Jumat, 03 Mei 2013

asal suku pakpak

^ asaL – USUL SUKU PAKPAK silima SUAK ^

MATANARI PAKPAK PEGAGAN
Pakpak-Dairi
Suku Pakpak berasal dari keturunan imigran bangsa atau suku dari India Selatan (kerajaan Colamandala) yang pernah menyerang dan menahlukkan kerajaan Sriwijaya (di Palembang) hingga raja Sri Sangramawijaya Tunggawarman tertawan (1025 M). Kerajaan Sriwijaya ini akhirnya runtuh tahun tahun 1337 M, yang menyebabkan terjadi penyebaran manusia sehingga terbentuk suku Pakpak suak Pegagan sekitar 600 tahun yang silam. Diduga manusia pendatang (imigran) pertama yang masuk ke tanah Pakpak, Karo dan Gayo (Alas) adalah sama nenek-moyangnya, karena kata menyebutkan air (kebutuhan utama manusia) adalah hampir sama. Air bahasa pakpak adalah Lae, bahasa Karo adalah Lau dan bahasa Gayo (Alas) adalah Lawe. Kemiripan kata-kata dalam bahasa Pakpak dengan bahasa Karo adalah relatip besar. Jika di Tanah Karo terkenal Marga Silima, di Tanah Pakpak terkenal Pakpak Lima Suak (sama-sama kata lima).
Suku Pakpak-Dairi terdiri dari lima (5) suak yang menempati wilayah (hak wilayat) masing-masing, yakni:
1. Pakpak suak Boang, di daerah Boang, Singkil, Sbullusalam, daerah Aceh dan sekitarnya.
2. Pakpak suak Klassan, di derah Parlilitan, Pakkat dan sekitarnya, misalnya marga di daerah Urang julu (disebut: daerah Sionem Koden) adalah Simbuyak-mbuyak (tidak berketurunan), Turuten, Pinayungen, Maharaja, Tinambunen, Tumangger dan Anak Ampun (artinya anak bungsu, sering disebut Nahampun) dan didaerah pakat marga Meka dan lain lain,
3. Pakpak suak Simsim, didaerah kecamatan Kerajaan, Salak dan sekitarnya, misalnya marga Kabeaken, Brutu (Sinaga..?), Padang (Situmorang..?), Padang Batanghari (keturunan Parrube Haji…?), Sitakar, Tinendung, dan lain lain.
4. Pakpak suak Keppas, misalnya keturunan si Naga Jambe yang mulanya berasal dari daerah Sicikeh-cikeh dan kemudian berkembang didaerah Sidikalang yakni ada 7 marga yaitu, Raja Udjung, Raja Angkat, Raja Bintang, Raja Capah, Raja Gajah Manik, Raja Kudadiri dan Raja Sinamo.
5. Pakpak Pegagan, di daerah Pegagan (meliputi daerah Balna Sibabeng-kabeng, Lae Rias, Lae Pondom, Sumbul, Juma Rambah, Kuta Manik, Kuta Usang dan sekitarnya, hanya ada tiga (3) marga, yaitu (1) Raja Matanari, (2) Raja Manik, dan (3) Raja Lingga.
Marga (Raja) Matanari, Manik dan Lingga adalah keturunan Papak Suak Pegagan (disebut si Raja Gagan ataupun si Raja Api). Si Raja Api adalah salah seorang dari Pitu (7) Guru Pakpak Sindalanen (yakni keturunan Perbuahaji) . yang cukup terkenal ilmu kebatinannya (dukun yang disegani , ditakuti dan tempat belajar atau berguru ilmu kebatinan) diketahui melalui legenda yang cukup terkenal di daerah Pakpak, Karo Simalem dan mungkin juga di Gayo ..? (Alas). Apabila Pitu Guru Pakpak Sindelanan bersatu, maka dianggap sudah lengkaplah ilmu kebatinan yang dipelajari orang pada zaman dahulu, yakni meliputi:
1. Raja Api (Raja Gagan) di daerah Pakpak Suak Pegagan, adalah dukun (datu) yang mempunyai ilmu kebatinan Aliran Ilmu Tenaga Dalam, yang menyerupai tenaga Api (misalnya disebut: Gayung Api, apabila kena pukulanya akan terbakar atau gosong, Tinju Marulak, yakni justru orang yang memukulnya yang mengalami efek pukulan, dan lain lain), Ilmu kebatinan yang dikuasai dan dikembangkan si Raja Api dan keturunnya berkaitan dengan pembelaan diri, berkelahi, dan berperang melawan musuh.
2. Raja Angin di daerah Pakpak Suak Keppas, adalah dukun yang mempunyai ilmu kebatinan sperti tenaga angin. Kalau angin kuat berhembus (topan) dapat merobohkan yang kuat dan besar. Kalau angin berhembus lambat, tidak akan terasa dan tidak dapat dilihat, tetapi mereka ada. Jadi dapat tiba-tiba si Dukun (yang mempunyai ilmu ini) tiba-tiba ada di depan mata kita.
3. Raja Tawar pergi ke Tanah Karo Simalem, adalah dukun yang mempunyai ilmu kebatinan berkaitan dengan obat-obatan ramuan tradisional. Terbukti di daerah tanah Karo Simalem berkembang ilmu pengobatan Ramuan Tradisional, pengobatan Patah Tulang, luka terbakar dan lain lain, yang kadang kala lebih hebat dari pengobatan ilmu medis (kedokteran).
4. Raja Lae atau Lau atau Lawe yang pergi ke daerah Tanah Karo Simalem atau daerah Gayo-Alas. Lae = lau = lawe berarti air (bahasa suku Toba disebut aek). Raja Lae adalah dukun yang mempunyai ilmu kebatinan yang dapat mendtangkan hujan, mencegah turun hujan di suatu tempat atau mengalihkan hujan dari satu tempat ke tempat lain (disebut Pawang Hujan).
5. Raja Aji di daerah Pakpak Suak Simsim sekitar kecamatan Kerajaan, Salak dan sekitarnya. Raja Aji adalah dukun yang mempunyai aliran ilmu Membuat dan Pengobatan penyakit Aji-ajian (Guna-guna, misalnya Aji Turtur, Gadam,Racun, dan lain lain).
6. Raja Besi di daerah Pakpak Suak Kellasen, adalah dukun yang mempunyai ilmu kebatinan yang berhubungan alat-alat terbuat dari besi. Misalnya ilmu tahan (kebal) ditikam dengan pisau, kebal digergaji, terhindar dari atau kebal peluru senjata api, dan lain lain.
7. Raja Bisa di daerah Pakpak Suak Boang, adalah dukun yang mempunyai ilmu kebatinan yang berhubungan dengan pembuatan dan Pengobatan yang ditimbulkan oleh Bisa, missal bisa ular, kalajengking, lipan, laba-laba, dll
Setelah si Raja Api mempunyai keturunan 3 orang anak laki-laki, maka salah seorang putranya diberi nama Raja Matanari (berasal dari arti Matahari). Si Raja Api menginginkan ilmu/tenaga kebatinan yang dimiliki putranya harus melebihi tenga Api seperti yang telah dimilikinya. Keinginan si Raja Api, putranya harus mempunyai ilmu kebatinan/tenaga dalam menyerupai tenaga (kekuatan) Matahari.
Pada mulanya Pakpak Pegagan (si Raja Api), bapa dan kakeknya adalah manusia Nomade (mendapat makanan dari alam, hanya memanen hasil hutan dan hasil berburu binatang, menangkap ikan dan tinggal berpindah-pindah). Diduga mereka pertama sekali tinggal sekitar hutan Lae Rias dan Lae Pondom, sehingga perkampungan mereka yang pertama diyakini adalah di sekitar Lae Rias di hulu (takal) sungai Lae Patuk, yakni daerah di atas daerah Silalahi. Kuburan si Raja Api dan orangtuanya serta beberapa keturunannya Raja Matanari diduga disekitar hutan Lae Rias, yang menurut Legenda disebut daerah Sembahan (keramat) SIMERGERAHGAH, Simergerahgah adalah mpung si Perbuahaji (yang memperanakkan si Raja Api = Pakpak Pegagan) keturunan orang/suku Imigran dari India yang masuk dari daerah Barus.
Sesuai perkembangan zaman dan kebudayaan, keturunan Pakpak Pegagan tersebut di atas mengalami perubahan dari budaya Nomade menjadi Petani Berpindah-pindah. Mereka berpindah-pindah mencari lahan yang lebih subur, dan setelah agak tandus kemudian ditinggalkan. Sistim pertanian berpindah-pindah ini mengarahkan mereka dan keturunanya bergerak ke arah Balna Sikabeng-kabeng, Kuta Gugung, Kuta Manik, Kuta Raja, Kuta Singa, Kuta Posong, Sumbul Pegagan, Batangari (Batanghari), Juma Rambah, Simanduma, sampai daerah Tigalingga.
Pakpak Suak Pegagan hanya ada tiga (3) marga yaitu Raja Matanari, Raja Manik dan Raja Lingga.
Sesuai dengan perkembangan kebudayaan, zaman dan sejarah akhirnya masing-masing keturunan 3 putra si Raja Api Pakpak suak Pegagan menempati daerah Balna Sikaben-kabeng dan Kuta Gugungserta sekitarnya (keturunan Raja Matanari), daerah Kuta Manik dan Kuta Raja serta sekitarnya (Raja Manik).dan daerah Kuta Singa dan Kuta Posong serta sekitarnya (Raja Lingga). Kuta (kampung) yang lain adalah perkembangan (pertambahan) pada generasi berikutnya…..info lebih jelas lihat di www.pakpakonline.com atau www.pakpakbharat.go.id
Review Buku Silsilah Marga Manik Pakpak Dairi
Kali ini saya coba membuat resensi buku sejarah silsilah marga Manik yang berasal dari Pakpak Dairi,buku ini ditulis oleh Bp.Mansehat Manik,S.Pd salah seorang keturunan marga Manik dari Pakpak yang saat ini masih menjabat sebagai Ketua DPRD Kabupaten Pakpak Bharat juga anggota Majelis Pusat Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi (GKPPD).
Selama ini pihak keturunan Raja Borbor ataupun yang lebih kecilnya lagi keturunan Silau Raja dari Toba selalu mengklaim bahawa semua marga yang berbunyi Manik entah dari Toba,Damanik di Simalungun,Karo-Karo Manik di Karo dan Manik di Pakpak Dairi seakan-akan membuat sebutan “manik” adalah Hak Ekslusif dari pihak Toba semata.
Mari kita perdalam buku ini…
Diceritakan dalam Sejarah Pihak Pakpak maka asal mereka adalah dari India Selatan yaitu dari Indika Tondal ke Muara Tapus dekat Barus lalu berkembang di Tanah Pakpak dan menjadi Suku Pakpak.Pada dasarnya mereka sudah mempunyai marga sejak dari negeri asal namun kemudian membentuk marga baru yang tidak jauh berbeda dengan marga aslinya.
Tidak semua Orang Pakpak berdiam di atas Tanah Dairi namun mereka juga berdiaspora,meninggalkan negerinya dan menetap di daerah baru.
1. Sebagian tinggal di Tanah Pakpak dan menajadi Suku Pakpak “Situkak Rube:,”Sipungkah Kuta” dan “Sukut Ni Talun” di Tanah Pakpak.
2. Sebagian ada pergi merantau ke daerah lain,membentuk komunitas baru.Dia tahu asalnya dari Pakpak dan diakui bahwa Pakpak adalah sukunya namun sudah menjadi marga di suku lain.
3. Ada juga yang merantau lalu mengganti Nama dan Marga dengan kata lain telah mengganti identitasnya.
Diceritakan bahwa Nenek Moyang awal Pakpak adalah Kada dan Lona yang pergi meninggalkan kampungnya di India lalu terdampar di Pantai Barus dan terus masuk hingga ke Tanah Dairi,dari pernikahan mereka mempunyai anak yang diberi nama HYANG.Hyang adalah nama yang dikeramatkan di Pakpak.
Hyang pun besar dan kemudian menikah dengan Putri Raja Barus dan mempunyai 7 orang Putra dan 1 orang Putri yaitu :
1. Mahaji
2. Perbaju Bigo
3. Ranggar Jodi
4. Mpu Bada
5. Raja Pako
6. Bata
7. Sanggar
8. Suari (Putri)
Pada urutan ke 4 terdapat nama Mpu Bada,Mpu Bada adalah yang terbesar dari pada saudara-saudaranya semua,bahkan dari pihak Toba pun kadangkala mengklaim bahwa Mpu Bada adalah Keturunan dari Parna dari marga Sigalingging,gimana bisa?sedangkan pada sejarah sudah jelas-jelas bahwa Mpu Bada adalah anak ke 4 dari Hyang..makanya perlu hati-hati jika memperhatikan pembalikan fakta sejarah yang sering dilakukan oleh Pihak Toba dewasa ini.
Anak Sulung,Mahaji mempunyai Kerajaan di Banua Harhar yang mana saat ini dikenal dengan nama Hulu Lae Kombih,Kecamatan Siempat Rube.
Parbaju Bigo pergi ke arah Timur dan membentuk Kerajaan Simbllo di Silaan,saat ini dikenal dengan Kecamatan STTU Julu.
Ranggar Jodi pergi ke arah Utara dan membentuk Kerajaan yang bertempat di Buku Tinambun dengan nama Kerajaan Jodi Buah Leuh dan Nangan Nantampuk Emas,saat ini masuk Kecamatan STTU Jehe.
Mpu Bada pergi ke arah Barat melintasi Lae Cinendang lalu tinggal di Mpung Si Mbentar Baju.
Raja Pako pergi ke arah Timur Laut membentuk Kerajaan Si Raja Pako dan bermukim di Sicike-cike.
Bata pergi ke arah Selatan dan menikah kemudian hanya mempunyai seorang Putri yang menikah dengan Putra Keturunan Tuan Nahkoda Raja.Dari sini menurunkan marga Tinambunen,Tumangger,Maharaja,Turuten,Pinanyungen dan Anak Ampun.
Sanggir pergi ke arah Selatan tp lebih jauh daripada Bata dan mmbentuk Kerajaan di sana,dipercaya menjadi nenek moyang marga Meka,Mungkur dan Kelasen.
Suari Menikah dengan Putra Raja Barus dan memdiam di Lebbuh Ntua.
Marga Manik diturunkan oleh Mpu Bada yang mempunyai 4 orang anak yaitu :
1. Tndang
2. Rea sekarang menjadi Banurea
3. Manik
4. Permencuari yang kemudian menurunkan marga Boang Menalu dan Bancin.
Ditulis oleh : Mansehat Manik,S.pd
SUMBER : SUKU pakPAK COMUNITY




