomis berada pada 02° 31′ 29,5” LU dan 098° 19′ 55” BT. Patung
keempat berbentuk angsa, dengan panjang: 30 cm, lebar: 25 cm, tinggi: 53 cm.
Patung ini digambarkan dalam posisi berdiri pada suatu batur, kedua sayap
terkatup rapat pada badannya. Bagian leher hingga kepala telah hilang. Patung
ini berfungsi sebagai tutup satu batu pertulanen (wadah
abu/sisa-sisa jenazah) berbentuk silinder yang berada tepat di bawahnya.
Angsa bukanlah
binatang endemik di Kepulauan Nusantara, populasinya yang asli tersebar di
daerah subtropis bagian utara dan selatan. Spesies angsa yang ditemukan di bumi
bagian utara mempunyai bulu menyeluruh berwarna putih, kontras dengan spesies
angsa di bumi bagian selatan yang memiliki bulu berwarna hitam dan putih.
Binatang ini secara zoologi termasuk dalam filum Chordata, kelas Aves, ordo
Anseriformes, dan familia Anatidae yang terdiri dari 6 spesies yakni: Cygnus olor, daerah
sebarannya di Eurasia;
Cygnus
atratus (angsa hitam), daerah
sebarannya di Australia;
Cygnus melancoryphus,
daerah sebarannya di Amerika Selatan; Cygnus cygnus, daerah
sebarannya di sub-artik Eropa dan Asia; Cygnus buccinator, daerah
sebarannya di Amerika Utara; dan Cygnus columbianus, yang
daerah sebarannya di Eropa
dan Amerika
Utara. Dari keenam spesies angsa tersebut dua di antaranya yakni Cygnus
olor dan Cygnus cygnus hidup di benua
Asia, namun tidak ada di Asia Tenggara daratan maupun kepulauan. Hal ini
berarti angsa diperkenalkan atau dibawa ke Kepulauan Nusantara seiring
terjadinya kontak budaya antara penduduk pribumi Nusantara dengan para
pendatang dari daratan Asia seperti Cina atau India.
Dikenalnya angsa
oleh orang-orang Pakpak di masa lalu sebagaimana terwujud dalam bentuk patung
adalah hasil kontak mereka dengan para pendatang dari India yang beragama Hindu
atau Buddha. Dalam ikonografi Hindu angsa adalah wahana (tunggangan) dari salah
satu Trimurti yakni Brahma, Sang Pencipta alam semesta sedangkan dalam
ikonografi Buddha angsa adalah tunggangan Saraswati, Sang Dewi ilmu
pengetahuan. Keberadaan patung angsa sebagai tutup bagi wadah abu dan sisa-sisa
tulang jenazah (batu pertulanen) dapat
dikaitkan dengan konsep dalam Hindu bahwa Brahma adalah Sang Pencipta. Angsa
sebagai wahana Brahma dapat dianggap sebagai simbol pelepasan mendiang -yang
sisa-sisa jasadnya tersimpan di batu pertulanen- menuju Sang
Pencipta.
Kebudayaan
Pakpak sebagai buah dari perdagangan internasional
Masuknya unsur-unsur
budaya Hindu-Buddha (India) ke dalam budaya Pakpak dimungkinkan oleh adanya
kontak antarpendukung kedua budaya. Tempat yang paling memungkinkan terjadinya
kontak itu di masa lalu adalah Barus, yang bukti-bukti sejarah maupun
arkeologisnya menunjukkan tempat ini pernah berjaya sebagai bandar
internasional.
Para pedagang dari
India mendatangi Barus untuk membeli getah bernilai tinggi yang dihasilkan di
daerah Pegunungan Bukit Barisan yang menjadi tempat tinggal orang-orang Pakpak.
Bukti kehadiran mereka –terutama dari India selatan/daerah Tamil- adalah
Prasasti Lobu Tua, yang ditemukan di Barus, Tapanuli Tengah. Prasasti berangka
tahun 1010 Saka (1088 M) ini dikeluarkan oleh suatu serikat dagang yang bernama
Ayyāvole 500 (Perkumpulan 500) (Sastri,1932:326 dan
Subbarayalu,2002:24).
Dalam beberapa teks
berbahasa Armenia yang berasal dari abad ke-13 hingga ke-18 Masehi terdapat
suatu tempat yang disebut Pant’chour/Part’chour sebagai tempat asal kamper
bermutu terbaik (Kévonian,2002:51). Menurut teks-teks Armenia tempat lain yang
juga banyak mengeluarkan kamper bermutu adalah P’anes/ Ēp’anes/
Ēp’anis/Ep’anēs, yang terletak di pantai timur di bawah Perlak/Peureulak.
Menurut teks-teks Armenia tersebut hanya ada 2 tempat di Pulau Sumatera yang
mengeluarkan mata dagangan kamper yakni Pant’chour dan P’anēs
(Kévonian,2002:70–72). Prasasti Rajendra I di Tanjavur menyebutkan tentang
“Pannai di tepi sungai” sebagai salah satu tempat yang diserbu tentara Cola
pada tahun 1025 M. Berdasarkan sumber-sumber tertulis itu titik-titik kontak
antara pribumi Pakpak dengan budaya India adalah Barus yang berada di pesisir
barat Sumatera dan Pane di selatannya yang bermuara di pesisir timur Pulau
Sumatera.
Walaupun daerah
Pakpak berada di gugusan Pegunungan Bukit Barisan, namun lembah-lembah beserta
aliran sungainya memegang peranan penting bagi terciptanya komunikasi antara
daerah pesisir dengan daerah pedalaman. Di samping itu, gugusan pegunungan,
lembah-lembah, dan sungai-sungai yang ada juga ikut menciptakan jaringan
perdagangan antara daerah pesisir dan pedalaman. Dunia niaga antara kawasan
Singkel dan Barus dengan Pakpak landen (tanah Pakpak)
dan Sibolga serta Natal dengan Angkola dan Mandailing banyak ditentukan oleh
jalur niaga yang melalui gugusan pegunungan, lembah-lembah, dan sungai-sungai
di daerah tersebut (Asnan,2007:40–41).
Sampai awal abad
ke-19 penduduk dari subetnis Pakpak, Angkola, dan Mandailing dikenal sebagai
pengumpul hasil hutan (terutama kamper dan kemenyan) yang mereka jual ke daerah
pantai barat Sumatera. Selain pantai timur Sumatera daerah pesisir barat
Sumatera merupakan daerah pasar utama dari berbagai komoditas yang dikumpulkan
dan dihasilkan oleh masyarakat Pakpak, Angkola, dan Mandailing (Asnan,2007:42).
Kontak yang terjadi
antara orang-orang Pakpak dengan para pendatang dari India di masa lalu
mengakibatkan terjadinya akulturasi. Akulturasi adalah salah satu proses
perubahan budaya, yang ditandai oleh terjadinya interaksi intensif antara
kelompok-kelompok individu dengan kebudayaan berbeda, yang mengakibatkan terjadinya
perubahan-perubahan besar pada pola kebudayaan dari salah satu atau
kelompok-kelompok yang terlibat. Oleh para pakar antropologi akulturasi dapat
berupa (Haviland,1988:263):
- Substitusi, terjadi ketika satu atau sejumlah unsur kebudayaan yang telah ada sebelumnya diganti oleh unsur kebudayaan baru yang lebih fungsional, sehingga mengakibatkan hanya sedikit perubahan struktural dari kebudayaan bersangkutan.
- Sinkritisme, terjadi ketika sejumlah unsur budaya lama bercampur dengan unsur buaya baru sehingga terbentuk suatu sistem baru yang mengakibatkan perubahan kebudayaan yang cukup berarti.
- Adisi, terjadi ketika satu atau sejumlah unsur kebudayaan ditambahkan pada kebudayaan yang lama, yang dapat mengakibatkan perubahan struktural atau bahkan tidak terjadi perubahan pada budaya lama.
- Dekulturasi, terjadi ketika bagian substansial dari suatu kebudayaan menjadi hilang.
- Orijinasi, terjadi ketika sejumlah unsur baru tumbuh dari suatu kebudayaan disebabkan oleh perubahan situasi.
- Penolakan, terjadi ketika suatu perubahan berlangsung terlalu cepat sehingga sejumlah besar anggota dari suatu budaya tidak mau menerimanya, yang dapat menyebabkan pemberontakan, penolakan sama sekali, atau gerakan kebangkitan.
Sebagai akibat dari
salah satu atau sejumlah proses tersebut, akulturasi dapat tumbuh melalui
beberapa jalur. Percampuran atau asimilasi terjadi bila dua kebudayaan
kehilangan identitas masing-masing dan menjadi satu kebudayaan. Inkorporasi
terjadi bila suatu kebudayaan kehilangan otonominya, namun tetap mempunyai
identitas subkultur, seperti kasta, kelas, atau kelompok etnis
(Haviland,1988:263).
Dalam hal kebudayaan
Pakpak, tampaknya akulturasi yang berupa adisi merupakan proses budaya yang
terjadi di masa lalu. Sebelum kedatangan orang-orang India dengan kebudayaannya
yang khas, orang-orang Pakpak telah mewarisi kebudayaan tersendiri yang berbeda
dari para pendatang dari barat tersebut. Datangnya budaya baru pada masyarakat
Pakpak memperkaya khasanah budaya yang telah lama mereka miliki. Pada ranah
sistem kepercayaan misalnya sebelum kedatangan kepercayaan Hindu-Buddha
masyarakat telah memiliki kepercayaan terhadap roh-roh leluhur. Masuknya agama
Hindu-Buddha dengan pantheon-pantheon dan sistem ikonografinya telah menambah
ragam bentuk hasil budaya trimatra Pakpak yang telah ada sebelumnya.