sukut sukuten

kisah sepasang suami istri yang saling cinta dan saling sayang tapi kurang musyawarah/arih arih.
sang suami kerj tukang mungut getah kemennyan/ per kemenjen
sang istri ngurus rumah dll.

si suami lot jam tangan na tapi oda ne mertali serrap.
si istri gedang buk na tapi oda lot bando ket eket buk na.

pas mo hari onan meronan mo kalak en dua na tapi oda rebakkn jolo mo si suami en meronan merdea kmenjen na asa lot lako mahan belanja kalak i.
si istri pe meronan ma tapi lako ki gtapken buk na janah buk nen idea na mo buk na ndai itokorkrn mo tali jam, lako mahan tali jam suami na sangkin kllengna ate na mendahi suami na ndai, asa tambah maholi daholi ken bagi atena..
si suami ndai pe enggo kksa i deaken kmenjen na ndai belanja mo iya menokor beras ket ikan janh pas pas ngo kepng na jadi ona ne lot tading. ibgs niat na kin ning menokor bando ket ikat rambut lako man bren kenna mendahi istri nen. owh cpeh asa lolo nan istriku katena ideaken mo jam tangan na si oda mer tali ndai itokorken mo bando ket ikat rambut lako men dahi istrina ndai.

enggo mo cibon ari mulak mo kalak en duana tapi oda ma rebakken bagas ate kalak en dua na lako ki pesennang ukur mo duana tapi oda si mer betohen.

soh mo isapo..

suami:> dek en lot ku tokor bando mu ket eket buk mi da asa tambah mbru ko imo dah ko seyang na aq bamu....enggo ku dea jam tangan ku lako menokor en

istri:> yahhhhhh le abg... enggo mo ku gtapken buk ku ku tokorken mi tali jam asa mertali jam daholi ku bagi ate ku en kune mi..?

suami: yah kasa oda i bgah ken ko..?
istri: yah ko pe oda ma i bahaken ko.?

jadi mer siroi kalak en krna enggo mago sia kepeng oda mer guna imo akibat na oda lot musyawarah/mupakat kalak en si dua.

mendahiken dengan dengan krina musyawarah/ mupakat i penting kalon ngo kppe..asa olang peol/sia sia bage crita ni dates..
njuah njuah.


EMPAMA/PANTUN PAKPAK

ibuat kalakati asa lot menaka pinag
asa lot dengan napuren
ni ruap le kata sentabi mendahi
karina dengan ta pulung

dulang mo daling kasumpat
si tagke mahan pengenahen
mla mer sirang ulang mo merubat
mennde sppe mer sitenahen

kitik ngo si buah mburle
buah kempaba ngo i oreken
cituk ngo dalan asa mbue
narapken taba mo tangan mreken

aceh si pihir tulan
mbllang tanoh na mahan pilihen
sa maseh mo ate tuhan
i pedaoh mo krina per selisihen

cibako bulung nintuba
kapias mo bulung nintalun
krna simbak dekkt pertua
knnah ruap ngo merkata lalun

mbulak si kayu rube
ngulang soh mi tahuma
mulak pe kami lbbe
sekalen njola kita pejumpa

ndabuh si rimo mungkur
mertinggang rimo kejaren
kene si gedang ukur
kami en mahan ajaren

bigo bigo menum tasari
buah ni salak mer jari jari
bagi mo lbbe kata i pesakat kami
tah kurang mnde ulang lupa ke mengajari

dua lubang ni sige
sada mahan grit griten
tah soh mi ladang dike
ulang ma mo mbernit mberniten

isuan mo page mentr turah dukut
ni suan dukut oda turah mer dengan page
ni suan pe kini mende geut dak kelduk
makin ni bain ngkelduk
makin ndaoh krina kini mnde

kudok dalan mi juma
kppe dalan ki ranting
ku dok dalanta jumpa
kppe dalan ku tading

rirang rirang buah gumparing
ruah ruah dahan parira
gia pe kita sirang
njuah njuah mo banta krina

mbulak si kayu rube
ruah ruah dahan parira
mulak mo aq lbbe
njuah njuah mo banta karina.


maju trus rebak rebak ken mo kita ki pekade lebuh ta i asa boi ma kita nduma bage si deban i


njuah njuah oang oang
arnia lot mo sada gajah soh mbelgahna janah nina ia mo si mahantu na /jago kalon glarna GAJAH BANGGAL.
lot ma mo PLANDUK/KANCILl soh pandena ki pesagut sagut/propokator.
lot ma mo NIPE/ULAR mbelgah kalon ma gedangna 50 m janah pe mengaku ia ma mo si kuat na ,simahantuna.
lot ma CIBLLEK MANTIR ANTIR/PEMAKAN DAGING YG SANGAT RAKU DAN KUAT MAKAN

pas sada hari..

PLANDUK : pung nina menenggoi gajah en
GAJAH: kade..????
PLANDUK: mbegahna ko ni pung kate mu oda ne mo ise lot berani ki alo ko..?????
GAJAH:kate mu kin mo kunu ise deng berani mengalo aq i portibi en knnah ku reppuk ..
PLANDUK; sombongna ko ni pung kaduan lot ngo mengalo ko i tenggen dah ko..
GAJAH: kum lot deng ise berani mengalo aq dokken sambing mo asa ku sudahi ..asa i tandai le aq gajah baggal..
PLANDUK: uwe pung...

laus mo planduk en menulusi igonggen letja asal nai ngo boi ki pesagut sagut sagutken jumpa na mo sada nipe..

PLANDUK:oweeeee pung...
NIPE:kade we...??
PLANDUK:mbelgah na ma ko ni gedang mu pe sun .
NIPE: yah kate mu kunu aq ngo si raja kuson isen,, ise mengalo bangku knah ku tebbi/pagut,bisa enda pe lot ise pang/brani mengalo bangku..
PLANDUK:lot ngo pung tapi tah oda ko pang nina ia mango si raja ku son kum ise pang mangalo banggu knah mate ku bain nina pung kune berani ma ko.?????
NIPE:idike bekasna asa ta dahi asa i tandai ma lbbe aq si mate mate pe berani ngo aq..petuduh bangku we asa kudahi..
PLANDUK:bagi etamo ku petuduh bekasna.

laus mo planduk ket nipe en mendahi gajah ndai i pejumpaken mo nipa ket gajah en.jukmpa mo kalak i..


NIPE: oiiiiiiiiii gajah ku bgge ko enggo mahantu janh jago ma nina tuhu mang ngi..?
GAJAH:tuhu kade pana mengalo ko sasa ta cuba leken..?
NIPE: pejago jago kenna ko ni we..? enggo kate mu tralo ko ma aq.?
GAJAH:yah bage ko ndai ngo dokken lima nai
PLANDUK: ribut na ke ni pung duana main mo ke kidah tah ise ma si jago na..

main mo kalak i dua na i lilit nipe en mo gajah mbelgah ndai mentr mengamuk ma mo gajah i mbenceng i pe bellen blltek na mpestep mo nipe ndai roh nipe en bagi mate aq katena i tebbi mo/ ipagut gajah en dungna gajah bak nipe ndai.

planduk go cio takal na mate kalak en duana macik ma mo nhan mbau ma mer pikir mo ia owh.. lot kppekn mbisa mangan gule katena
laus ma mo ia menulusi si kuat mangan gule ndai dungna jumpa ma mo ia ket ci blek mantir antir

PLANDUK: pung ku bgge kabarna ko kuat mangan gule tih..?
CIBLLKMANTIR ANTIR:kuat mo da kum kum bage ko ketek na naing mo kate 1000 kalak we asa besur aq
PLANDUK: mentr..? bagi eta pakdenang lot sadenga gule mbue .
CIBLLKMANTIR ANTIR: eta tuhu daaaaaa..

laus mo kalak i mendahi gajah ket nipe si enggoi mate merubat ndai soh kssa lansung ipangan ci bllkmantir antir en mo daging gajah ket nipe ndai pas lako ningkrri udan roh gaya guyu nderas kalon mbiar mo planduk

PLANDUK; PUNG kuakui kuat ko mangan tapi en udan janha pulian/petir aq mbiar en kune mi
CIBLLKMANTIR ANTIR:yah roh ko pak en itruh isang ken mo ko asa ulang mbiar ken ulang taptap

laus mo palnduk en mi truh isang cibllekmanti anti en . enggo pana besur su cibllekmantir antir en enggo payh mer kessah mentr mencalit pulian/petir mpustak mo bltek ciblek mantir antir ndai dungna mate mo krina jumlah mate 4 nola mo . NIPE,GAJAH.CIBLLKMANTIR ANTIR,PLANDUK..

bagi mo sukut sukutenna/ceritana.

ta buat inti crita i dates..
berati oda gunana kita pejagojagoken/pantanmg so mbilak ulang mo ta contoh si bage crita en ..sada poda kasea..

i ceritaken pertua nami bapak muslim padang km20/desa simbruna kec sitellutali urang jehe STTUJ (sibande)

PEADAH SI TUA TUA
-ulang kita bage ki pikeke baka ndilo
-janah ulang ta tutu page apa apa
-ulang kohkohi besi buntal
-idilat le bibir asa i ruap rana
-ulang mengruap siso rana
-ulang memahan siso ulah
-ulang kipangan siso sulang
-ulang menjalo siso jambar
-sik sik lbbe asa tendds
-melangkah mi jolo dateken kabat mi podi
-ulang cicedur mi dates geut sangul mi abe
-janah getuk getuk koling ngo gluh en
-si talu lbbe asa ue mer laba
-kasah ngo kalak asa ue nduma
-ulang mo kita bage sanggar i uruk uruk
-ulang bage bulung gometen
-ulang nanjolo bibir
-ulang bage katcang lupa koling na
-enget si enggo salpun rasaken si bagendari janah ukuri si lako roh
-ulang bage takur takur mersisaongi dirina
-ulang menuan pejojorken siso roroh
-ulang mengkubak siso koling
-ulang menuan siso lppk
-ulang mengoltep gule tinuhuren
-ulang mengrungrung siso korn
-ulang peguguten siso sira
-ulang mengonjemken kerbo mi luhung

Rabu, 15 Desember 2010

kepemilikan tanah yang di tempati suku Pak Pak

kemandirian suku pakpak untuk memperoleh kepemilikan tanah beberapa macam ia menembuka tanah marga
- rading bru/ paken bru
-pengarar utang adad
-upah ulu baleng
-tanoh perjaen/pembagian warisan yg di berikan org tua(sukut kuta)
-kundulen sintua(kehormatan bagi tokoh)
- pemberian seperpadana atw perjanjian
-tanah yg di adati sifat nya milik pribadi
-penerimaan lemba

masing masing mempunyai sulang si lima dan silima sulang
penjabaran sulang silima ialah per siang isang pertulan tengah dan per ekur ekur sulang puang dan sulang bru
si lima sulang adalah lima dengan si beltek.
1) sibeltek marga
2)si beltek empung
3)si beltek bapa
4) sibeltek sada inang sada bapa
5)sebeltek inang


puang ada lima

1) puang bnna niari
2)puang bnna
3)puang pengamaki
4) puang trrm
5)puang lbbe

brru ada lima

1)bru takal puggu/ sikadang jandi
2)bru ekur puggu
3)bru mbllen
4)bru lbbe niabing
5)bru trrm

nama adad si bren ket si jalon
-bnna kesukuten
-kaing
-upah
-oles kaing siso siat
-oles takalen
-proles
penjelasan bna kesukuten ter sebut dalam adad perkawinan/ mahan utang.
kaing? perkain . upah turang ,togoh togoh,penampati,perteddoan,persinabul.
upah puhun, upah empung, upah mendedah. upah penulangken, upah telangke mangemolih.
kaing/ kaing sisosioat setara dengan kaing yang menerima sejajar tahapan keturunan si kawin yang ber saudara
oles takalen setara dengan si penerima kaing per keturunan yg ber saudara.
proles dapat si penerima dari saudara strara dengan sinina bru dan puang.