Bentuk-bentuk
seperti patung angsa yang berfungsi sebagai tutup batu pertulanen sebenarnya
tidak lain adalah hasil interpretasi Pakpak terhadap ikonografi Hindu yang
dikawinkan dengan bentuk mejan yang telah ada
sebelumnya, sebagai suatu simbol kendaraan/wahana arwah. Bentuk mejan
awal/asli pribumi Pakpak itu mungkin sebagaimana yang hingga kini
masih dapat dilihat di daerah Toba seperti bentuk kepala burung
enggang/rangkong, kuda, dan perahu yang dianggap sebagai simbol asli bagi
kendaraan arwah.
Sedangkan
pengadopsian nama-nama dewa dalam kepercayaan Hindu seperti Batara Guru (Siwa
Mahaguru) maupun Boraspati (Wrhaspati)
tidak lebih dari penamaan bagi roh-roh leluhur yang telah dinaikkan derajatnya
menjadi dewa seiring merasuknya pengaruh Hindu dalam kehidupan orang-orang
Pakpak dulu. Hal serupa sebenarnya juga terjadi di Jawa pada masa pulau ini
masih dipengaruhi sistem kepercayaan Hindu-Buddha.
Pada masa-masa akhir
kejayaan Hindu-Buddha di Pulau Jawa, terdapat bukti bahwa kepercayaan lama
yakni pemujaan terhadap nenek moyang makin menguat. Pembuatan candi-candi dan
arca-arcanya tidak lain sebenarnya adalah bentuk penghormatan kepada arwah raja
yang telah menyatu dengan dewa yang menjadi pujaannya semasa hidup. Jadi tidak lain
dan tidak bukan hal itu adalah bentuk penghormatan kepada arwah leluhur yang
belum sepenuhnya hilang dalam kepercayaan Jawa, seperti halnya juga pada
orang-orang Pakpak dahulu.
Penutup
Kemiripan
hasil-hasil budaya Pakpak seperti kepercayaan lewat nama-nama dewa, penanganan
jenazah (pembakaran sisa jenazah); bentuk-bentuk trimatra pada patung angsa dan
jenggar; maupun penyebutan nama-nama satuan
kala/waktu, merupakan buah dari kontak dagang Pakpak dengan India.
Tempat-tempat yang diduga merupakan titik kontak antara masyarakat Pakpak pada
masa lalu dengan para pendatang dari India (khususnya Tamil/India bagian
selatan) antara lain adalah Barus, Padang Lawas, dan Kota Cina. Khususnya Barus
merupakan bandar internasional, menjadi gerbang bagi transfer budaya dari India
terhadap budaya Pakpak yang terjadi setidaknya sejak akhir abad ke-10 M atau
awal abad ke-11 M. Sejumlah unsur budaya India itu telah memperkaya kebudayaan
Pakpak sebagaimana dapat dilihat jejak-jejaknya hingga kini.
Kepustakaan
Asnan, Gusti, 2007. Dunia
Maritim Pantai Barat Sumatera. Yogyakarta: Ombak.
Atmodjo, M.M.,
Sukarto, 1985. Short Notes on The Old Malay Inscriptions
in Central Java dalam Final Report SEAMEO
Project in Archaeology and Fine Arts: Consultative Workshop on Archaeological and
Environtmental Studies on Srivijaya. Hal: 81–95.
Berutu, Lister dan
Nurbani Padang, 2007. Tradisi dan Perubahan.
Medan: Grasindo Monoratama.
Berutu, Tandak,
2007. Upacara Adat pada Masyarakat Pakpak Dairi dalam
Berutu, Lister dan Nurbani Padang (ed.) Tradisi dan Perubahan.
Medan: Grasindo Monoratama, hal: 7–35.
Couperus, P. Th.,
1855. De Residentie Tapanoeli (Sumatra’s Westkust)
in 1852 dalam TBG (V).
Haviland, William
A., 1988. Antropologi. Jakarta:
Erlangga.
Hoed, Benny H.,
2004. Bahasa dan sastra Dalam Tinjauan Semiotik dan Hermeneutik
dalam Christomy & Untung (ed.) Semiotika Budaya.
Jakarta: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Direktorak Riset dan
Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia.
Kévonian, Kéram,
2002. Suatu Catatan Perjalanan di Laut Cina Dalam Bahasa Armenia
dalam Lobu Tua Sejarah Awal Barus (Claude
Guillot, ed.). Jakarta: École française d’Extrême-Orient, Association Archipel,
Pusat Penelitian Arkeologi, dan Yayasan Obor Indonesia.
Poerbatjaraka, 1992.
Agastya di Nusantara. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Ricoeur, Paul, 1982.
Hermeneutics and The Human Sciences. Cambridge:
Cambridge University Press.
Sastri, K.A.
Nilakanta, 1932. A Tamil Merchant-guild in Sumatra
dalam Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en
Volkenkunde. Batavia: Kononklijk Bataviaasch Genootschap van
Kunsten en Wetenschappen.
Siahaan, E. K.,
dkk., 1977/1978. Survei Monograpi Kebudayaan Pakpak Dairi
di Kabupaten Dairi. Medan: Proyek Rehabilitasi dan Perluasan
Museum Sumatera Utara Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Sinuhaji, Tolen dan
Hasanuddin, 1999/2000. Batu Pertulanen di Kabupaten Pakpak Dairi.
Medan: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan
Museum Negeri Provinsi Sumatera Utara.
Subbarayalu, Y.,
2002. Prasasti Perkumpulan Pedagang Tamil di Barus Suatu Peninjauan
Kembali dalam Lobu Tua Sejarah Awal Barus,
Claude Guillot (ed.). Jakarta: École française d’Extrême-Orient, Association Archipel, Pusat Penelitian Arkeologi, dan Yayasan Obor Indonesia.
Claude Guillot (ed.). Jakarta: École française d’Extrême-Orient, Association Archipel, Pusat Penelitian Arkeologi, dan Yayasan Obor Indonesia.
Voorhoeve, P., 1972.
Sanskrit Maandnamen in het Bataks dalam Bijdragen
tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 128, no. 4. Leiden: KITLV,
Hal: 494–496.
Zoetmulder, P.J.,
1985. Kalangwan Sastra Jawa Kuno Selayang
Pandang. Jakarta: Djambatan.
Sejarah Muasal Suku Pakpak
30 Juli 2011
Pegunungan
Bukit Barisan melintang di sepanjang Pulau Sumatera dengan posisi yang jauh
lebih dekat ke pantai barat. Tanah Dairi terletak di lintangan ini.
Kedudukannya: di utara berbatasan dengan Karo, di timur laut dengan Karo dan Simalungun, di timur dengan Simalungun dan
Samosir, di tenggara dengan Samosir dan Humbang Hasundutan, di selatan dengan
Humbang Hasundutan dan Tapanuli Tengah (Manduamas yang sejajar dengan Barus),
dan Aceh (termasuk Singkil). Adapun perbatasan mulai dari barat daya hingga
barat laut adalah Aceh.
Tanah
Dairi biasa juga disebut ”Tanah Pakpak” sebab penduduk aslinya memang
orang Pakpak. Sejak tahun 2003 Dairi sebagai kabupaten telah dipecah.
Hasilnya adalah Kabupaten Pakpak Bharat di belahan selatan. Dengan begitu
wilayah Kabupaten Dairi yang semula sekitar 314.000 hektar kini kurang lebih
tinggal separo. Setelah pemecahan ternyata sebutan “Tanah Pakpak” tadi
masih saja jamak dipakai. Wajar memang sebab penamaan tersebut sudah
sejak dahulukala. Bukankah tak mudah mengubah sebuah kebiasaan lama?
Dalam kitab ini pun kedua sebutan masih akan dipakai bergantian untuk mengacu
hal yang sama.
Tadi
telah disebut Dairi berada di lintangan Bukit Barisan. Konsekuensinya adalah
kedudukannya di dataran tinggi dengan posisi lebih dekat ke pantai barat.
Beratmosfir pegunungan, itulah Dairi. Konturnya bertakik-takik; di sejumlah
kawasan bahkan ekstrim sehingga dinding-dinding bukit terjal dan jurang
menjadi pemandangan yang dominan. Rata-rata ketinggian wilayah kawasan
ini 700-1.250 meter di atas permukaan laut (dpl). Sebagian kecil kawasan sampai
berketinggian 1.600 meter dpl. Sidikalang sendiri, ibukota Dairi, berada
di ketinggian 1.066 meter dpl. Iklim Dairi mudah ditebak. Bukan berhawa panas dan
lembab alias tropis, melainkan di bawahnya. Bisa disebut subtropis. Hasil
alamnya yang khas pun becorak produk hutan pegunungan: kapurbarus,
kemenyan, nilam, dan kopi, itu yang paling mashyur sejak dulu. Belakangan ada
gambir, kemiri, dan jagung.
Sebenarnya
Dairi tak seberapa jauh dari ibukota Sumatera Utara. Jarak Medan-Sidikalang
hanya berkisar 150 kilometer. Jarak yang dalam kondisi normal bisa
dicapai sekitar tiga jam dengan kendaraan pribadi. Lintasannya eksotik sehingga
pasti disukai para penikmat alam. Katakanlah kita akan melawat ke
Sidikalang. Setelah meninggalkan Medan kita akan disambut alam Karo yang elok.
Jalan menuju Berastagi yang menanjak berkelok-kelok kemungkinan akan kontan
mengingatkan kita pada kitaran Cisarua-Puncak-Cipanas, terutama sejak
lokasi pemandian Sembahe. Hutan terjaga yang menghampar di sepanjang kedua sisi
jalan menuju Sibolangit merupakan kelebihan kawasan ini dibanding jalur Puncak
yang tersohor. Sejak dari Berastagi ladang menghampar menjadi penampakan
yang umum. Pun selewat Kabanjahe dan Merek yang di sisinya menghampar Tongging
dan tepi Danau Toba bagian utara. Nyata betul bahwa agribisnis merupakan
penghidup penduduk Karo. Namun, selepas wilayah Karo atmosfirnya menjadi lain.
Setelah
melewati perladangan yang penampakannya tak serapi yang di Tanah Karo, hutan
sekarang yang membentang. Lae Pondom namanya, dibelah oleh jalan beraspal milik
negara. Sampai awal 1980-an penumpang bus sesekali masih bisa melihat harimau
melintas di atas aspal tersebut. Masih terjaga, Lae Pondom adalah hutan
subtropis khas Indonesia. Mereka yang ingin mengetahui seperti apa
gerangan atmosfir hutan Indonesia yang sebagian besar sudah punah sebaiknya
datang ke kawasan penyumbang utama air untuk Danau Toba ini[1]. Setelah Lae
Pondom kemudian Sumbul yang menjelang. Lantas Sitinjo dan akhirnya Sidikalang.
Kendati
Medan-Sidikalang tak jauh dan lintasannya eksotik, tak banyak orang dari
ibukota provinsi Sumatera Utara itu yang pernah menjejak bumi Dairi. Biasanya
sampai kota wisata Berastagi saja mereka. Yang lanjut hanya sebatas mereka yang
berkampung di Tanah Pakpak atau menjalankan urusan dinas ke sana. Satu lagi,
yang akan menghadiri pesta adat. Kalau orang Medan saja demikian, bisa
dibayangkan mereka yang berasal dari tempat lain yang lebih jauh. Namun,
keadaan mulai berubah setelah Taman Wisata Iman (TWI), di Sitinjo, pinggir
Sidikalang, berdiri tahun 2005. Sejak itu tanah Dairi mulai dijejak oleh
turis termasuk dari Jakarta bahkan mancananegara. Sesungguhnya keterpencilan
Dairi sebelum pembukaan TWI ini merupakan ironi. Terutama kalau kita mengingat
sejarah lama.
****
Kapurbarus
Tanah
Dairi sebenarnya sejak lama telah berhubungan dengan dunia luar, termasuk
mancanegara. Kontak itu memang tidak langsung, melainkan lewat Barus, tetangga
di selatan. Sudah sejak zaman prasejarah Barus termashyur sebagai bandar
internasional. Dan untuk ketersohoran tersebut, Tanah Pakpak punya kontribusi
besar. Sayang sampai sekarang andil ini hampir luput dari catatan sejarah.
Sebelum membahasnya, kita telaah dulu Barus dengan kebesaran masa lalunya.
Barus
masa lalu—sebutan lainnya Fansur (Arab) dan Pansur (Batak)—identik dengan
dua hal, yakni kamper atau kapur barus dan penyair mistik Hamzah Fansuri yang
memang lama tinggal di sana. Di antara keduanya kamperlah yang paling lekat
dengan nama tempat ini. Dalam pengetahuan umum kota kecil di pantai barat
Sumatera inilah penghasil kamper yang paling tinggi mutunya dan paling
murni sifatnya.
Sejak
lama, sebelum tarikh Masehi, kamper yang di negeri kita bersebutan “kapurbarus”
telah menjadi komoditas dunia. Barang ini dahulu bernilai tinggi, setara emas.
Maksudnya satu kilogram kamper bernilai tukar sekilogram emas. Mahal karena
faedah atau khasiatnya banyak. Penggunaannya yang jamak adalah di dunia pengobatan
(ketabiban dan kedokteran) serta keobatan (farmasi). Menurut kisah lawas,
champor (kapurbarus) menjadi salah satu unsur ramuan yang dipakai dalam
mengawetkan jasad penguasa Mesir (firaun) terkemuka, Ramses II. Mummi raja yang
berkuasa pada kurun tahun 1279-1213 sebelum Masehi tersebut telah dibawa ke
Paris tahun 1974 untuk diperiksa. Masalahnya hasil pembalseman tersebut (kini
berada di Meseum Mesir) kian rusak saja digerogoti jamur. Cerita lain menyebut
salah satu wewangian yang dibawa kaum Majus sebagai persembahan untuk bayi
Yesus yang baru lahir di Betlehem kapurbarus juga. Kemenyan disebut juga bagian
dari seserahan mereka kala itu; hanya saja tak disebut dari mana asalnya.
Ihwal
kapur dari Barus sudah ada catatannya di awal tarikh Masehi. Salah satunya
dibuat Claudius Ptolemaeus (90-168) seorang Yunani Alexandria (Mesir) yang
merupakan ahli astronomi, astrologi, dan geografi terkemuka. Dalam karya
akbarnya, Geographia, ia menyebut Barousai penghasil kamper. Kalaupun
tak dicatat, di masa itu ihwal kapurbarus setidaknya sudah dipercakapkan dalam
pelbagai bahasa, termasuk Yunani, Syria, Cina, Tamil, Arab, Armenia, Jawa, dan
Melayu.[2]
Sejak
abad ke-6 kapur dari Barus dikenal di berbagai kawasan yang terbentang dari
Cina ke Laut Tengah yang memisahkan Eopa dengan Afrika. Sebab itu, catatan
tentang komoditas ini pun makin banyak. Tersebutlah catatan dari Dinasti
Liang dari Cina selatan (abad ke-6), I-tsing (tahun 692), Ibnu
Chordhadhbeh (tahun 846), Marco Polo (tahun 1292), dan Ibnu Batutah (tahun 1345),
misalnya. I-tsing adalah seorang rahib Buddha yang sempat tinggal
bertahun-tahun di Sriwijaya saat berziarah dari Cina ke India. Marco Polo
seorang pengelana Italia yang sempat singgah di Pasai (Aceh). Ibnu
Batutah orang Berber dari Tangier (Afrika Utara). Dia kemungkinan telah
menjejak tanah Barus dalam perjalanan ke pantai barat Sumatera.
Kendati
telah banyak disebut, sejauh itu belum jelas yang mana sebenarnya Barus,
negeri sumber kamper “yang paling tinggi mutunya dan paling murni sifatnya” itu.
Tabir Barus masih saja gelap. Pasalnya pelukisan oleh para penjelajah-penulis
tadi tidaklah sama. Ptolemaeus, misalnya, menggambarkan Barrous sebagai kawasan
lima pulau. Penulis lain ada yang menyebut lokasinya di Semenanjung Malaka. Di
Aceh adanya, tulis yang lain. Perujuk Barus sekarang memang ada
juga. Jauh dari sinkron informasi mereka; simpang siur jadinya.
Kekarut-marutan penggambaran ini tentu mudah kita pahami. Pada masa
I-tsing, Ibnu Chordhadhbeh, Marco Polo, atau Ibnu Batutah pengetahuan geografis
orang masih sangat terbatas sebab pelayaran lintas benua masih sangat sedikit
dan teknologi navigasi masih begitu sederhana. Apalagi di masa Ptolemaeus.
****
Simpang
Siur
Kesimpangsiuran
ini berlangsung lama. Bahkan, hingga sekarang pun masih ada ahli yang meragukan
bahwa Barus sekaranglah yang dirujuk sebagai sumber kamper “yang paling
tinggi mutunya dan paling murni sifatnya” itu. Dasar keraguan mereka ada
beberapa. Pertama, sejak dulu kamper tak hanya datang dari Barus sekarang, tapi
juga dari Borneo (Kalimantan), Semenanjung Malaka, dan Jepang. Sebagai catatan,
kamper—sebuah bahan keras, bisa berupa pasir—merupakan hasil oksidasi minyak
yang terdapat dalam sel-sel khusus yg mengeluarkan bahan ini.
Sel-sel ini terdapat di semua bagian pohonnya. Terdapat dua jenis
kamper dari keluarga berbeda: (1) Dryobalanops aromatica Gaertn
dari keluarga Dipterocarpaceae mengasilkan kapur Borneo dan (2) Cinnamonum
camphora (L.), Nees, dan Ebern dari keluarga Lauraceae atau kamper
Jepang. Jenis pertama ini jauh lebih bernilai secara ekonomis. Hanya setelah
kamper hasil pabrikan muncullah nilainya merosot tajam.
Kalau
saja sosok kejayaan masa lalu masih jelas tampak di Barus, sekarang tabir gelap
tadi tak perlu begitu lama menggantung. Realitasnya, Barus sekarang yang
tercakup dalam Kabupaten Tapanuli Tengah dalam penampakannya di permukaan
begitu bersahaja dan terisolasi. Kecuali makam-makam Islam dari sekitar
abad ke-14, kawasan ini hampir tak menyisakan artefak dari sebuah bandar
internasional masa kuno. Inilah dasar keraguan kedua. Begitupun, di tengah
kesimpangsiuran informasi ihwal Barus yang menjadi sumber kamper terbaik, ada
satu hal yang akhirnya disepakati banyak ahli. Yaitu kata ‘kamper’
berasal dari rumpun bahasa Austronesia. Jadi kemungkinan besar asal komoditas
ini adalah kawasan di Nusantara.
Sejak
abad ke-16 mulai lebih terang sebenarnya bahwa Barus sekaranglah sumber kamper
terbaik yang diapresiasi dunia itu. Tapi kawasan ini sendiri ternyata hanya
bandar penampung saja, bukan penghasil.