MARGA MARGA PAKPAK YANBG TERDIRI DI BERBAGAI SUAK/ TERPUK

SIMSIM: padang,brutu,solin, manik,bringin,tendang,banurea,berasa,gajah, boang manalu,bancin,sitakar,tinendung,lembeng,kabeaken,cibro, padang batang ari,sinamo.

KELASEN:tumagger,turuten,anak ampun,maharaja,kesogihen,tinambunen,meka, mungkur.

KEPPAS:angkat,ujung,bintang,saran, matanari,maha,capah,bako,kuda diri, gajah manik, pasi, penarik.

PEGAGAN: lingga. maibang,saing, manik kuta usang,kaloko,

BOANG:kombih,sambo,

kemudian marga dari suku toba yg beralih sihotang menjadi si kettang si tungkir menjadi si tongkir
dan marga2 tersebut sudah bercampur setiap suak.
----------------------------------------------------------------------------------

ibuat lbbe kalakati asa ibain menaka pinang asa lot dengan napuren
iruap lbbe kata sentabi mendahiken bapa dekket inang
bagi ma menhadi jllma sinterrm..

njuah njuah oang oang..



BERSAMBUNG

asal mula suku pak pak

lot mo keturunen nintura,lot keturunen si milang ilang,lot keturunen nisi haji

1:nintura berasal dari kata manusia raksasa(NTUARA)
2: similang ilang berasal dari hindia
3:sini haji berasal dari bangsa arap memasuki wilayah pulau jawa yg di sebut dengan wali songo memasuki barus trus turun ke wilayah ualyat pakpak.

SUKU PAKPAK TERDIRI DARI 5 TERPUK DISEBUT SUAK.

1:suak simsim nterpuk simsim
2:suakkppas nterpuk kppas
3:suak pegagan nterpuk pegagan
4:suak kelasen nterpuk kelasen
5:suak boang nterpuk boang

DIANTARA 5 NTERPUK/SUAK TERSEBUT YANG DI SEBUT SUKU PAKPAK DAN PUNYA

1:tanah tersendiri
2: bhasa tersendiri
3:adad tersendri
4:tutur tersendiri
5:budaya tersendiri
6:hukum tersendiri
7;marga tersendiri
8:ritual tersendiri

lahir nya secara alami yg telah menjadi milik pakpak turun temurun yg tidak dapat di jangkau lamanya sejak jaman purba kala.

ADAD PAKPAK

adad pakpak sipat nya dua macam (1):ngkerja bagak(2
): ngkerja njahat

1: NGKERJA BAGAK: kerja /pesta perkawinan dan adad nya terbagi 7 macam
yaitu:
-merkata sipitu
-merbayo
-sohom sohom
-menoh kela
-memelat soki
-menada bunga rambu rambu
-maing pertabar(pesakat mabruna kalon

2:NGKERJA NJAHAT: yg di sebut adad tentang akhir kematian adad nya ada 3 macam yaitu:
-males bulung simbernaik
-males bulung sampula
males bulung ni buluh
dengan tingkat kemampuan dan usia yg meningggal dunia yg di namakan bahasa ada yaitu
1:tingkat membayar lemba berati yg meninggal sudah scayur ntua
2: bura bura cipako berati yg meninggal sudah berumah tangga
3:bura bura koning berati yg meninggal di bawah umur org dewasa.

MENGENAI PELAKSANAN ADAD
kata kunci dalam bahasa pakpak
-mengido sodip mendahi puang
-mengido gegoh mendahi brru
-mengido pengurupi mendahi dedahen dengan se beltek
-memerre serbeb mendahi pertua/orang tua

ADAD PERKAWINAN/MAHAN UTANG
memereken simpihir pihir berupa, mas,perak,kepeng secukupnya tapi oles nya harus lima
-oles inang brru -oles culkkai -oles penatum -oles lemlem nakan-oles peraleng.
inilah merupakan kewajipan dari pihak laki laki yg harus di berikan ke pihak perempuan/si per brru/puang.
setelah pihak perempuan menerima kewajiban dari pihak laki laki maka pihak perempuan wajip pula memberikan yaitu:
-nakan penjalon -penjukuti mersendihi - belagen 3 - kembal 12 - selampis baka 24
nama/glar, belagen peramak, belagen dabuhen/tabir,dinding ulu/tutup takal.
ramuan pelengkap nya yg mempunyai makna tersendiri di tambah dengan .nditak, dohomen pinahpah,lemang/ tinembu,galuh tasak, tebbu merleppk dengan beras simperbean.

ADAD NJHAHAT(KEPATEN)
yg wajip dihadapi puang yaitu:
puang bona,puang pengamaki,puang lebbe,
puang bial disebut sampe ke pembayaran lemba.
berikut nya di berikan oles 3 lembar nama nya oles sintaken,oles tatakenken,oles baubau, di tambah simpihir pihir/mas.kepeng manoh manoh/kenagen yg sipat nya misal nya kebun, sawah atau seluas tanah dan pokok tanaman durian petai,kelapa ,dll.
sipuang rasa berkewajipan memberi pihak brru yaitu:
memereken nakan pengambat,memereken nakan persirangen,memereken nakan ariari tendi ket ieket jari kikambal kambirang pake bengkuang/bahan untuk baka.
yg bermakna supaya mpihir mo tendi ket mambal sindanggel, dan di berikan beras pengkicik simpihir tendi nakan tsb tidak terlepas dari merangkap kambing,ayam.

MENGENAI BUDAYA PAKPAK
budaya pakpak terbagi 3 macam yaitu
-budaya marga-budaya lebbuh-budaya jabu

A)-budaya marga disebut pelaksanaan nya mendangger uruk yg harus menghadirkan perisang isang,pertulan tengah,damper ekur ekur,puang,bru,sicibal baleng.
di propmotori oleh sipantes ndiase,si gedang radumen ket si baso.
hal tersebut dinamakan pesta budaya sulang silima(marga tertentu)
B)- budaya lebbuh srupa diatas tapi sipat nya satu lbbuh yg di sebut sada kuta
C)-budaya jabu/perjabujabu serupadiatas sipat nya perorangan atau keluarga.
SECARA UMUM A.B.C. masing masing budaya seni yg sama.
odong odong,nagen atau nyanyian.tangis milangi dan mempunyai onong oningen misal nya
genderang,gung,klondang,sordam,kecapi,lobat,taratoa,sagasaga,genggong,kettuk.

MAKANAN DALAM KHASA BUDAYA PAKPAK

plleng,ginaruncor, nditak, tinembu,lemang, pianahpah ,ginustung, nakan pagit /nakan simalu malum, nakan serbeb nakan luah nakan pengambat.nakan ari ari tendi memere ndirabaren.














Jejak Hindu-Buddha dalam Sejarah Suku Pakpak

Selama ini pihak keturunan Raja Borbor ataupun yang lebih kecilnya lagi keturunan Silau Raja dari Toba selalu mengklaim bahawa semua marga yang berbunyi Manik entah dari Toba,Damanik di Simalungun,Karo-Karo Manik di Karo dan Manik di Pakpak Dairi seakan-akan membuat sebutan “manik” adalah Hak Ekslusif dari pihak Toba semata.
Diceritakan dalam Sejarah Pihak Pakpak maka asal mereka adalah dari India Selatan yaitu dari Indika Tondal ke Muara Tapus dekat Barus lalu berkembang di Tanah Pakpak dan menjadi Suku Pakpak.Pada dasarnya mereka sudah mempunyai marga sejak dari negeri asal namun kemudian membentuk marga baru yang tidak jauh berbeda dengan marga aslinya.
Tidak semua Orang Pakpak berdiam di atas Tanah Dairi namun mereka juga berdiaspora,meninggalkan negerinya dan menetap di daerah baru.
  1. Sebagian tinggal di Tanah Pakpak dan menajadi Suku Pakpak “Situkak Rube:,”Sipungkah Kuta” dan “Sukut Ni Talun” di Tanah Pakpak.
  2. Sebagian ada pergi merantau ke daerah lain,membentuk komunitas baru.Dia tahu asalnya dari Pakpak dan diakui bahwa Pakpak adalah sukunya namun sudah menjadi marga di suku lain.
  3. Ada juga yang merantau lalu mengganti Nama dan Marga dengan kata lain telah mengganti identitasnya.
Diceritakan bahwa Nenek Moyang awal Pakpak adalah Kada dan Lona yang pergi meninggalkan kampungnya di India lalu terdampar di Pantai Barus dan terus masuk hingga ke Tanah Dairi,dari pernikahan mereka mempunyai anak yang diberi nama HYANG.Hyang adalah nama yang dikeramatkan di Pakpak.
Hyang pun besar dan kemudian menikah dengan Putri Raja Barus dan mempunyai 7 orang Putra dan 1 orang Putri yaitu :
  1. Mahaji
  2. Perbaju Bigo
  3. Ranggar Jodi
  4. Mpu Bada
  5. Raja Pako
  6. Bata
  7. Sanggar
  8. Suari (Putri)
Pada urutan ke 4 terdapat nama Mpu Bada,Mpu Bada adalah yang terbesar dari pada saudara-saudaranya semua,bahkan dari pihak Toba pun kadangkala mengklaim bahwa Mpu Bada adalah Keturunan dari Parna dari marga Sigalingging,gimana bisa?sedangkan pada sejarah sudah jelas-jelas bahwa Mpu Bada adalah anak ke 4 dari Hyang..makanya perlu hati-hati jika memperhatikan pembalikan fakta sejarah yang sering dilakukan oleh Pihak Toba dewasa ini.
Anak Sulung,Mahaji mempunyai Kerajaan di Banua Harhar yang mana saat ini dikenal dengan nama Hulu Lae Kombih,Kecamatan Siempat Rube.
Parbaju Bigo pergi ke arah Timur dan membentuk Kerajaan Simbllo di Silaan,saat ini dikenal dengan Kecamatan STTU Julu.
Ranggar Jodi pergi ke arah Utara dan membentuk Kerajaan yang bertempat di Buku Tinambun dengan nama Kerajaan Jodi Buah Leuh dan Nangan Nantampuk Emas,saat ini masuk Kecamatan STTU Jehe.
Mpu Bada pergi ke arah Barat melintasi Lae Cinendang lalu tinggal di Mpung Si Mbentar Baju.
Raja Pako pergi ke arah Timur Laut membentuk Kerajaan Si Raja Pako dan bermukim di Sicike-cike.
Bata pergi ke arah Selatan dan menikah kemudian hanya mempunyai seorang Putri yang menikah dengan Putra Keturunan Tuan Nahkoda Raja.Dari sini menurunkan marga Tinambunen,Tumangger,Maharaja,Turuten,Pinanyungen dan Anak Ampun.
Sanggir pergi ke arah Selatan tp lebih jauh daripada Bata dan mmbentuk Kerajaan di sana,dipercaya menjadi nenek moyang marga Meka,Mungkur dan Kelasen.
Suari Menikah dengan Putra Raja Barus dan memdiam di Lebbuh Ntua.
Marga Manik diturunkan oleh Mpu Bada yang mempunyai 4 orang anak yaitu :
  1. Tndang
  2. Rea sekarang menjadi Banurea
  3. Manik
  4. Permencuari yang kemudian menurunkan marga Boang Menalu dan Bancin.
Asal-usul dan persebaran orang Pakpak
Pakpak biasanya dimasukkan sebagai bagian dari etnis Batak, sebagaimana Karo, Mandailing, Simalungun, dan Toba. Orang Pakpak dapat dibagi menjadi 5 kelompok berdasarkan wilayah komunitas marga dan dialek bahasanya, yakni (Berutu dan Nurani, 2007:3–4):
  1. Pakpak Simsim, yakni orang Pakpak yang menetap dan memiliki hak ulayat di daerah Simsim. Antara lain marga Berutu, Sinamo, Padang, Solin, Banurea, Boang Manalu, Cibro, Sitakar, dan lain-lain. Dalam administrasi pemerintahan Republik Indonesia, kini termasuk dalam wilayah Kabupaten Pakpak Bharat.
  2. Pakpak Kepas, yakni orang Pakpak yang menetap dan berdialek Keppas. Antara lain marga Ujung, Bintang, Bako, Maha, dan lain-lain. Dalam administrasi pemerintahan Republik Indonesia, kini termasuk dalam wilayah Kecamatan Silima Pungga-pungga, Tanah Pinem, Parbuluan, dan Kecamatan Sidikalang di Kabupaten Dairi.
  3. Pakpak Pegagan, yakni orang Pakpak yang berasal dan berdialek Pegagan. Antara lain marga Lingga, Mataniari, Maibang, Manik, Siketang, dan lain-lain. Dalam administrasi pemerintahan Republik Indonesia, kini termasuk dalam wilayah Kecamatan Sumbul, Pegagan Hilir, dan Kecamatan Tiga Lingga di Kabupaten Dairi.
  4. Pakpak Kelasen, yakni orang Pakpak yang berasal dan berdialek Kelasen. Antara lain marga Tumangger, Siketang, Tinambunan, Anak Ampun, Kesogihen, Maharaja, Meka, Berasa, dan lain-lain. Dalam administrasi pemerintahan Republik Indonesia, kini termasuk dalam wilayah Kecamatan Parlilitan dan Kecamatan Pakkat (di Kabupaten Humbang Hasundutan), serta Kecamatan Barus (di Kabupaten Tapanuli Tengah).
  5. Pakpak Boang, yakni orang Pakpak yang berasal dan berdialek Boang. Antara lain marga Sambo, Penarik, dan Saraan. Dalam administrasi pemerintahan Republik Indonesia, kini termasuk dalam wilayah Singkil (Nanggroe Aceh Darussalam).
Meskipun oleh para antropolog orang-orang Pakpak dimasukkan sebagai salah satu subetnis Batak di samping Toba, Mandailing, Simalungun, dan Karo. Namun, orang-orang Pakpak mempunyai versi sendiri tentang asal-usul jatidirinya. Berkaitan dengan hal tersebut sumber-sumber tutur menyebutkan antara lain (Sinuhaji dan Hasanuddin,1999/2000:16):
  1. Keberadaan orang-orang Simbelo, Simbacang, Siratak, dan Purbaji yang dianggap telah mendiami daerah Pakpak sebelum kedatangan orang-orang Pakpak.
  2. Penduduk awal daerah Pakpak adalah orang-orang yang bernama Simargaru, Simorgarorgar, Sirumumpur, Silimbiu, Similang-ilang, dan Purbaji.
  3. Dalam lapiken/laklak (buku berbahan kulit kayu) disebutkan penduduk pertama daerah Pakpak adalah pendatang dari India yang memakai rakit kayu besar yang terdampar di Barus.
  4. Persebaran orang-orang Pakpak Boang dari daerah Aceh Singkil ke daerah Simsim, Keppas, dan Pegagan.
  5. Terdamparnya armada dari India Selatan di pesisir barat Sumatera, tepatnya di Barus, yang kemudian berasimilasi dengan penduduk setempat.
Berdasarkan sumber tutur serta sejumlah nama marga Pakpak yang mengandung unsur keindiaan (Lingga, Maha, dan Maharaja), boleh jadi di masa lalu memang pernah terjadi kontak antara penduduk pribumi Pakpak dengan para pendatang dari India. Jejak kontak itu tentunya tidak hanya dibuktikan lewat dua hal tersebut, dibutuhkan data lain yang lebih kuat untuk mendukung dugaan tadi. Oleh karena itu maka pengamatan terhadap produk-produk budaya baik yang tangible maupun intangible diperlukan untuk memaparkan fakta adanya kontak tersebut. Selain itu waktu, tempat terjadinya kontak, dan bentuk kontak yang bagaimanakah yang mengakibatkan wujud budaya dan tradisi masyarakat Pakpak sebagaimana adanya saat ini. Untuk itu diperlukan teori-teori yang relevan untuk menjelaskan sejumlah fenomena budaya yang ada.
Jejak Hindu-Buddha dalam kepercayaan dan tradisi orang Pakpak
Sebelum kedatangan agama Islam dan Kristen di tanah Pakpak, masyarakatnya meyakini bahwa alam raya ini diatur oleh Tritunggal Daya Adikodrati yang terdiri dari Batara
Guru, Tunggul Ni Kuta, dan Boraspati Ni Tanoh (Siahaan dkk.,1977/1978:62). Nama-nama itu antara lain terwujud lewat mantra ketika diadakan upacara menuntung tulan (pembakaran tulang-tulang leluhur). Sebelum api disulut oleh salah seorang Kula-kula/Puang dia mengucapkan kata-kata sebagai berikut (Berutu, 2007:32):
“O…pung…! Ko Batara Guru, Beraspati ni tanah, Tunggul ni kuta, … .”
Nama Boraspati dan Batara Guru jelas merupakan adopsi dari bahasa Sanskerta yang disesuaikan dengan pelafalan setempat. Kata Boraspati merupakan adopsi dari kata Wrhaspati yang berarti nama/sebutan purohita (utama/pertama) bagi para dewa. Jadi kata ini merujuk pada penyebutan bagi dewa tertinggi atau yang dianggap utama/penting yang dalam konteks ini (boraspati ni tanoh) dapat diartikan sebagai dewa utama yang berkuasa di tanah/bumi.
Penyebutan Batara
Guru dalam mantra sebelum api dinyalakan dalam upacara menuntung tulan jelas merupakan adopsi dari kepercayaan Hindu yang berkenaan dengan salah satu perwujudan dari Dewa Siwa yakni sebagai Agastya (Batara Guru). Menurut Krom (1920:92 dalam Poerbatjaraka,1992:110) wujud Siwa yang paling populer di Nusantara adalah wujud yang yang memakai nama Bhatara Guru (Guru Dewata). Sosok utama dengan nama ini juga banyak ditemukan di tempat-tempat lain di Nusantara. Hal ini disebabkan oleh anggapan bahwa tokoh ini adalah dewa asli Indonesia yang konsepnya kemudian tercampur seiring dengan masuknya agama Hindu melalui perwujudan Siwa sebagai Mahayogi. Pendapat Krom tersebut senada dengan yang dikemukakan oleh Kern (1917:21 dalam Poerbatjaraka 1992:110). Menurut Kern bukti nyata tentang popularitas agama Hindu Siwa adalah dengan tersebarnya nama Bhatara Guru sebagai dewa utama di Nusantara. Demikian halnya dengan Wilken (1912:244 dalam Poerbatjaraka 1992:110) yang menyatakan bahwa Soripada dan Batara Guru adalah dewa-dewa pribumi yang semula mempunyai nama pribumi asli yang kemudian berubah dengan menggunakan bahasa Sanskerta.
Kata adopsi lain yang juga tampil dalam mantra orang-orang Pakpak adalah dalam mantra menolak mimpi buruk (Siahaan dkk.,1977/1978:150):
Hung, pagari mo kita
Da hompungku
Hompung ni pangir
Kata Hung dalam mantra penolak mimpi buruk pada tradisi Pakpak di atas adalah pelafalan lain dari kata Hum yang sering digunakan dalam mantra-mantra Hindu maupun Buddha. Dalam kitab suci Hindu yakni Weda, kata Hum adalah mantra bagi Agni, sang dewa api, sehingga mantra ini digunakan saat dilakukan upacara persembahan kepada api suci. Selain itu juga digunakan untuk memanggil atau membangkitkan api sehingga nyalanya lebih kuat. Hum juga merupakan representasi dari jiwa dalam diri mahluk, sekaligus wujud keberadaan Dewa di dunia. Melalui pelafalannya manusia berharap sifat-sifat kedewaan merasuk ke dirinya sekaligus memberikan kesadaran jiwa akan keberadaanNya. Di samping sebagai mantra yang ditujukan pada Agni sang dewa api, Hum juga merupakan mantra bagi Dewa Siwa serta Chandika (perwujudan lain dari Kali sang dewi maut). Pelafalannya bertujuan untuk menghancurkan hal-hal negatif sekaligus menciptakan kekuatan dan kemauan yang besar. Sedangkan dalam agama Buddha Hum merupakan salah satu kata dalam mantra bagi Boddhisatva Avalokitesvara yang teksnya sebagai berikut: Om Mani Padme Hum. Kata ini juga dipakai bagi dewa lainnya dalam Buddhisme yakni bagi Jambala Putih yang teksnya sebagai berikut: Om Padma Corda Arya Jambhala Setaya Hum Phet.