Tom
Pires, seorang musafir Portugis, di awal abad ke-16 mendeskripsikan Barus lebih
jelas. Ia menyebut negeri ini sangat kaya, kemana pedagang India dan Arab
datang langsung untuk mencari damar (kamper dan kemenyan). Barus yang saat itu
berhungan dekat dengan Minangkabau, menurut dia, dinamakan juga Panchur
atau Pansur. “Orang Gujarat menamakannya Panchur, juga bangsa Parsi, Arab,
Bengali, Keling, dst. Di Sumatra namanya Baros (Baruus). Yang dibicarakan ini
satu kerajaan, bukan dua,” tulis dia.[3]
Barus,
lanjut Tom Pires, telah lama berdagang dengan negeri Pakpak. Hasil bumi berupa
kamper dan kemenyan yang dijual di Barus, lanjut dia, didatangkan dari
pedalaman. Yang dimaksud dengan pedalaman tentu saja tanah Pakpak yang kala itu
setidaknya mencakup Manduamas, Pakkat, dan Parlilitan.
Catatan
yang lebih pasti ihwal Barus baru ada sejak Vereenigde Oost Indische Compagnie
(VOC) menempatkan perwakilannya di sana. Dalam laporan VOC di abad ke-17
disebut pohon kapur barus dan kemenyan terdapat di daerah perbukitan di antara
tanah pantai yang datar dan dataran tinggi Toba. “Di daerah terjal ini damar
dipungut oleh berbagai kelompok Batak dan diangkut oleh mereka ke tepi laut,
terkadang melalui beberapa daerah lain dulu. Di pantai damar dipertukarkan
dengan bahan keperluan mereka seperti kain, besi, dan garam,” demikian catatan
VOC.[4] Di sini yang dimaksud VOC dengan Batak tentu tidak hanya
Toba.
Sekitar
abad ke-17 itu, menurut catatan VOC tadi, yang menjadi penduduk Barus adalah
orang Melayu, Batak, dan etnik Nusantara lain termasuk Aceh. Orang Melayu
dimaksud banyak dari Minangkabau dan pelabuhan-pelabuhan yang lebih selatan.
Sedangkan orang Batak yang disebut adalah mereka yang sudah merantau ke pantai
dan yang sudah kawin-mawin dengan orang setempat. Masih menurut catatan tadi,
saat VOC hendak menjalin hubungan dengan penguasa lokal tahun 1668 barulah
mereka tahu bahwa Barus diperintah oleh dua raja yakni Raja di Hulu (campuran
Batak-Melayu) dan Raja di Hilir (campuran Melayu dari Terusan, Sumatera Barat).
Raja di Hulu menjalin hubungan khusus dengan masyarakat Pakpak yang
memungut kamper di Barus barat laut dan pedalamannya. Sedangkan Raja di Hilir
berpengaruh besar terhadap orang Batak di Pasaribu dan Silindung yang memungut
kemenyan di perbukitan di Barus timur laut serta di pedalaman Sorkam
dan Korlang.
Sampai
abad ke-19 Barus masih menjadi penyalur utama kamper dari tanah Dairi. Para
pedagang di Barus membeli komoditas ini dari para petani dan pengumpul yang
datang dari pedalaman. Sungai dan jalan setapak menjadi jalur para
pengumpul.
Dalam
skala yang lebih kecil Singkil juga penampung kapurbarus dan hasil bumi Dairi
lainnya. Di wilayah Singkil, pangkalan di sepanjang aliran sungai
yang berhulu di tanah Pakpak menjadi tempat transaksi. Para petani dari
pedalaman datang ke sana membawa kamper, kemenyan dan yang lain untuk
ditukar dengan garam, kain, tembakau Cina, opium, dan aneka barang dari
besi. Pada abad ke-19 terdapat sejumlah pangkalan di Boven Singkel (Singkil
Atas) yakni Sinundang, Kumbi, dan Puge di Batang Sinundang; Traju,
Pulau Melang, dan Bruntungan Kambing di Batang Sulambi; Panggalan dan
Silak di Batang Kumbi, Panuntungan dan Belegen di Batang Belegen, Angkat dan
Sarah di Batang Batu-batu, serta Biski di Batang Biski.[5]
Selain
ke Barus dan Singkil kamper dan kemenyan dari tanah Pakpak juga masuk ke
pelabuhan pantai barat lainnya yakni Tapian Na Uli (Sibolga), Natal dan Air
Bangis. Kedua komoditas ini menjadi barang ekspor utama bandar-bandar tersebut
hingga pertengahan abad ke-19. Khusus kemenyan sumbernya ada beberapa selain
tanah Pakpak. Tanah Toba salah satunya.
Jelaslah,
tanah Dairi yang menjadi sumber kamper andalan bandar-bandar pantai barat
Sumatera sejak lama. Juga sebagai kemenyan terbaik. Tidak heran kalau di masa
Hindia Belanda kawasan di pedalaman Barus dan Singkil ini dinamai Kamfergebied
(sentra kamper) dan Benzoegebiet (sentra kemenyan).
****
Prasasti
Lobu Tua
Ihwal
Barus sekarang sebagai pusat perdagangan masa lalu kian terang setelah
sebuah tiang bertulis ditemukan di Lobu Tua, dekat Barus, di masa Kontrolir GJJ
Deutz tahun 1873. Prasasti yang sekarang berada di Museum Nasional,
Jakarta, tersebut berhasil dibaca oleh gurubesar arkeologi di Madras, India, KA
Nilakanta Sastri, tahun 1932. Bertahun 1010 Saka (tahun masehi: Februari-Maret
1088), tiang itu bertuliskan—dalam bahasa Pallawa—ikhtiar perikatan
sebuah serikat dagang (merchant guild) Tamil. Menamakan diri
Perkumpulan Lima Ratus karena jumlahnya 500 orang, mereka berkiprah di
Barus selama abad ke-11.[6]
Bukti
kebandaran Barus dikuatkan lagi oleh hasil penggalian arkelologis oleh sebuah
tim Indonesia-Perancis di Lobu Tua tahun 1995-1996. Dalam eskavasi di
desa yang berjarak sekitar 2 kilometer dari Barus sekarang ditemukan
peninggalan arkeologi bermutu tinggi termasuk kaca dan keramik dari Timur Dekat
serta banyak pecahan keramik dari Cina. Serpihan ini berasal dari abad ke-8 dan
ke-9.[7]
Dari
paparan tadi jelas bahwa tanah Dairi atau tanah Papak-lah sumber kamper yang
telah mengharumkan nama Barus sejak masa pra-sejarah. Sebenarnya tidak semua
daerah di Dairi yang menghasilkan kamper kala itu. Cuma daerah tertentu saja.
Terutama Kelasan dan Manduamas. Kelasan, oleh orang India disebut Kalasapura
atau Kalasha. Penduduknya menamai kamper haboruan. Sedangkan orang
Pakpak umumnya (termasuk yang di Manduamas) menyebutnya keberuen. Tanda
kerapatan hubungan masyarakat Dairi dengan keberuen sangat jelas: di
tanah Pakpak ada sejumlah cerita rakyat (folklor) yang berlatarkan tanaman
hutan ini. Di antaranya kisah Pak-Edag-Pak-Edog dan cerita
Simbuyak-mbuyak.
Bahwa
kamper yang diekspor Barus sejak zaman klasik itu bersumber di tanah
Dairi atau tanah Pakpak, sayangnya hingga sekarang tak banyak yang
tahu. Anggapan umum kamper itu ya hasil bumi Barus; toh sebutan lainnya
juga ‘kapurbarus’. Tanah Pakpak sama sekali tidak dipersangkutkan. Orang Medan
dari zaman dulu punya sebutan untuk ironi seperti ini: lembu punya susu,
Benggali punya nama. Di Medan susu sapi segar dinamai ‘susu Benggali’
sebab orang Benggali-lah yang berkeliling menjajakannya. Kasus salah kaprah
susu Benggali ini sama dengan kasus ‘jeruk Medan’. Jeruk asalnya dari
tanah Karo, bukan Medan. Sebab itu sebutan yang tepat sebenarnya adalah ‘jeruk
Karo’ atau paling tidak ‘jeruk Berastagi’.
****
Kapurbarus
dalam Hikayat Pakpak
Keberuen
merupakan sebutan umum orang Pakpak untuk kapurbarus. Adapun proses mengambil
damar ini mereka sebut merteddung atau martodung.
Masyarakat lama Dairi berikatan batin erat dengan hasil hutan yang satu ini.
Bukan
sembarang komoditas keberuen ini bagi mereka. Sebab itu proses
pencariannya pun pakai aturan main atau syarat baku. Tidak setiap pohon
kapurbarus menghasilkan kapur. Tak jarang rombongan pencari yang sampai
berbulan-bulan masuk hutan akhirnya pulang berhampa tangan. Jadi peruntungan
juga menentukan. Agar pencarian lebih efisien rombongan biasanya membawa serta
pawang. Sang pawanglah yang memimpin prosesi nanti dan memandu para
pencari. Jadi selain kapurbarus, sejak lama juga tanah Dairi dikenal
sebagai penghasil pawang kapurbarus.
Kerekatan
Dairi dengan kamper melebihi wilayah manapun di Republik ini. Bukti
kerekatan ini adalah adanya koleksi cerita orang Pakpak yang berkait
dengan kapurbarus. Misalnya hikayat pasangan Pak-Edag-Pak-Edog dan Nan
Tartar-Nan Tortor[8] serta hikayat Simbuyak-mbuyak[9].
Hikayat
pertama ihwal cekcok suami-isteri. Suatu hari, merasa suaminya ingkar janji Nan
Tartar-Nan \Tortor pun minggat dari rumah. Sang suami, Pak-Edag-Pak-Edog,
pusing tujuh keliling setelah isterinya raib. Suatu malam ia bermimpi bahwa
isterinya bersembunyi di dalam sebatang pohon kapurbarus. Segera ia bertindak.
Diambilnya tongkat dan diketoknya setiap pohon kapurbarus yang ia temui di
hutan. Benar, Nan Tartar-Nan Tortor ada di dalam pohon. Masalahnya perempuan
itu selalu berpindah ke pohon kamper lain saban didekati.
Pak-Edag-Pak-Edog tak kenal lelah. Tongkat terus ia pukulkan. Alhasil bunyi
ketokan tongkatnya pun menggema di rimba raya: pakpak edag-edog... pakpak
edag-edog... pakpak edag-edog... Pendek cerita, hati isterinya kemudian melunak
sehingga mereka pulang happy ending. Yang mau dikatakan hikayat ini:
sejak bunyi menggema di hutan itulah sebutan ‘orang Pakpak’ diberikan kepada
masyarakat yang satu ini yang memang sejak berabad-abad terkenal sebagai
pencari ulung kapurbarus.
****
Simbuyak-mbuyak
Hikayat
kedua tentang tujuh lelaki bersaudara seibu-seayah dari negeri Urang Julu.
Mereka adalah (berturut mulai dari yang sulung) Simbuyak-mbuyak, Turuten,
Pinayungen, Maharaja, Tinambunen, Tumangger, dan Anakampun. Sejak lahir
Simbuyak-mbuyak tak bisa berdiri karena ruas tulang belakangnya kelewat
lemah. Kendati begitu, sesuai ajaran orangtuanya, ia tetap disayang
adik-adiknya. Setelah beranjak dewasa, keenam adiknya memutuskan pergi ke
rantau untuk mencari kamper yang harganya saat itu setara emas. Simbuyak-mbuyak
mohon ikut dan akhirnya disetujui termasuk oleh ibu-ayahnya.
Perjalanan
mencari kamper sungguh melelahkan, ternyata. Harus menembus hutan turun naik
gunung mereka. Apalagi keenam adik juga harus bergantian menggendong si
sulung. Akhirnya tiba juga mereka di tempat pepohonan kapurbarus tumbuh.
Sesuai arahan sang kakak mereka membuat gubuk persis di pertengahan lereng
Gunung Sijagar. Seia-sekata, tak boleh cekcok, memang itulah etos para pencari
kamper. Dan dari sini jugalah asal-usul maksim sosial terkenal di Tanah Pakpak:
‘Sada kata dok perteddung’ (Seia-sekata seperti ujaran pencari
kapurbarus).
Ketujuh
bersaudara pun mematuhinya. Fisiknya yang lemah membuat Simbuyak-mbuyak di
gubuk saja sendirian saat adik-adiknya pergi mencari kamper. Kerjanya seharian
memintal tali. Kamper yang didapat enam bersaudara sedikit saja dan itu pun, di
gubuk, kerap dilahap habis oleh si sulung. Begitu saban hari. Lama-lama
kedongkolan empat dari enam bersaudara yang sudah letih itu membuncah, tapi
Tinambunen dan Tumangger selalu berusaha meredakan suasana tegang.
Simbuyak-mbuyak sadar dirinya sedang disoal tapi ia berlagak tak tahu. Terus
saja ia memintal tali tanpa mau mengatakan untuk apa.
Tak
ada yang tahu ternyata Simbuyak-mbuyak bukan manusia biasa. Malam, saat
keenam adiknya sudah lelap ia sering menjelajah hutan. Ia bisa menandai mana
pohon yang berkamper dan mana yang tidak. Bahkan tahu berapa kandungan pohon
yang berisi kamper tersebut.
Kekecewaan
keempat adik Simbuyak-mbuyak akhirnya memuncak. Mereka memutuskan pulang dan
meninggalkan abang sulung di hutan. Suatu hari mereka pamit. Pulang dulu
mengambil bekal, itu alasannya. Merasa kasihan, Tinambunen dan Tumangger
mengatakan mau tinggal untuk menemani Simbuyak-mbuyak. Ternyata Simbuyak-mbuyak
mengatakan lebih suka ditinggal sendiri. Cuma satu pintanya: tolong dijemput
kalau pohon durian mereka di kampung sudah berbuah. Tak sembarang pohon durian
mereka itu: cuma satu dan buahnya tunggal pula. Tapi sungguh istimewa buah ini:
kelewat besar dan rasanya lezat nian. Semuanya mengatakan siap menjemput.
Sesampai
di kampung kepada orangtua keempat bersaudara tadi menceritakan kesialan mereka
di hutan. Mereka lantas mempersalahkan si abang sulung. Setelah berkisah
mereka menguatarakan pinta ke orangtua yaitu menggelar pesta dulu sebelum
mereka kembali ke hutan nanti. Sajiannya buah durian mereka serta daging
ternak. Pinta diluluskan.
Khawatir
terlambat Tinambunen dan Tumangger bergegas menjemput Simbuyak-mbuyak. Saat
kedua bersaudara ini masih menapak menuju Gunung Sijagar ternyata pesta di
kediaman mereka di Urang Julu sudah mulai. Lewat kemampuan istimewanya
Simbuyak-mbuyak tahu itu. Masygul dia. Lantas ia yang sejak kepergian keenam
adiknya telah menjelma menjadi pemuda ganteng nan gagah mulai merentangkan tali
yang selama ini dipintalnya. Setiap pohon berisi kapurbarus ia pertautkan
dengan tali itu. Ia berdoa agar pohon paling besar dan tinggi serta penuh
berisi kapurbarus tumbang. Doanya terkabul. Pohon itu terhempas. Juga, batang
itu terpotong-potong rapi. Berdoa lagi dia: kayu berpotong itu terbelah
dua.
Sewaktu
Tinambunen dan Tumangger tiba mereka tak menemukan abangnya. Bertambah heran
keduanya karena tali-temali berseliweran mulai dari gubuk hingga ke hutan.
Tatapan mereka kemudian terbentur pada sebuah pohon besar-tinggi yang rebah di
depan gubuk. Saat mendekat mereka melihat sang abang terbaring di belahan kayu
itu. Sontak disergap rasa kaget dan haru keduanya. Simbuyak-mbuyak mereka bujuk
agar keluar dari sana. Tak berhasil. Simbuyak-buyak mengungkapkan isi hati
kepada kedua adik yang sungguh menyayangi dirinya. Ia bilang bahwa seandainya
saja ikut dalam pesta buah durian dan daging ternak gemuk di kampung ia
akan memohon ke sang pencipta agar dirinya dijelmakan sebagai manusia sehat.
Tapi, semuanya sudah terlambat, ucap dia. Ia lantas memberitahu bahwa semua
pohon yang ia ikat itu berisi kapur barus. Ia persilakan mereka mengambilnya
nanti sebagai pengganti kapurbarus yang telah ia makan selama ini.
Setelah memberi pelbagai petunjuk dan bertitip pesan kepada kedua
orangtua dan sanak saudara ia pun mohon diri. Suara maha guruh terdengar
seketika. Kayu terbelah bersatu menelan tubuh Simbuyak-buyak. Kayu itu lalu
meluncur maha kencang dari lereng Gunung Sijagar. Ke samudra
arahnya.
Tinambunen
dan Tumangger sedih bukan kepalang. Namun duka mereka segera susut setelah
melihat kapurbarus berlimpah yang ditinggalkan Simbuyak-buyak. Dengan bawaan
yang sarat mereka pun pulang. Di rumah, kepada keempat saudaranya bawan itu
mereka bagikan juga. Akhirnya keluarga mereka menjadi makmur. Hikayat pun
berujung.
***
Negeri
Tujuan Kaum Migran
Penduduk
asli tanah Dairi adalah orang Pakpak. Sebab itu Dairi acap juga disebut tanah
Pakpak (Tanoh Pakpak). Seiring waktu kaum migran pun
bermunculan. Tanah yang luas dan subur menjadi alasan utama bagi mereka untuk
‘mendairi’. Alhasil setelah bergenarasi-generasi kawasan ini telah menjadi melting
pot. Berikut ini potret beberapa etnik atau puak yang telah lama
beranak-pinak di Dairi. Pakpak sendiri tentu perlu dikisahkan sebagai awalnya.
Pakpak
Tanah
Pakpak terdiri dari lima suak atau kelompok berdasarkan kedekatan wilayah,
sosial dan ekonomi. Suak itu adalah: Simsim, di kawasan Salak,
Kerajaan, Sitellu Tali Urang Julu, Sitellu Tali Urang Jehe; Keppas,
di kitaran Sitellu Nempu, Siempat Nempu, Silima Pungga-pungga, Lae Luhung (Lae
Mbereng) dan Perbuluhen; Pegagan dan Karo Kampung,
di sekitar Pegagan Jehe, Silalahi, Paropo, Tongging (Sitolu Huta) dan Tanah
Pinem; Boang, di lingkup Simpang Kanan, Simpang Kiri, Lipat
Kajang, dan Singkil; dan Kelasan, meliputi wilayah Sienem Koden,
Manduamas, dan Barus.
Orang
Pakpak juga bermarga. Di lingkup Suak Simsim terdapat
sejumlah marga antara lain Banurea, Beringin, Berutu, Boangmanalu, Cibero,
Kebeaken, Lembeng, Manik, Padang, Sinamo, Sitakar, Sitendang, dan Solin.
Di Suak Keppas: Angkat, Bako, Berampu, Bintang, Capah, Gajah
Manik, Kudadiri, Maha, Pasi, Sambo, Saraan, dan Ujung. Di Suak Pegagan:
Cupak atau Kecupak, Kaloko, Lingga, Manik, Matanari, dan Simaibang. Di Suak
Boang: Bancin, Berutu, Lembeng, dan Pohan. Sedangkan di Suak Kelasan:
Anakampun, Berasa, Gajah, Kesogihen, Maharaja, Meka, Mungkur, Sikettang,
Tinambunen, Tumangger, dan Turuten.