Mantra-mantra sebagai salah satu wujud budaya yang intangible dalam kebudayaan Pakpak biasanya dihadirkan saat upacara-upacara adat. Masyarakat Pakpak pada umumnya mengenal dua bentuk kerja (horja dalam bahasa Batak Toba atau upacara/ritus dalam bahasa Indonesia) yakni, kerja baik dan kerja njahat. Kerja baik adalah segala jenis upacara yang berkaitan dengan rasa sukacita atau gembira seperti, keberhasilan panen, pernikahan, dan kelahiran anak. Sebaliknya Kerja Njahat adalah segala jenis upacara yang berkaitan dengan rasa dukacita atau sedih seperti kematian (Berutu,2007:8).
Hal-hal yang berhubungan dengan duka cita, kematian, mangokal tulan (membongkar tulang-belulang dari kuburan dan menempatkannya di kubur sekunder), dikategorikan sebagai kerja njahat. Upacara kematian dapat dibagi menjadi 4 yakni (Siahaan dkk.,1977/1978:92–94):
  1. Mati
    Bayi
Anak yang baru lahir yang belum bergigi jika meninggal dikebumikan dekat rumah tanpa diketahui oleh orang lain, karena takut diambil orang lain, dijadikan guna-gunaan.
  1. Mati
    Dewasa
Orang yang meninggal dalam usia muda (dewasa) dikuburkan dimana saja dan termasuk mate
ntalpok (mati belum berketurunan)
  1. Mati
    Ntua
Seorang yang meninggal dan telah berkeluarga dikebumikan di kuburan umum.
  1. Mati
    Cayur
    Tua
Bagi orang yang meninggal tapi sudah mempunyai cucu, biasanya diadakan kerja
njahat, sewaktu mayatnya masih di rumah. Pembiayaan umumnya ditanggung oleh keluarga/ahli waris yang meninggal itu sendiri karena almarhum enggo
mencari (hasil pencarian/kerja mendiang selama hidupnya). Jadi biaya diambil dari harta yang ditinggalkan oleh mendiang.
Salah satu bagian penting dalam ritus mati cayur tua adalah Menuntung Tulan (upacara pembakaran tulang jenazah). Upacara ini disebut juga Penahangken (meringankan), sebab tujuan dilaksanakannya adalah untuk meringankan beban roh mendiang (Berutu, 2007:30).
Upacara ini dilaksanakan bila keluarga mendiang mendapat mimpi (nipi) yang seolah menggambarkan mendiang di alam kuburnya merasakan beban yang berat, sesak, atau sempit. Upacara ini harus dilaksanakan, bila tidak maka jiwa/roh mendiang akan mengakibatkan sakit kepala pada keturunannya (Berutu,2007:30).
Peralatan yang dibutuhkan dalam upacara ini antara lain kayu bakar, batang pohon pisang (sitabar) yang dibentuk menyerupai manusia serta diberi pakaian (persilihi), kain putih pembungkus tulang-tulang mendiang, sumpit/kembal wadah bagi tulang yang telah dibungkus, dan sejumlah hewan kurban. Setelah segala persiapan selesai, maka pihak kerabat (Kula-kula, Berru, dan Sinina) berangkat ke pekuburan. Biasanya dilakukan pada waktu pagi hari, agar roh/jiwa bangkit sebagaimana matahari terbit, juga agar sanak kerabatnya nasibnya menjadi lebih baik di kemudian hari (Berutu,2007:31).
Setelah api padam, secara hati-hati keluarga mengambil abu dan sisa-sisa tulang yang telah dibakar. Abu dan sisa-sia tulang itu kemudian dibungkus dengan kain putih lalu dibawa ke tempat pertulanen (lesung batu). Namun, ada kalanya abu dan sisa-sisa tulang tersebut dibawa dan digantung di rumah sukut (Berutu,2007:32).
Upacara sejenis juga dilakukan oleh masyarakat Karo setidaknya hingga awal abad ke-20 yang lalu. Jenis upacara ini hingga kini masih dilakukan oleh masyarakat Bali, yang disebut sebagai ngaben. Beberapa unsur yang mirip dengan upacara pembakaran jenazah di Bali (Ngaben) dengan upacara pembakaran tulang-tulang jenazah di Pakpak (Menuntung Tulan) selain proses pembakarannya sendiri adalah pembuatan boneka manusia dari batang pisang yang disebut sebagai persilihi. Di Bali boneka/patung yang melambangkan sosok mendiang yang diaben disebut sebagai pratima.
Selain dalam upacara adat, pengaruh Hindu-Buddha (India) juga hadir dalam sistem waktunya. Sebelum kedatangan pengaruh Islam dan Kristen sistem kala yang dikenal oleh masyarakat Pakpak adalah sebagai berikut. Berikut adalah nama-nama hari dalam 1 bulan (Siahaan dkk.,1977/1978:68):
  1. Antia 16. Suma Teppik
  2. Suma 17. Anggara Kolom
  3. Anggara 18. Budhaha Kolom
  4. Budhaha/Muda 19. Beraspati Kolom
  5. Beraspati 20. Cukerra Genep Duapuluh
  6. Cukerra 21. Belah Turun
  7. Belah
    Naik 22. Adintia Nangga
  8. Sumasibah 23. Sumanti Mante
  9. Anggara
    Sipuluh 24. Anggara Bulan Mate
  10. Budhaha
    Mangadep 25. Budha Selpu
  11. Antia
    Naik 26. Beraspatigok
  12. Beraspati Tangkep 27. Cukerra Duduk
  13. Cukerra Purnama 28. Samisara Mate Bulan
  14. Belah Purnama 29. Dalan Bulan
15. Tula 30. Kurung
Bandingkan penyebutan nama 7 hari pertama dalam 1 bulan pada tradisi Pakpak di atas dengan penyebutan nama hari dalam siklus 7 hari (saptawara) pada prasasti-prasasti Jawa Kuna yang sangat dipengaruhi oleh kebudayaan India (Hindu-Buddha) sebagaimana terlihat pada tabel berikut:
No
Indonesia
Pakpak
Jawa Kuna
1
Ahad/Minggu
Antia
Aditya
2
Senin
Suma
Soma
3
Selasa
Anggara
Anggara
4
Rabu
Budhaha/Muda
Buddha
5
Kamis
Beraspati
Wrhaspati
6
Jumat
Cukerra
Çukra
7
Sabtu
Belah
Naik
Çanaiçcara
Sumber Pakpak: Siahaan dkk.,1977/1978:68; Jawa Kuna: Zoetmulder,1985:245
Berbeda dibandingkan nama-nama hari dalam tradisi Pakpak yang dipengaruhi kebudayaan Hindu-Buddha, penyebutan nama-nama bulan mereka lebih bersifat pribumi:
Bulan
Pakpak
Jawa (tani)
Jawa Kuna
Sanskerta
Toba
Karo
1
Pekesada
Kasa
Cetra
Caitra
Sitora
Citera
2
Pekedua
Karwa
Weçakha
Vaiçakha
Sisaha
Sisaka
3
Peketellu
Katlu
Jyestha
Jestha
Sibista
Sidista
4
Pekeempat
Kapat
Asādha
Asādha
Sisanti
Sitama
5
Pekelima
Kalima
Srāwana
Srāvana
Sisorbaba
Siresba
6
Pekeenam
Kanem
Bhādra(-pada/wada)
Bhādra(-pada)
Sibadora
Sibadera
7
Pekepitu
Kapitu
Asuji/ Aswayuja
Asvina/ Asvayuja
Sisudija
Sisudi
8
Pekewaluh
Kawwalu
Kārttika
Kārttika
Siaji mortiha/mertika
Sisakadi
9
Pekesiwah
Kasanga
Margasirsa
Mārgasirsa/ Agrahāyana
Sianggara Aji
Simerga
10
Pekesipuluh
Kasapuluh
Posya
Pausa
Sipusija
Sipusija
11
Pekesibellas
Hapit (lemah)
Magha
Māgha
sipalaguna
Siguwa
12
Pekeduabellas
Hapit (kayu)
Phalguna
Phālguna
Siraja urip
Sikurung lamadu
Sumber Pakpak: Siahaan dkk.,1977/1978:68; Jawa Kuna: Zoetmulder,1985:245; Toba & Karo: Voorhoeve,1972:495
Sebagaimana tampak pada tabel di atas, nama-nama bulan dalam tradisi Pakpak jelas merupakan tradisi setempat yang didasarkan pada perhitungan kaum tani sebagaimana juga dikenal di Jawa hingga kini. Bedanya, di Jawa dahulu juga dikenal nama-nama bulan yang merupakan adopsi dari bahasa Sanskerta, sebagaimana puak-puak lain di sekitar Pakpak seperti Toba dan Karo pernah mengenalnya.
Data lain yang juga dapat dijadikan fakta adanya pengaruh India (Hindu-Buddha) dalam kebudayaan Pakpak adalah pada wujud budaya yang tangible, antara lain dalam wujud patung.
Di beberapa daerah di wilayah Kabupaten Pakpak Bharat hingga kini masih dapat dijumpai rumah-rumah tradisional Pakpak. Salah satu bentuk rumah tradisional mereka dikenal sebagai rumah jojong. Rumah jojong berarti rumah yang memiliki menara, dibentuk dari 2 kata, yakni rumah dan jojong yang berarti menara. Jojong ditempatkan di tengah-tengah bubungan atap yang melengkung (denggal). Hanya raja dan keluarganya yang menempati rumah jenis ini (Siahaan dkk.,1977/1978:121). Salah satu hal menarik dari rumah jojong adalah keberadaan bentuk kepala manusia di bagian atas pintu masuk yang dalam istilah seni hias Toba disebut sebagai jenggar.
Jenggar yang terdapat di rumah jojong milik keluarga Raja Johan Berutu di Desa Ulu Merah, Kecamatan Sitelu Tali Urang Julu ini berbentuk kepala manusia bermahkota dengan hiasan menyerupai sulur-suluran di sisi kiri dan kanannya. Pengamatan lebih lanjut terhadap jenggar pada rumah tradisional Pakpak ini menunjukkan adanya kemiripan dengan bagian kepala arca perunggu Wisnu berbahan perunggu dari Tanjore, negara bagian Tamil Nadu, India; serta bagian kepala arca perunggu Siwa Nataraja juga dari Tanjore, negara bagian Tamil Nadu, India. Bagian dari jenggar yang mirip dengan arca Wisnu dari Tanjore adalah bentuk mahkotanya yang dalam ikonografi disebut sebagai kirita-mukuta; sedangkan bagian dari jenggar yang mirip dengan arca Siwa Nataraja adalah bentuk yang menyerupai sulur-suluran di sisi kiri dan kanan jenggar yang mirip dengan bagian rambut arca Siwa Nataraja yang digambarkan terurai di sisi kiri dan kanan kepalanya. Kedua arca pembanding dari Tanjore tersebut diperkirakan dibuat pada abad ke-11 M, masa kekuasaan Dinasti Chola di India selatan.
Arca-arca berlanggam Chola ternyata ditemukan juga di daerah lain di Sumatera Utara, antara lain adalah arca batu Buddha yang ditemukan di situs Kota Cina, Medan; arca batu Wisnu dan Lakshmi juga dari situs Kota Cina, Medan; dan arca perunggu Lokanatha dari Gunung Tua, Padang Lawas, Tapanuli Selatan. Berdasarkan contoh-contoh pembanding itu, tentunya bentuk jenggar dari rumah jojong di Pakpak Bharat itu mengambil prototipenya dari arca-arca berlanggam Chola di atas.
Wujud tri matra lain yang juga merupakan hasil adopsi dari India adalah patung angsa yang banyak ditemukan di kompleks-kompleks mejan di sejumlah kecamatan di Kabupaten Pakpak Bharat. Salah satu di antaranya adalah patung angsa yang terdapat di kompleks mejan Bancin di Desa Penanggalan Binanga Boang, tepatnya 55 m arah barat dari Sungai Ordi yang secara astronomis berada pada 02° 31′ 29,5” LU dan 098° 19′ 55” BT. Patung keempat berbentuk angsa, dengan panjang: 30 cm, lebar: 25 cm, tinggi: 53 cm. Patung ini digambarkan dalam posisi berdiri pada suatu batur, kedua sayap terkatup rapat pada badannya. Bagian leher hingga kepala telah hilang. Patung ini berfungsi sebagai tutup satu batu pertulanen (wadah abu/sisa-sisa jenazah) berbentuk silinder yang berada tepat di bawahnya.
Angsa bukanlah binatang endemik di Kepulauan Nusantara, populasinya yang asli tersebar di daerah subtropis bagian utara dan selatan. Spesies angsa yang ditemukan di bumi bagian utara mempunyai bulu menyeluruh berwarna putih, kontras dengan spesies angsa di bumi bagian selatan yang memiliki bulu berwarna hitam dan putih. Binatang ini secara zoologi termasuk dalam filum Chordata, kelas Aves, ordo Anseriformes, dan familia Anatidae yang terdiri dari 6 spesies yakni: Cygnus olor, daerah sebarannya di Eurasia; Cygnus atratus (angsa hitam), daerah sebarannya di Australia; Cygnus melancoryphus, daerah sebarannya di Amerika Selatan; Cygnus cygnus, daerah sebarannya di sub-artik Eropa dan Asia; Cygnus buccinator, daerah sebarannya di Amerika Utara; dan Cygnus columbianus, yang daerah sebarannya di Eropa dan Amerika Utara. Dari keenam spesies angsa tersebut dua di antaranya yakni Cygnus olor dan Cygnus cygnus hidup di benua Asia, namun tidak ada di Asia Tenggara daratan maupun kepulauan. Hal ini berarti angsa diperkenalkan atau dibawa ke Kepulauan Nusantara seiring terjadinya kontak budaya antara penduduk pribumi Nusantara dengan para pendatang dari daratan Asia seperti Cina atau India.