Kata
‘pakpak’ dalam bahasa Pakpak bermakna tinggi. Bisa jadi karena berdiam di
dataran tinggi atau pegunungan maka masyarakatnya dirujuk sebagai orang Pakpak.
Sejauh ini selain hasil telusuran berdasar asal-usul kata (etimologi) ada juga
tafsir ‘pakpak’ versi lain. Ada yang mengatakan kata ini berasal
dari ‘wakwak’, sebutan untuk kawasan ini oleh warga negeri Abunawas (Irak
sekarang) di zaman baheula.
Ada
pula yang menyebut ‘pakpak’ berasal dari nama orang. Alkisah, tiga pemuda
bersahabat karib bertolak dari Singkil. Nama mereka adalah si Gayo, si Karo,
dan si Pakpak. Pemuda Gayo melangkah mengikuti sungai Kali Alas. Ia tiba di
tanah Gayo. Melanjut ke Kutacane dia dan mentap selamanya. Pemuda Karo
mengikuti Lae Ulun dan tiba di tanah Karo. Di sana ia tinggal permanen. Adapun
pemuda Pakpak, ia mengikuti Lae Renun dan sampai di Pegagan Hilir. Di sana ia
bergabung dengan penduduk asli dan membentuk perkampungan. Seperti kedua
sobatnya ia pun menjadi migran yang berdiam menetap. Namanya kemudian
diabadikan untuk seluruh kawasan.[10]
Sudah
ada tiga tafsir tentang muasal kata ‘pakpak’. Lantas orang Pakpak sendiri dari
mana berasal? Seperti halnya asal-usul seluruh etnik atau sub-etnik lain di
Republik ini, yang satu ini pun belum jelas betul. Aneka macam versinya. Secara
umum, sejak zaman Belanda, oleh para etnolog orang Pakpak digolongkan ke dalam
etnik Batak. Jadi sama seperti orang Toba, Karo, Simalungun, Mandailing,
dan Angkola. Adanya sejumlah unsur kedekatan atau kesamaan—misalnya dalam
struktur sosial, sistem budaya, dan bahasa—puak ini satu sama lain menjadi
dasar penggolongan. Uli Kozok[11], misalnya, menyatakan keenam puak ini
memiliki bahasa yang satu sama lain banyak kesamaannya. Merujuk para ahli
bahasa ia menyebut bahasa Angkola, Mandailing, dan Toba membentuk rumpun
selatan; sedangkan bahasa Karo dan Pakpak-Dairi termasuk rumpun utara. Ihwal
Bahasa Simalungun ada dua pendapat. Berdiri di antara rumpun utara dan selatan,
begitu satu pendapat. Merupakan cabang dari rumpun selatan yang kemudian
terpisah sebelum bahasa Toba dan bahasa Angkola-Mandailing terbentuk, kata
pendapat lain.[12]
Belakangan
ini semakin nyaring terdengar pernyataan bahwa Pakpak bukan Batak,
terlepas dari sejumlah unsur kesamaan tadi. Menurut pemegang pendapat ini
(umumnya mereka orang Pakpak) sebagai etnik Pakpak lebih tua dari Toba yang
selama ini mengkleim sebagai leluhur segenap puak Batak. Diskleim senada
tadinya cuma dari Mandailing. Belakangan orang Karo dan Simalungun pun
kian banyak menyangkal diri Batak. Lama-lama bisa Toba belaka yang menyebut
diri Batak. Tentu para etnologlah yang punya otoritas untuk menimbang
kebenaran kleim atau diskleim ini.
Mereka
yang menyatakan Pakpak lebih tua dari Toba merujuk pada folklor lokal dan
benda-benda budaya dari zaman Hindu (di antaranya mejan—patung orang
menunggang gajah atau harimau, terbuat dari batu) yang sampai kini bisa
ditemukan di tanah Pakpak untuk menguatkan argumennya.
Kendati
tak tak memiliki mitologi lengkap yang mencakup ihwal penciptaan dunia dan
manusia pertama, orang Pakpak mempunyai folklor tentang lintasan
peradabannya. Menurut folklor ini Pakpak mengenal lima zaman yakni
Similangilang, Sintuara, Sihaji, Hindu, dan Pemimpin. Keterangannya berikut
ini[13].
Zaman
Similangilang. Pada masa ini orang belum tinggal menetap atau masih
nomaden. Berburu binatang merupakan pekerjaan utama mereka.
Zaman
Sintuara. Mereka sudah mulai bermukim tapi kerap berpindah. Kalau ada
anggota kelompok yang meninggal mereka akan berpindah sebab kematian dianggap
kesialan yang harus dihindari.
Zaman
Sihaji. Seperti masa sekarang, di masa ini kelompok sudah menetap secara
permanen di satu tempat. Mereka sudah mulai berdagang tapi belum
menggunakan mata uang. Jadi masih berbarter. Mitra dagang mereka termasuk orang
asing (Portugis, Mesir, dan India). Berbagai barang dari luar negeri sudah
masuk di antaranya koden loyang (periuk), kalakati (alat pengupas
pinang), sulapah (tempat sirih), pinggan pasu (piring pinggan), gabus
(ikat pinggang), dan borgot.
Zaman
Hindu. Ini sezaman dengan kerajaan Sriwijaya. Berarti abad ke-6 sampai
ke-12.
Zaman
Pemimpin. Bermula sejak Islam merebak di tanah Pakpak.
Kalau
folklor ini mengandung kebenaran faktual memang benar orang Pakpak
lebih tua dari orang Toba. Jalan pikirannya, bandingkanlah folklor kedua puak.
Menurut tambo (tarombo) orang Toba, manusia Batak pertama adalah Si Raja
Batak. Segenap orang Batak sekarang adalah keturunannya. Dari Si Raja Batak
hingga angkatan kanak-kanak Toba sekarang paling ada belasan generasi. Satu
generasi katakanlah 70 tahun. Jadi masa sejak Si Raja Batak hingga
masa sekarang baru paling 1.500 tahun (asumsinya orang Toba telah 20 generasi
lebih). Berarti baru setara era Hindu menurut folklor Pakpak tadi. Masih
jauh dari zaman Similangilang. Begitulah kalau kita membandingkan
folklor. Masalahnya, folklor tidak bisa dijadikan penakar tahun. Namanya juga
cerita rakyat atau sahibul hikayat: berbiaknya dari mulut ke mulut.
Jejak
kebudayaan Hindu sampai sekarang masih tampak jelas di tanah Pakpak. Mejan
salah satunya. Lainnya adalah benda yang tadi disebut dari zaman Sihaji:
koden loyang, kalakati, sulapah, pinggan pasu, gabus,
dan borgot. Jejak ini menjadi pertanda bahwa sebagai etnik Pakpak
memang sudah tua.
Tanah
Pakpak memang sejak lama berada dalam medan pengaruh pelbagai kebudayaan besar.
Kedekatannya dengan Aceh dan Barus menjadi penyebabnya. Setelah Hindu,
kebudayaan Islam dan Kristen merembes deras ke kawasan ini.
Islam
sudah lama hadir di tanah Pakpak. Kemungkin besar imbas dari
kebertetanggaannya dengan Aceh di utara dan Barus di selatan. Orang Pakpak yang
pertama mendalami Islam secara intens adalah Sjech Abdurrauf al-Singkili.
Dia pernah belajar agama di Pasai (Aceh) dan tanah Arab. Namun pengislaman
secara serius dan sistematis barulah oleh Tengku Telaga Mekar dari Gayo.
Pengikutnya menjadi unsur pasukan Slimin yang berjuang melawan Belanda kelak.
Gelombang pengislaman berikutnya mengalun di masa Guru Gindo. Sekitar
tahun 1926 sang guru bertolak dari kampungnya di Sumatera Barat untuk
mengembangkan siar Islam. Lewat Singkil dan Runding akhirnya ia tiba
Sidikalang. Di ibukota ini sejumlah pertaki berhasil ia
Islam-kan termasuk dari marga Bintang dan Ujung.[14] Dengan begitu Guru
Gindo berlomba dengan zending yang juga berhasil mengkristenkan beberapa pertaki.
****
Toba
Migrasi
orang Toba (sebutan orang Pakpak: Tebba) ke tanah Dairi sudah sejak lama
dan berlangsung beberapa gelombang. Mereka yang pertama berpindah kemungkinan
besar adalah penduduk kawasan yang berbatasan atau dekat dengan Dairi. Dalam
hal ini mereka yang bermukim di kedua pesisir yang diperantarai jembatan Tano
Ponggol, Pangururan, P. Samosir sekarang (penguasa Belanda mengeruk tanah di bawah
jembatan ini untuk menjadikan Samosir pulau di Tengah Danau Toba), serta mereka
yang berdiam di kitaran Humbang Hasundutan sekarang persisnya di selatan garis
imajiner Parlilitan-Pakkat. Mereka yang berasal dari pesisir barat
Samosir bisa berjalan kaki lewat Pangururan dan Tele di seberang Gunung Pusuk
Buhit kalau mau ke tanah Dairi. Bisa juga naik sampan (solu) dari
Samosir sebelum melanjut lewat jalur darat. Sedangkan mereka yang datang dari
arah Balige-Muara-Bakara bisa berjalan kaki melewati daerah Humbang. Lintasan
alternatif yang lebih mudah ada bagi mereka yakni naik solu ke Sagala
atau Pangururan lalu menapaki jalur darat.
Di
masa rintisan migrasi, macam-macam motif orang Toba yang melawat dan kemudian
menetap di tanah Pakpak. Mulai dari mengembara belaka untuk mengenal
lebih dekat dunia, mencari penghidupan yang baik, berdagang, hingga menimba
ilmu (sebagai catatan: Barus yang bertetangga dengan Dairi sejak lama telah
menjadi salah satu kiblat bagi orang Toba yang mendalami ilmu perdukunan atau hadatuon).
Kelompok
marga Silalahi termasuk orang Toba yang telah turun-temurun tinggal di tanah
Dairi. Berasal dari Samosir utara, nenek mereka melintasi bagian Danau
Toba yang paling luas dan paling dalam. Mereka lantas beroleh tanah dari orang Pakpak
pemilik hak ulayat. Marga mereka pun dibadikan sebagai nama untuik ranah
pemberian itu (Kecamatan Silalahisabungan, Dairi sekarang) berikut bagian danau
yang paling luas dan dalam tadi (Tao Silalahi).
Selain
Silalahi, marga lain yang sudah bergenerasi-generasi menetap di tanah Pakpak
termasuk Ompusunggu (bagian dari Aritonang, berasal dari Muara), Limbong,
Sagala, Malau, dan Sigalingging. Mereka mendapatkan tanah dengan pelbagai cara.
Ada yang awalnya putri mereka dipersunting penguasa lokal (pertaki).
Setelah besanan mereka lantas diundang untuk mendirikan kampung serta diberi
pertapakan. Ini misalnya dialami marga Ompusunggu yang menjadi besan Tuan
Kinalang alias Raja Pernakanmatah Ujung. Tanah pemberian untuk mereka terletak
di antara Hutaraja dan Hutaimbaru.[15]
Ada
pula yang bermula dari hubungan dagang. Marga Limbong misalnya ada yang
awalnya datang dari Samosir dengan mambawa ulos sebagai dagangan. Ia
kemudian dipermantukan pertaki dan diberi rading tanoh (tanah
pemberian orangtua kepada putrinya yang menikah).
Kisah
sekelompok marga Sigalingging lain lagi. Semula seorang kakek moyang mereka
datang ke Dairi untuk belajar membuat koden (periuk). Setelah
beroleh ilmu ia pulang kampung dan di sana ia bergiat membuat periuk tanah.
Hasil kriya tersebut ia bawa ke Dairi untuk dijual. Bisnisnya ternyata berhasil
dan ia kemudian dipermantukan marga Ujung yang menjadi penguasa lokal. Sebagai
menantu ia kemudian diberi rading tanoh. Turunannya kemudian beranak
pinak di sana sampai sekarang.
Marga
Sidabutar ada juga yang mendapatkan tanah dari raja marga Angkat dengan cara
yang kurang lebih sama.[16] Diberi tanah oleh penguasa setempat dan turunannya
lantas beranak pinak. Itulah proses mendairi yang umum ditempuh kaum migran
Toba. Perlu diingat di zaman rintisan itu penduduk masih sedikit sementara
tanah di Dairi masih maha luas. Sesuai hukum ekonomi paradoks yang terjadi:
sesuatu yang berlimpah nilainya kecil saja kendati manfaatnya sangat
besar. Contoh: udara dan air. Tanah di Dairi pun kala itu sama. Pada sisi
lain para penguasa lokal (pertaki) secara alami bersaing kekuasaan
atau berebut pengaruh satu sama lain. Agar kedudukan kokoh maka basis dukungan
harus diperbesar. Orang luar merupakan sumber dukungan tambahan yang bisa
diharapkan. Agar orang luar ini sudi bergabung harus ada kompensasinya. Tanah
peruntukan adalah kompensasi yang paling menarik bagi mereka setelah beru
(putri) keturunan sang penguasa. Adapun putri atau keponakan
perempuan dari sang pertaki tentulah tak banyak jumlahnya, karena
itu tanahlah kompensasi yang paling tersedia.
Untuk
mendapatkan tanah di masa itu proses yang dijalani kaum migran sama sekali tak
rumit atau berbelit. Mudah dimengerti karena hubungan mereka simbiosis
mutualistis (saling menguntungkan: pertaki perlu basis dukungan
sementara kaum migran perlu tanah).
Abner
Togatorop memberi sebuah gambaran. Waktu masih berusia sekitar tiga tahun (ia
lahir tahun 1926) kakeknya berniat meminta tanah kepada Pertaki Batu Empat.
Syarat lalu disiapkan sesuai adat sulang silima. Syarat itu berupa satu tumba
(2 liter) beras, sebutir telor yang ditaruh di tengah beras tadi, seekor
ayam jantan, serta uang seringgit. Saat menghadap seserahan disampaikan dan
permintaan diutarakan. Pertaki saat itu juga meluluskan. Ia menunjuk
begitu saja tanah untuk keluarga Togatorop[17].
Setelah
beroleh tanah, lazimnya yang dilakukan oleh kaum migran Toba di tanah Pakpak
adalah mendirikan kampung sendiri (mamungka huta). Untuk itu keluarga
dan handai-tolan di kampung asal diajak serta bergabung. Begitulah
asal-usul huta, lumban, atau sosor yang ada di Diairi
sekarang ini. Satu hal lagi yang perlu dicatat, masing-masing kelompok migran
Toba ini memiliki destinasi favorit. Sebab itu sebaran orang dari Humbang,
Habinsaran, Samosir, biasanya berbeda satu sama lain.
Migrasi
yang dipaparkan barusan bisa disebut bersifat alami. Artinya kedekatan
jarak yang kemudian merangsang interaksi lebih merupakan pemicunya. Gelombang
migrasi bercorak lain selanjutnya mengalun di awal abad ke-20.
****
Belanda
memutuskan untuk memerangi Si Singamangaraja XII yang berdiam di Paya Raja,
Kelasen, Dairi, sejak tahun 1883. Maka pada 19004-1905 mereka
melangsungkan dua ekspedisi militer di Dairi. Misi ternyata gagal
sehingga November 1905 Letnan L. Van Vuuren ditempatkan di Sidikalang
sebagai pejabat sipil merangkap komandan pasukan. Benteng Sidikalang dan
sejumlah pondokan pasukan segera dibangun.
Untuk
membangun fasilitas militer Belanda membutuhkan para pekerja termasuk
tukang, kuli bangunan, dan portir. Di masa itu tukang terampil lulusan sekolah
belum ada di Dairi. Belanda akhirnya memutuskan untuk menggunakan tenaga
kerja yang tersedia di Silindung. Masalah timbul karena orang-orang
dari Silindung—asal mereka sebenarnya dari mana-mana termasuk dari Toba,
Humbang, dan Samosir—enggan berangkat ke Dairi karena tahu Si Singamangaraja
XII yang akan diperangi Belanda di sana. Belanda meluluhkan hati mereka
dengan imbalan besar. Ratusan orang pun siap berangkat.
Setiba
di Dairi para pekerja dari Silindung ini banyak yang terkesima oleh tanah subur
dan kosong yang terhampar di mana-mana. Ketika kembali ke kampung saat cuti
atau ikatan kerjanya telah selesai mereka berkisah kepada handai tolan
tentang betapa menjanjikannya masa depan di tanah Pakpak. Tergiur, para pendengar
kisah pun memutuskan untuk turut pindah ke Dairi, mendairi. Migrasi besar pun
terjadilah.
Setelah
orang Toba kian banyak di Dairi, terutama di Sidikalang, penginjil termashyur
asal Jerman, Nommensen, kemudian meminta zending masuk ke Dairi. Gereja Huria
Kristen Batak Protestan (HKBP) pun berdiri di Sidikalang tahun
1908. Tak hanya orang Toba yang belum Kristen yang dirangkul oleh zending
kala itu tapi juga orang Pakpak yang sebagian besar masih menganut agama
suku. Hasilnya, tahun 1909, Jaekuten Keppas Raja Asah Ujung dibaptis
menjadi Kristen. Juga saudaranya: Raja Alang, Raja Kundeng, dan Raja Jonang.
Kalau penguasa sudah dirangkul otomatis pengikutnya akan lebih mudah diajak
serta. Dan memang begitulah yang terjadi. [18]
Migrasi
orang Toba terus berlanjut di masa kemerdekaan. Mengisi posisi pegawai
birokrasi, guru, dan tentara itu tujuan utamanya. Demikian juga di masa gerilya
dan pasca penyerahan kedaulatan tahun 1949. Pemasukan kembali Dairi ke
Kabupaten Tapanuli Utara yang beribukotakan Tarutung menjadi perangsang
tambahan.
Migrasi
orang Toba berpuncak di masa Orde Baru. Dairi membangun. Orang-orang
berpendidikan datang mengisi pelbagai lowongan birokrasi kabupaten, guru, dan
tenaga kesehatan hingga ke desa-desa. Mereka yang tak berpendidikan juga tak
mau kalah. Mereka berkiprah di sektor informal. Alhasil, setelah migrasi yang
berlangsung lama Dairi pun menjadi salah satu daerah rantau utama orang
Toba sampai kini. Dan secara statistik, jumlah mereka kini sudah
jauh melampaui orang Pakpak.
****
Karo
Tanah
Karo berbatasan langsung dengan Tanah Dairi. Laubalang, Juhar, dan Tongging
antara lain menjadi titik di dekat garis batas kedua wilayah. Kebertetanggaan
langsung ini dengan sendirinya membuat kedua wilayah bersinggungan secara
kultur. Bahasa yang mirip menjadi salah satu pertandanya.