Dikenalnya angsa oleh orang-orang Pakpak di masa lalu sebagaimana terwujud dalam bentuk patung adalah hasil kontak mereka dengan para pendatang dari India yang beragama Hindu atau Buddha. Dalam ikonografi Hindu angsa adalah wahana (tunggangan) dari salah satu Trimurti yakni Brahma, Sang Pencipta alam semesta sedangkan dalam ikonografi Buddha angsa adalah tunggangan Saraswati, Sang Dewi ilmu pengetahuan. Keberadaan patung angsa sebagai tutup bagi wadah abu dan sisa-sisa tulang jenazah (batu pertulanen) dapat dikaitkan dengan konsep dalam Hindu bahwa Brahma adalah Sang Pencipta. Angsa sebagai wahana Brahma dapat dianggap sebagai simbol pelepasan mendiang -yang sisa-sisa jasadnya tersimpan di batu pertulanen- menuju Sang Pencipta.
Kebudayaan Pakpak sebagai buah dari perdagangan internasional
Masuknya unsur-unsur budaya Hindu-Buddha (India) ke dalam budaya Pakpak dimungkinkan oleh adanya kontak antarpendukung kedua budaya. Tempat yang paling memungkinkan terjadinya kontak itu di masa lalu adalah Barus, yang bukti-bukti sejarah maupun arkeologisnya menunjukkan tempat ini pernah berjaya sebagai bandar internasional.
Para pedagang dari India mendatangi Barus untuk membeli getah bernilai tinggi yang dihasilkan di daerah Pegunungan Bukit Barisan yang menjadi tempat tinggal orang-orang Pakpak. Bukti kehadiran mereka –terutama dari India selatan/daerah Tamil- adalah Prasasti Lobu Tua, yang ditemukan di Barus, Tapanuli Tengah. Prasasti berangka tahun 1010 Saka (1088 M) ini dikeluarkan oleh suatu serikat dagang yang bernama Ayyāvole 500 (Perkumpulan 500) (Sastri,1932:326 dan Subbarayalu,2002:24).
Dalam beberapa teks berbahasa Armenia yang berasal dari abad ke-13 hingga ke-18 Masehi terdapat suatu tempat yang disebut Pant’chour/Part’chour sebagai tempat asal kamper bermutu terbaik (Kévonian,2002:51). Menurut teks-teks Armenia tempat lain yang juga banyak mengeluarkan kamper bermutu adalah P’anes/ Ēp’anes/ Ēp’anis/Ep’anēs, yang terletak di pantai timur di bawah Perlak/Peureulak. Menurut teks-teks Armenia tersebut hanya ada 2 tempat di Pulau Sumatera yang mengeluarkan mata dagangan kamper yakni Pant’chour dan P’anēs (Kévonian,2002:70–72). Prasasti Rajendra I di Tanjavur menyebutkan tentang “Pannai di tepi sungai” sebagai salah satu tempat yang diserbu tentara Cola pada tahun 1025 M. Berdasarkan sumber-sumber tertulis itu titik-titik kontak antara pribumi Pakpak dengan budaya India adalah Barus yang berada di pesisir barat Sumatera dan Pane di selatannya yang bermuara di pesisir timur Pulau Sumatera.
Walaupun daerah Pakpak berada di gugusan Pegunungan Bukit Barisan, namun lembah-lembah beserta aliran sungainya memegang peranan penting bagi terciptanya komunikasi antara daerah pesisir dengan daerah pedalaman. Di samping itu, gugusan pegunungan, lembah-lembah, dan sungai-sungai yang ada juga ikut menciptakan jaringan perdagangan antara daerah pesisir dan pedalaman. Dunia niaga antara kawasan Singkel dan Barus dengan Pakpak landen (tanah Pakpak) dan Sibolga serta Natal dengan Angkola dan Mandailing banyak ditentukan oleh jalur niaga yang melalui gugusan pegunungan, lembah-lembah, dan sungai-sungai di daerah tersebut (Asnan,2007:40–41).
Sampai awal abad ke-19 penduduk dari subetnis Pakpak, Angkola, dan Mandailing dikenal sebagai pengumpul hasil hutan (terutama kamper dan kemenyan) yang mereka jual ke daerah pantai barat Sumatera. Selain pantai timur Sumatera daerah pesisir barat Sumatera merupakan daerah pasar utama dari berbagai komoditas yang dikumpulkan dan dihasilkan oleh masyarakat Pakpak, Angkola, dan Mandailing (Asnan,2007:42).
Kontak yang terjadi antara orang-orang Pakpak dengan para pendatang dari India di masa lalu mengakibatkan terjadinya akulturasi. Akulturasi adalah salah satu proses perubahan budaya, yang ditandai oleh terjadinya interaksi intensif antara kelompok-kelompok individu dengan kebudayaan berbeda, yang mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan besar pada pola kebudayaan dari salah satu atau kelompok-kelompok yang terlibat. Oleh para pakar antropologi akulturasi dapat berupa (Haviland,1988:263):
  1. Substitusi, terjadi ketika satu atau sejumlah unsur kebudayaan yang telah ada sebelumnya diganti oleh unsur kebudayaan baru yang lebih fungsional, sehingga mengakibatkan hanya sedikit perubahan struktural dari kebudayaan bersangkutan.
  2. Sinkritisme, terjadi ketika sejumlah unsur budaya lama bercampur dengan unsur buaya baru sehingga terbentuk suatu sistem baru yang mengakibatkan perubahan kebudayaan yang cukup berarti.
  3. Adisi, terjadi ketika satu atau sejumlah unsur kebudayaan ditambahkan pada kebudayaan yang lama, yang dapat mengakibatkan perubahan struktural atau bahkan tidak terjadi perubahan pada budaya lama.
  4. Dekulturasi, terjadi ketika bagian substansial dari suatu kebudayaan menjadi hilang.
  5. Orijinasi, terjadi ketika sejumlah unsur baru tumbuh dari suatu kebudayaan disebabkan oleh perubahan situasi.
  6. Penolakan, terjadi ketika suatu perubahan berlangsung terlalu cepat sehingga sejumlah besar anggota dari suatu budaya tidak mau menerimanya, yang dapat menyebabkan pemberontakan, penolakan sama sekali, atau gerakan kebangkitan.
Sebagai akibat dari salah satu atau sejumlah proses tersebut, akulturasi dapat tumbuh melalui beberapa jalur. Percampuran atau asimilasi terjadi bila dua kebudayaan kehilangan identitas masing-masing dan menjadi satu kebudayaan. Inkorporasi terjadi bila suatu kebudayaan kehilangan otonominya, namun tetap mempunyai identitas subkultur, seperti kasta, kelas, atau kelompok etnis (Haviland,1988:263).
Dalam hal kebudayaan Pakpak, tampaknya akulturasi yang berupa adisi merupakan proses budaya yang terjadi di masa lalu. Sebelum kedatangan orang-orang India dengan kebudayaannya yang khas, orang-orang Pakpak telah mewarisi kebudayaan tersendiri yang berbeda dari para pendatang dari barat tersebut. Datangnya budaya baru pada masyarakat Pakpak memperkaya khasanah budaya yang telah lama mereka miliki. Pada ranah sistem kepercayaan misalnya sebelum kedatangan kepercayaan Hindu-Buddha masyarakat telah memiliki kepercayaan terhadap roh-roh leluhur. Masuknya agama Hindu-Buddha dengan pantheon-pantheon dan sistem ikonografinya telah menambah ragam bentuk hasil budaya trimatra Pakpak yang telah ada sebelumnya.
Bentuk-bentuk seperti patung angsa yang berfungsi sebagai tutup batu pertulanen sebenarnya tidak lain adalah hasil interpretasi Pakpak terhadap ikonografi Hindu yang dikawinkan dengan bentuk mejan yang telah ada sebelumnya, sebagai suatu simbol kendaraan/wahana arwah. Bentuk mejan awal/asli pribumi Pakpak itu mungkin sebagaimana yang hingga kini masih dapat dilihat di daerah Toba seperti bentuk kepala burung enggang/rangkong, kuda, dan perahu yang dianggap sebagai simbol asli bagi kendaraan arwah.
Sedangkan pengadopsian nama-nama dewa dalam kepercayaan Hindu seperti Batara Guru (Siwa Mahaguru) maupun Boraspati (Wrhaspati) tidak lebih dari penamaan bagi roh-roh leluhur yang telah dinaikkan derajatnya menjadi dewa seiring merasuknya pengaruh Hindu dalam kehidupan orang-orang Pakpak dulu. Hal serupa sebenarnya juga terjadi di Jawa pada masa pulau ini masih dipengaruhi sistem kepercayaan Hindu-Buddha.
Pada masa-masa akhir kejayaan Hindu-Buddha di Pulau Jawa, terdapat bukti bahwa kepercayaan lama yakni pemujaan terhadap nenek moyang makin menguat. Pembuatan candi-candi dan arca-arcanya tidak lain sebenarnya adalah bentuk penghormatan kepada arwah raja yang telah menyatu dengan dewa yang menjadi pujaannya semasa hidup. Jadi tidak lain dan tidak bukan hal itu adalah bentuk penghormatan kepada arwah leluhur yang belum sepenuhnya hilang dalam kepercayaan Jawa, seperti halnya juga pada orang-orang Pakpak dahulu.
Penutup
Kemiripan hasil-hasil budaya Pakpak seperti kepercayaan lewat nama-nama dewa, penanganan jenazah (pembakaran sisa jenazah); bentuk-bentuk trimatra pada patung angsa dan jenggar; maupun penyebutan nama-nama satuan kala/waktu, merupakan buah dari kontak dagang Pakpak dengan India. Tempat-tempat yang diduga merupakan titik kontak antara masyarakat Pakpak pada masa lalu dengan para pendatang dari India (khususnya Tamil/India bagian selatan) antara lain adalah Barus, Padang Lawas, dan Kota Cina. Khususnya Barus merupakan bandar internasional, menjadi gerbang bagi transfer budaya dari India terhadap budaya Pakpak yang terjadi setidaknya sejak akhir abad ke-10 M atau awal abad ke-11 M. Sejumlah unsur budaya India itu telah memperkaya kebudayaan Pakpak sebagaimana dapat dilihat jejak-jejaknya hingga kini.
Kepustakaan
Asnan, Gusti, 2007. Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera. Yogyakarta: Ombak.
Atmodjo, M.M., Sukarto, 1985. Short Notes on The Old Malay Inscriptions in Central Java dalam Final Report SEAMEO Project in Archaeology and Fine Arts: Consultative Workshop on Archaeological and Environtmental Studies on Srivijaya. Hal: 81–95.
Berutu, Lister dan Nurbani Padang, 2007. Tradisi dan Perubahan. Medan: Grasindo Monoratama.
Berutu, Tandak, 2007. Upacara Adat pada Masyarakat Pakpak Dairi dalam Berutu, Lister dan Nurbani Padang (ed.) Tradisi dan Perubahan. Medan: Grasindo Monoratama, hal: 7–35.
Couperus, P. Th., 1855. De Residentie Tapanoeli (Sumatra’s Westkust) in 1852 dalam TBG (V).
Haviland, William A., 1988. Antropologi. Jakarta: Erlangga.
Hoed, Benny H., 2004. Bahasa dan sastra Dalam Tinjauan Semiotik dan Hermeneutik dalam Christomy & Untung (ed.) Semiotika Budaya. Jakarta: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Direktorak Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia.
Kévonian, Kéram, 2002. Suatu Catatan Perjalanan di Laut Cina Dalam Bahasa Armenia dalam Lobu Tua Sejarah Awal Barus (Claude Guillot, ed.). Jakarta: École française d’Extrême-Orient, Association Archipel, Pusat Penelitian Arkeologi, dan Yayasan Obor Indonesia.
Poerbatjaraka, 1992. Agastya di Nusantara. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Ricoeur, Paul, 1982. Hermeneutics and The Human Sciences. Cambridge: Cambridge University Press.
Sastri, K.A. Nilakanta, 1932. A Tamil Merchant-guild in Sumatra dalam Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde. Batavia: Kononklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.
Siahaan, E. K., dkk., 1977/1978. Survei Monograpi Kebudayaan Pakpak Dairi di Kabupaten Dairi. Medan: Proyek Rehabilitasi dan Perluasan Museum Sumatera Utara Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Sinuhaji, Tolen dan Hasanuddin, 1999/2000. Batu Pertulanen di Kabupaten Pakpak Dairi. Medan: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Museum Negeri Provinsi Sumatera Utara.
Subbarayalu, Y., 2002. Prasasti Perkumpulan Pedagang Tamil di Barus Suatu Peninjauan Kembali dalam Lobu Tua Sejarah Awal Barus,
Claude Guillot (ed.). Jakarta: École française d’Extrême-Orient, Association Archipel, Pusat Penelitian Arkeologi, dan Yayasan Obor Indonesia.
Voorhoeve, P., 1972. Sanskrit Maandnamen in het Bataks dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 128, no. 4. Leiden: KITLV, Hal: 494–496.
Zoetmulder, P.J., 1985. Kalangwan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan.
