Ada
sebuah wilayah di perbatasan yang oleh penguasa Belanda dulu disebut
sebagai Onderdistrik van Karo Kampung. Kawasan ini meliputi lima
kenegerian yakni : Lingga (Tigalingga), Tanah Pinem, Pegagan Hilir, Juhar
Kidupen Manik, dan Lau Juhar. Dinamai Karo Kampung karena kulturnya
memang Karo. Kemungkinan besar kawasan ini merupakan wilayah Karo yang
masuk wilayah Dairi akibat demarkasi oleh Belanda. Pinem menjadi
salah satu marga tanah di Karo Kampung. Tanah Pinem, menurut tulisan
tokoh masyarakat Karo Dairi, alm. Mandur Pinem[19], merupakan asal segenap
marga Pinem. Jadi bukan tanah Karo, seperti anggapan umum. Hal ini, masih
menurut dia, telah diakui dalam sebuah seminar adat di tanah Karo sekitar tahun
1958.
Selama
ini hubungan orang Karo dengan Pakpak boleh dibilang berlangsung mulus dan
akrab. Orang Karo tak agresif dalam mendapatkan tanah sehingga ketegangan
dengan pribumi Pakpak jarang terjadi. Selain itu sejumlah marga di Dairi dan
Karo menjalin perikatan khusus. Misalnya Kudadiri dengan Ginting
Suka, Sinuraya dengan Angkat, dan Padang Jambu dengan Pinem. Relasi
khususlah yang kemudian memunculkan marga seperti Peranginangin Laksa,
Sembiring Maha, Sebayang Solin, dan Karokaro Ujung.
Selain
hubungan khusus, ada juga peristiwa tertentu yang telah merekatkan orang Pakpak
dengan orang Karo. Misalnya pergolakan PRRI pada paruh kedua 1950-an.
Dalam perkembangan lanjutan gerakan ini salah satu tokoh sentralnya, Kolonel
Maludin Simbolon berseberangan jalan dengan orang dekatnya, Letkol Djamin
Gintings (sewaktu Simbolon menjadi panglima Komando Tentara dan Teritorium-I
Sumatera Utara, Gintingslah kepala stafnya). Seperti di daerah lain di Sumatera
Utara, di Dairi pun masyarakat terbelah waktu itu: ada yang berpihak ke
Simbolon, ada yang ke Gintings. Orang Pakpak yang berpihak ke Djamin
Gintings sebagian mengidentifikasikan diri ke orang Karo. Menggunakan
marga Karo itulah antara lain yang mereka lakukan. Marga Maha misalnya menjadi
Sembiring. Yang memihak Simbolon ada juga seperti itu.[20] Pengidentifikasian
diri itu ternyata permanen.
Pertautan
Karo-Dairi lainnya dalam bidang pertanian. Karo, boleh dibilang, sejak lama
menjadi model bagi Dairi dalam hal pertanian. Sejak bersentuhan dengan teknologi
pertanian di masa Hindia Belanda Karo telah menjadi sentra agribisnis utama di
Sumatera bahkan di Indonesia. Sejak lama hasil ladang mereka—sayur dan
buah-buahan—telah menjadi komoditi yang berpasar di P. Jawa, Singapura, dan
negeri lain di kitaran Asia Tenggara.
Di
Dairi masyarakat petani yang paling intens mengikuti jejak Karo di bidang
pertanian adalah mereka yang bermukim di Karo Kampung (sekarang tiga kecamatan:
Tanah Pinem, Tigalingga, dan Gunung Sitember). Wajar: Kedekatan secara
geografis dan kultural telah membuat mereka senantiasa rapat. Ketika
mekanisasi pertanian meraja di tanah Karo tahun 1960-an misalnya, Karo Kampung
yang pertama terimbas di Dairi. Alhasil sampai sekarang kawasan ini masih
penyumbang pendapatan asli daerah (PAD) terbesar Dairi dari sektor
pertanian.
****
Simalungun
Diperantarai
Tao Silalahi, pesisir Silalahi-Paropo (Dairi) yang panjangnya sekitar 30
kilometer berhadapan dengan Tigaras-Haranggaol (Simalungun). Yang membuat
wilayah Dairi dan Simalungun ini tak berbatasan langsung hanyalah pengkolan
tempat Tongging dan semenanjung Sibaulangit (keduanya masuk Karo) berada.
Kendati
berdekatan, relasi Dairi-Simalungun tidak istimewa. Adanya wilayah Karo
sebagai bemper atau penyangga kemungkinan besar merupakan penyebabnya. Karo
budayanya dominan[21] sehingga meredam pengaruh Simalungun di kawasan
itu. Apalagi orang Simalungun sendiri tidak agresif dan cenderung
inward-looking.[22] Alhasil tak banyak mereka yang bermigrasi ke
negeri seberang, ke Dairi. Hanya karena agresi Belanda tahun 1949-lah mereka
mulai masuk ke sana. Begitu pun, selama ini masih lebih banyak orang Dairi yang
bermigrasi ke Simalungun daripada sebaliknya. Seribudolok menjadi tujuan utama
mereka. [23]
****
Etnik
lain
Dairi
berpenduduk multi-etnik, terutama Sidikalang. Ibukota ini sendiri sejak
dijadikan Belanda basis untuk memerangi Si Singamangaraja XII telah menjadi
titik baur berbagai etnis (melting pot). Orang Jawa, Minang,
Mandailing-Angkola, dan Cina antara lain unsurnya.
Orang
Jawa datang untuk menjadi pegawai baik di pemerintahan, perusahaan
swasta, maupun di sektor informal. Orang Minang, seperti biasa, bergiat
di bisnis rumah makan. Menjadi tukang mas, ada juga mereka. Kaum perantauan ini
membanyak di Dairi setelah tokoh utama mereka, Guru Gindo, bergiat dalam siar
Islam. Awalnya kerabat Guru Gindo saja yang datang menyusul dari Sumatera
Barat; lama-lama orang dari luar lingkaran mereka juga.
Dibanding
etnik pendatang lain orang Cina-lah yang lebih dulu eksis berdagang di tanah
Dairi. Bisnis utama mereka adalah menampung dan menyalurkan hasil bumi
macam kemenyan, nilam, dan kopi. Sebelum zaman Jepang mereka sudah aktif.
Perintis bisnis ini di Sidikalang termasuk ayahanda toke Teseng, Pengki,
dan Pinciang. Seperti di kawasan mana pun di negeri ini, di Sidikalang
pun orang Cina-lah yang paling dominan menguasai perekonomian lokal. Baru
belakangan ini saja dominasi mereka seperti terimbangi, dan itu terutama karena
semakin banyaknya generasi muda orang Cina meninggalkan Sidikalang dan membuka
bisnis di Siantar, Medan, Jakarta, bahkan luar negeri.
[1]
Hutan di Kecamatan Sumbul dan Parbuluan menyumbangkan sebagian
besar air sungainya ke Danau Toba, terutama yang berhulu di hutan lindung Lae
Pondom. Lihat Jansen H. Sinamo dkk. dalam Dairi—The Hidden
Prosperity (terbit tahun 2000)
[2] Lihat Jane Drakard, Sejarah Raja-Raja Barus—Dua
Naskah dari Barus (Gramedia Pustaka Utama dan Ecole Francaise
d-Extreme-Orient, Jakarta, 2003).
[3]
Jane Drakard, ibid.
[4]
Jane Drakard, ibid.
[5]
Gusti Asnan, Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera (Ombak, 2007).
[6]
Claude Guillot (Ed.), Lobu Tua Sejarah Awal Barus (Ecole Francaise
d’Extreme-Orient, Association Archipel, Pusat Penelitia Arkeologi,Yayasan Obor
Indonesia—Jakarta, 2002).
[7]
Claude Guillot, ibid.
[8]
Lihat MA Marbun-LMT Hutapea, Kamus Budaya Batak Toba—Balai Pustaka 1987.
[9]
Dipetik dari sebuah tulisan di internet. Sayang identitas penulisnya tak ada.
[10]
Perkisahan ini berasal dari para narasumber Pakpak dalam wawancara di
Sidikalang pada 7 Oktober 2008.
[11]
Sembari meneliti sastra Batak ia pernah menjadi dosen di IKIP Medan dan USU.
Lulusan Universitas Hamburg ini thesis dan disertasinya tentang sastra
Batak.
[12]
Uli Kozok, Warisan Leluhur—Sastra Lama dan Aksara Batak (Kepustakaan
Populer Gramedia dan Ecole Francaise d’Extreme-Orient, 1999).
[13]
Wawancara dengan R. Ardin Ujung di Sidikalang pada 7 Oktober 2008.
[14]
Wawancara dengan para narasumber Pakpak di Sidikalang pada 7 Oktober
2008.
[15]
Wawancara dengan Ranap Ompusunggu di Sidikalang pada 7 Oktober 2008.
[16]
Wawancara dengan para narasumber Pakpak di Sidikalang pada 7 Oktober
2008.
[17]
Wawancara dengan Abner Togatorop, mantan guru dan anggota DPRD Dairi, di
Sidikalang pada 7 Oktober 2008.
[18]
Wawancara dengan Abner Togatorop di Sidikalang pada 7 Oktober 2008.
[19]
Tulisan ini dirujuk putranya, Saulus Peranginangin Pinem, dalam wawancara di
Sidikalang 9 Oktober 2008.
[20]
Wawancara dengan para narasumber di Sidikalang di Sidikalang pada 7-9
Oktober 2008.
[21]
Seperti kata para narasumber, siapa pun yang masuk Tanah Karo akan
terserap budaya Karo.
[22]
Lihat pelbagai tulisan Martin Lukito Sinaga dan Limantina Sialoho di majalah TATAP.
[23]
Wawancara dengan S. Cyrus Purba di Sidikalang pada 7 Oktober 2008.
Dipetik dari buku DAIRI DALAM KILATAN
SEJARAH, karangan Jansen Sinamo, Flores Tanjung, dan Hasudungan Sirait
You might also like:
Share this Article on :
Mantap
BalasHapus