Sejarah Muasal Suku Pakpak

30 Juli 2011

Pegunungan Bukit Barisan melintang di sepanjang Pulau Sumatera dengan posisi yang jauh lebih dekat ke  pantai barat. Tanah Dairi terletak di lintangan ini. Kedudukannya:  di utara berbatasan dengan Karo, di timur laut dengan Karo dan Simalungun, di timur dengan Simalungun dan Samosir, di tenggara dengan Samosir dan Humbang Hasundutan, di selatan dengan Humbang Hasundutan dan Tapanuli Tengah (Manduamas yang sejajar dengan Barus), dan Aceh (termasuk Singkil). Adapun perbatasan mulai dari barat daya hingga barat laut adalah Aceh.

Tanah Dairi biasa juga disebut  ”Tanah Pakpak” sebab penduduk aslinya memang orang Pakpak. Sejak  tahun 2003 Dairi sebagai kabupaten telah dipecah. Hasilnya adalah Kabupaten Pakpak Bharat di belahan selatan. Dengan begitu wilayah Kabupaten Dairi yang semula sekitar 314.000 hektar kini kurang lebih tinggal  separo. Setelah pemecahan ternyata sebutan “Tanah Pakpak” tadi masih saja jamak dipakai.  Wajar memang sebab penamaan tersebut sudah sejak dahulukala.  Bukankah tak mudah mengubah sebuah kebiasaan lama? Dalam kitab ini pun kedua sebutan masih akan dipakai bergantian untuk mengacu hal yang sama.

Tadi telah disebut Dairi berada di lintangan Bukit Barisan. Konsekuensinya adalah kedudukannya di dataran tinggi dengan posisi lebih dekat ke pantai barat. Beratmosfir pegunungan, itulah Dairi. Konturnya bertakik-takik; di sejumlah kawasan bahkan ekstrim sehingga  dinding-dinding bukit terjal dan jurang menjadi pemandangan yang dominan.  Rata-rata ketinggian wilayah kawasan ini 700-1.250 meter di atas permukaan laut (dpl). Sebagian kecil kawasan sampai berketinggian 1.600 meter dpl. Sidikalang sendiri,  ibukota Dairi, berada di ketinggian 1.066 meter dpl. Iklim Dairi mudah ditebak. Bukan berhawa panas dan lembab alias tropis, melainkan di bawahnya. Bisa disebut subtropis.  Hasil alamnya yang  khas pun becorak produk hutan pegunungan: kapurbarus, kemenyan, nilam, dan kopi, itu yang paling mashyur sejak dulu. Belakangan ada gambir, kemiri, dan jagung.

Sebenarnya Dairi tak seberapa jauh dari ibukota Sumatera Utara. Jarak Medan-Sidikalang hanya berkisar 150 kilometer. Jarak  yang dalam kondisi normal bisa dicapai sekitar tiga jam dengan kendaraan pribadi. Lintasannya eksotik sehingga pasti disukai  para penikmat alam. Katakanlah kita akan melawat ke Sidikalang. Setelah meninggalkan Medan kita akan disambut alam Karo yang elok. Jalan menuju Berastagi yang menanjak berkelok-kelok kemungkinan akan kontan mengingatkan kita pada kitaran Cisarua-Puncak-Cipanas,  terutama sejak lokasi pemandian Sembahe. Hutan terjaga yang menghampar di sepanjang kedua sisi jalan menuju Sibolangit merupakan kelebihan kawasan ini dibanding jalur Puncak yang tersohor.  Sejak dari Berastagi ladang menghampar menjadi penampakan yang umum. Pun selewat Kabanjahe dan Merek yang di sisinya menghampar Tongging dan tepi Danau Toba bagian utara. Nyata betul bahwa agribisnis merupakan penghidup penduduk Karo. Namun, selepas wilayah Karo atmosfirnya menjadi lain.

Setelah melewati perladangan yang penampakannya tak serapi yang di Tanah Karo, hutan sekarang yang membentang. Lae Pondom namanya, dibelah oleh jalan beraspal milik negara. Sampai awal 1980-an penumpang bus sesekali masih bisa melihat harimau melintas di atas aspal tersebut. Masih terjaga, Lae Pondom adalah hutan subtropis khas Indonesia. Mereka yang ingin mengetahui  seperti apa gerangan atmosfir hutan Indonesia yang sebagian besar sudah punah sebaiknya datang ke kawasan penyumbang utama air untuk Danau Toba ini[1]. Setelah Lae Pondom kemudian Sumbul yang menjelang. Lantas Sitinjo dan akhirnya Sidikalang.
Kendati Medan-Sidikalang tak jauh dan lintasannya eksotik,  tak banyak orang dari ibukota provinsi Sumatera Utara itu yang pernah menjejak bumi Dairi. Biasanya sampai kota wisata Berastagi saja mereka. Yang lanjut hanya sebatas mereka yang berkampung di Tanah Pakpak atau menjalankan urusan dinas ke sana. Satu lagi, yang akan menghadiri pesta adat. Kalau orang Medan saja demikian, bisa dibayangkan mereka yang berasal dari tempat lain yang lebih jauh. Namun, keadaan mulai berubah setelah Taman Wisata Iman (TWI), di Sitinjo, pinggir Sidikalang, berdiri  tahun 2005. Sejak itu tanah Dairi mulai dijejak oleh turis termasuk dari Jakarta bahkan mancananegara. Sesungguhnya keterpencilan Dairi sebelum pembukaan TWI ini merupakan ironi. Terutama kalau kita mengingat sejarah lama.
****

Kapurbarus
Tanah  Dairi sebenarnya sejak lama telah berhubungan dengan dunia luar, termasuk mancanegara. Kontak itu memang tidak langsung, melainkan lewat Barus, tetangga di selatan. Sudah sejak zaman prasejarah Barus termashyur sebagai bandar internasional. Dan untuk ketersohoran tersebut, Tanah Pakpak punya kontribusi besar. Sayang sampai sekarang andil ini hampir luput dari catatan sejarah. Sebelum membahasnya, kita telaah dulu Barus dengan kebesaran masa lalunya.

Barus masa lalu—sebutan lainnya Fansur (Arab) dan Pansur  (Batak)—identik dengan dua hal, yakni kamper atau kapur barus dan penyair mistik Hamzah Fansuri yang memang lama tinggal di sana. Di antara keduanya kamperlah yang paling lekat dengan nama tempat ini.  Dalam pengetahuan umum kota kecil di pantai barat Sumatera inilah penghasil kamper  yang paling tinggi mutunya dan paling murni sifatnya.

Sejak lama, sebelum tarikh Masehi, kamper yang di negeri kita bersebutan “kapurbarus” telah menjadi komoditas dunia. Barang ini dahulu bernilai tinggi, setara emas. Maksudnya satu kilogram kamper bernilai tukar sekilogram emas. Mahal karena faedah atau khasiatnya banyak. Penggunaannya yang jamak adalah di dunia pengobatan (ketabiban dan kedokteran) serta keobatan (farmasi). Menurut  kisah lawas, champor (kapurbarus) menjadi salah satu unsur ramuan yang dipakai dalam mengawetkan jasad penguasa Mesir (firaun) terkemuka, Ramses II. Mummi raja yang berkuasa pada kurun tahun 1279-1213 sebelum Masehi tersebut telah dibawa ke Paris tahun 1974 untuk diperiksa. Masalahnya hasil pembalseman tersebut (kini berada di Meseum Mesir) kian rusak saja digerogoti jamur. Cerita lain menyebut salah satu wewangian yang dibawa kaum Majus sebagai persembahan untuk bayi Yesus yang baru lahir di Betlehem kapurbarus juga. Kemenyan disebut juga bagian dari seserahan mereka kala itu; hanya saja tak disebut dari mana asalnya.

Ihwal kapur dari Barus sudah ada catatannya di awal tarikh Masehi. Salah satunya dibuat Claudius Ptolemaeus (90-168) seorang Yunani Alexandria (Mesir) yang merupakan ahli astronomi, astrologi, dan geografi terkemuka. Dalam karya akbarnya, Geographia, ia menyebut Barousai penghasil kamper. Kalaupun tak dicatat, di masa itu ihwal kapurbarus setidaknya sudah dipercakapkan dalam pelbagai bahasa, termasuk Yunani, Syria, Cina, Tamil, Arab, Armenia, Jawa, dan Melayu.[2] 

Sejak abad ke-6 kapur dari Barus dikenal di berbagai kawasan yang terbentang dari Cina ke Laut Tengah yang memisahkan Eopa dengan Afrika. Sebab itu, catatan tentang komoditas ini pun makin banyak. Tersebutlah catatan dari  Dinasti Liang dari Cina selatan (abad ke-6),  I-tsing (tahun 692), Ibnu Chordhadhbeh (tahun 846), Marco Polo (tahun 1292), dan Ibnu Batutah (tahun 1345), misalnya. I-tsing adalah seorang rahib Buddha yang sempat tinggal bertahun-tahun di Sriwijaya saat berziarah dari Cina ke India. Marco Polo seorang  pengelana Italia yang sempat singgah di Pasai (Aceh). Ibnu Batutah orang Berber dari Tangier (Afrika Utara). Dia  kemungkinan telah menjejak tanah Barus dalam perjalanan  ke pantai barat Sumatera.


Kendati telah banyak disebut, sejauh itu belum jelas yang mana sebenarnya Barus,  negeri sumber kamper “yang paling tinggi mutunya dan paling murni sifatnya” itu. Tabir Barus masih saja gelap. Pasalnya pelukisan oleh para penjelajah-penulis tadi tidaklah sama. Ptolemaeus, misalnya, menggambarkan Barrous sebagai kawasan lima pulau. Penulis lain ada yang menyebut lokasinya di Semenanjung Malaka. Di Aceh adanya, tulis yang lain.  Perujuk Barus sekarang memang ada juga.  Jauh dari sinkron informasi mereka; simpang siur jadinya. Kekarut-marutan penggambaran  ini tentu mudah kita pahami. Pada  masa I-tsing, Ibnu Chordhadhbeh, Marco Polo, atau Ibnu Batutah pengetahuan geografis orang masih sangat terbatas sebab pelayaran lintas benua masih sangat sedikit dan teknologi navigasi masih begitu sederhana. Apalagi di masa Ptolemaeus.
****

Simpang Siur
Kesimpangsiuran ini berlangsung lama. Bahkan, hingga sekarang pun masih ada ahli yang meragukan bahwa Barus sekaranglah yang dirujuk sebagai  sumber kamper “yang paling tinggi mutunya dan paling murni sifatnya” itu. Dasar keraguan mereka ada beberapa. Pertama, sejak dulu kamper tak hanya datang dari Barus sekarang, tapi juga dari Borneo (Kalimantan), Semenanjung Malaka, dan Jepang. Sebagai catatan, kamper—sebuah bahan keras, bisa berupa pasir—merupakan hasil oksidasi minyak yang  terdapat dalam sel-sel khusus yg mengeluarkan bahan ini. Sel-sel  ini terdapat di semua bagian pohonnya. Terdapat dua  jenis kamper dari keluarga berbeda:  (1) Dryobalanops aromatica Gaertn dari keluarga Dipterocarpaceae mengasilkan kapur Borneo dan (2) Cinnamonum camphora (L.), Nees, dan Ebern dari keluarga Lauraceae atau kamper Jepang. Jenis pertama ini jauh lebih bernilai secara ekonomis. Hanya setelah kamper hasil pabrikan muncullah nilainya merosot tajam.

Kalau saja sosok kejayaan masa lalu masih jelas tampak di Barus, sekarang tabir gelap tadi tak perlu begitu lama menggantung. Realitasnya, Barus sekarang yang tercakup dalam Kabupaten Tapanuli Tengah dalam penampakannya di permukaan begitu bersahaja dan  terisolasi. Kecuali makam-makam Islam dari sekitar abad ke-14, kawasan ini hampir tak menyisakan artefak dari sebuah bandar internasional masa kuno. Inilah dasar keraguan kedua. Begitupun, di tengah kesimpangsiuran informasi ihwal Barus yang menjadi sumber kamper terbaik, ada satu hal yang akhirnya disepakati banyak ahli. Yaitu  kata ‘kamper’ berasal dari rumpun bahasa Austronesia. Jadi kemungkinan besar asal komoditas ini adalah kawasan di Nusantara.
Sejak abad ke-16 mulai lebih terang sebenarnya bahwa Barus sekaranglah sumber kamper terbaik yang diapresiasi dunia itu. Tapi kawasan ini sendiri ternyata hanya bandar penampung saja, bukan penghasil. 

Tom Pires, seorang musafir Portugis, di awal abad ke-16 mendeskripsikan Barus lebih jelas. Ia menyebut negeri ini sangat kaya, kemana pedagang India dan Arab datang langsung untuk mencari damar (kamper dan kemenyan). Barus yang saat itu berhungan dekat dengan Minangkabau, menurut dia, dinamakan juga  Panchur atau Pansur. “Orang Gujarat menamakannya Panchur, juga bangsa Parsi, Arab, Bengali, Keling, dst. Di Sumatra namanya Baros (Baruus). Yang dibicarakan ini satu kerajaan, bukan dua,” tulis dia.[3]
Barus, lanjut Tom Pires, telah lama berdagang dengan negeri Pakpak. Hasil bumi berupa kamper dan kemenyan yang dijual di Barus, lanjut  dia, didatangkan dari pedalaman. Yang dimaksud dengan pedalaman tentu saja tanah Pakpak yang kala itu setidaknya mencakup Manduamas, Pakkat, dan Parlilitan.  

Catatan yang lebih pasti ihwal Barus baru ada sejak Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) menempatkan perwakilannya di sana. Dalam laporan VOC di  abad ke-17 disebut pohon kapur barus dan kemenyan terdapat di daerah perbukitan di antara tanah pantai yang datar dan dataran tinggi Toba. “Di daerah terjal ini damar dipungut oleh berbagai kelompok Batak dan diangkut oleh mereka ke tepi laut, terkadang melalui beberapa daerah lain dulu. Di pantai damar dipertukarkan dengan bahan keperluan mereka seperti kain, besi, dan garam,” demikian catatan VOC.[4]   Di sini yang dimaksud VOC dengan Batak tentu tidak hanya Toba.

Sekitar abad ke-17 itu, menurut catatan VOC tadi, yang menjadi penduduk Barus adalah orang Melayu, Batak, dan etnik Nusantara lain termasuk Aceh. Orang Melayu dimaksud banyak dari Minangkabau dan pelabuhan-pelabuhan yang lebih selatan. Sedangkan orang Batak yang disebut adalah mereka yang sudah merantau ke pantai dan yang sudah kawin-mawin dengan orang setempat. Masih menurut catatan tadi, saat VOC hendak menjalin hubungan dengan penguasa lokal tahun 1668 barulah mereka tahu bahwa Barus diperintah oleh dua raja yakni Raja di Hulu (campuran Batak-Melayu) dan Raja di Hilir (campuran Melayu dari Terusan, Sumatera Barat). Raja di Hulu menjalin hubungan khusus dengan masyarakat Pakpak yang  memungut kamper di Barus barat laut dan pedalamannya. Sedangkan Raja di Hilir berpengaruh besar terhadap orang Batak di Pasaribu dan Silindung yang memungut kemenyan di perbukitan di Barus timur laut serta di  pedalaman Sorkam dan  Korlang.

Sampai abad ke-19 Barus masih menjadi penyalur utama kamper dari tanah Dairi. Para pedagang di Barus membeli komoditas ini dari para petani dan pengumpul yang datang dari pedalaman.  Sungai dan jalan setapak menjadi jalur para pengumpul.

Dalam skala yang lebih kecil Singkil juga penampung kapurbarus dan hasil bumi Dairi lainnya.  Di  wilayah Singkil, pangkalan di sepanjang aliran sungai yang berhulu di tanah Pakpak menjadi tempat transaksi. Para petani dari pedalaman datang ke sana membawa kamper, kemenyan dan yang lain  untuk ditukar dengan garam, kain, tembakau Cina, opium, dan aneka barang dari besi.  Pada abad ke-19 terdapat sejumlah pangkalan di Boven Singkel (Singkil Atas) yakni  Sinundang, Kumbi, dan Puge di Batang Sinundang;  Traju, Pulau Melang, dan Bruntungan Kambing di Batang Sulambi;  Panggalan dan Silak di Batang Kumbi, Panuntungan dan Belegen di Batang Belegen, Angkat dan Sarah di Batang Batu-batu, serta Biski di Batang Biski.[5]
Selain ke Barus dan Singkil kamper dan kemenyan dari tanah Pakpak  juga masuk ke pelabuhan pantai barat lainnya yakni Tapian Na Uli (Sibolga), Natal dan Air Bangis. Kedua komoditas ini menjadi barang ekspor utama bandar-bandar tersebut hingga pertengahan abad ke-19. Khusus kemenyan sumbernya ada beberapa selain tanah Pakpak. Tanah Toba salah satunya. 
Jelaslah, tanah Dairi yang menjadi sumber kamper andalan bandar-bandar pantai barat Sumatera sejak lama. Juga sebagai kemenyan terbaik. Tidak heran kalau di masa Hindia Belanda kawasan di pedalaman Barus dan Singkil ini dinamai  Kamfergebied (sentra kamper) dan Benzoegebiet (sentra kemenyan).
****


Prasasti Lobu Tua
Ihwal Barus sekarang sebagai pusat perdagangan  masa lalu kian terang setelah sebuah tiang bertulis ditemukan di Lobu Tua, dekat Barus, di masa Kontrolir GJJ Deutz tahun 1873. Prasasti  yang sekarang berada di Museum Nasional, Jakarta, tersebut berhasil dibaca oleh gurubesar arkeologi di Madras, India, KA Nilakanta Sastri, tahun 1932. Bertahun 1010 Saka (tahun masehi: Februari-Maret 1088), tiang itu bertuliskan—dalam bahasa Pallawa—ikhtiar perikatan sebuah  serikat dagang (merchant guild) Tamil. Menamakan diri Perkumpulan Lima Ratus karena  jumlahnya 500 orang, mereka berkiprah di Barus selama abad ke-11.[6]

Bukti kebandaran Barus dikuatkan lagi oleh hasil penggalian arkelologis oleh sebuah tim Indonesia-Perancis di Lobu Tua  tahun 1995-1996. Dalam eskavasi di desa yang berjarak sekitar 2 kilometer dari Barus sekarang ditemukan peninggalan arkeologi bermutu tinggi termasuk kaca dan keramik dari Timur Dekat serta banyak pecahan keramik dari Cina. Serpihan ini berasal dari abad ke-8 dan ke-9.[7]

Dari paparan tadi jelas bahwa tanah Dairi atau tanah Papak-lah sumber kamper yang telah mengharumkan nama Barus sejak masa pra-sejarah. Sebenarnya tidak semua daerah di Dairi yang menghasilkan kamper kala itu. Cuma daerah tertentu saja. Terutama Kelasan dan Manduamas. Kelasan, oleh orang India disebut Kalasapura atau Kalasha. Penduduknya menamai kamper haboruan. Sedangkan orang Pakpak umumnya (termasuk yang di Manduamas) menyebutnya keberuen. Tanda kerapatan hubungan masyarakat Dairi dengan keberuen sangat jelas: di tanah Pakpak ada sejumlah cerita rakyat (folklor) yang berlatarkan tanaman hutan ini. Di antaranya kisah  Pak-Edag-Pak-Edog dan cerita Simbuyak-mbuyak.

Bahwa kamper yang diekspor Barus sejak zaman klasik itu bersumber di  tanah Dairi atau tanah Pakpak, sayangnya hingga  sekarang  tak banyak yang tahu. Anggapan umum kamper itu ya hasil bumi Barus; toh sebutan lainnya juga ‘kapurbarus’. Tanah Pakpak sama sekali tidak dipersangkutkan. Orang Medan dari zaman dulu punya sebutan untuk ironi seperti ini: lembu punya susu, Benggali punya nama.  Di Medan susu sapi segar dinamai ‘susu Benggali’ sebab orang Benggali-lah yang berkeliling menjajakannya. Kasus salah kaprah susu Benggali ini sama dengan  kasus ‘jeruk Medan’. Jeruk asalnya dari tanah Karo, bukan Medan. Sebab itu sebutan yang tepat sebenarnya adalah ‘jeruk Karo’ atau paling tidak ‘jeruk Berastagi’.
****

Kapurbarus dalam Hikayat  Pakpak
Keberuen merupakan sebutan umum orang Pakpak untuk kapurbarus. Adapun proses mengambil damar ini mereka sebut  merteddung atau martodung.  Masyarakat lama Dairi berikatan batin erat dengan hasil hutan yang satu ini.

Bukan sembarang komoditas keberuen ini  bagi mereka. Sebab itu proses pencariannya pun pakai aturan main atau syarat baku. Tidak setiap pohon kapurbarus menghasilkan kapur. Tak jarang rombongan pencari yang sampai berbulan-bulan masuk hutan akhirnya pulang berhampa tangan. Jadi peruntungan juga menentukan. Agar pencarian lebih efisien rombongan biasanya membawa serta pawang. Sang pawanglah yang memimpin prosesi  nanti dan memandu para pencari. Jadi selain kapurbarus, sejak lama juga  tanah Dairi dikenal sebagai penghasil  pawang kapurbarus.

Kerekatan Dairi dengan kamper melebihi  wilayah manapun di Republik ini. Bukti kerekatan ini adalah adanya koleksi  cerita orang Pakpak yang berkait dengan kapurbarus. Misalnya hikayat pasangan Pak-Edag-Pak-Edog dan Nan Tartar-Nan Tortor[8] serta hikayat Simbuyak-mbuyak[9].
Hikayat pertama ihwal cekcok suami-isteri. Suatu hari, merasa suaminya ingkar janji Nan Tartar-Nan \Tortor pun minggat dari rumah. Sang suami, Pak-Edag-Pak-Edog, pusing tujuh keliling setelah isterinya raib. Suatu malam ia bermimpi bahwa isterinya bersembunyi di dalam sebatang pohon kapurbarus. Segera ia bertindak. Diambilnya tongkat dan diketoknya setiap pohon kapurbarus yang ia temui di hutan. Benar, Nan Tartar-Nan Tortor ada di dalam pohon. Masalahnya perempuan itu selalu berpindah ke pohon kamper  lain saban didekati.  Pak-Edag-Pak-Edog tak kenal lelah. Tongkat terus ia pukulkan. Alhasil bunyi ketokan tongkatnya pun menggema di rimba raya: pakpak edag-edog... pakpak edag-edog... pakpak edag-edog... Pendek cerita, hati isterinya kemudian melunak sehingga mereka pulang happy ending. Yang mau dikatakan hikayat ini: sejak bunyi menggema di hutan itulah sebutan ‘orang Pakpak’ diberikan kepada masyarakat yang satu ini yang memang sejak berabad-abad terkenal sebagai pencari ulung kapurbarus. 
****

Simbuyak-mbuyak
Hikayat kedua tentang tujuh lelaki bersaudara seibu-seayah dari negeri Urang Julu. Mereka adalah (berturut mulai dari yang sulung) Simbuyak-mbuyak, Turuten, Pinayungen, Maharaja, Tinambunen, Tumangger, dan Anakampun. Sejak lahir Simbuyak-mbuyak tak bisa  berdiri karena ruas tulang belakangnya kelewat lemah. Kendati begitu, sesuai ajaran orangtuanya, ia tetap disayang adik-adiknya. Setelah beranjak dewasa, keenam adiknya memutuskan pergi ke rantau untuk mencari kamper yang harganya saat itu setara emas. Simbuyak-mbuyak mohon ikut dan akhirnya disetujui termasuk oleh ibu-ayahnya.

Perjalanan mencari kamper sungguh melelahkan, ternyata. Harus menembus hutan turun naik gunung mereka. Apalagi keenam adik juga harus bergantian menggendong si sulung.  Akhirnya tiba juga mereka di tempat pepohonan kapurbarus tumbuh. Sesuai arahan sang kakak mereka membuat gubuk persis di pertengahan lereng Gunung Sijagar. Seia-sekata, tak boleh cekcok, memang itulah etos para pencari kamper. Dan dari sini jugalah asal-usul maksim sosial terkenal di Tanah Pakpak: ‘Sada kata dok perteddung’ (Seia-sekata seperti ujaran pencari kapurbarus).
Ketujuh bersaudara pun mematuhinya. Fisiknya yang lemah membuat Simbuyak-mbuyak di gubuk saja sendirian saat adik-adiknya pergi mencari kamper. Kerjanya seharian memintal tali. Kamper yang didapat enam bersaudara sedikit saja dan itu pun, di gubuk, kerap dilahap habis oleh si sulung. Begitu saban hari. Lama-lama kedongkolan empat dari enam bersaudara yang sudah letih itu membuncah, tapi Tinambunen dan Tumangger selalu berusaha meredakan suasana tegang. Simbuyak-mbuyak sadar dirinya sedang disoal tapi ia berlagak tak tahu. Terus saja ia memintal tali tanpa mau mengatakan untuk apa.

Tak ada yang tahu ternyata Simbuyak-mbuyak  bukan manusia biasa. Malam, saat keenam adiknya sudah lelap ia sering menjelajah hutan. Ia bisa menandai mana pohon yang berkamper dan mana yang tidak. Bahkan tahu berapa kandungan pohon yang berisi kamper tersebut.
Kekecewaan keempat adik Simbuyak-mbuyak akhirnya memuncak. Mereka memutuskan pulang dan meninggalkan abang sulung di hutan. Suatu hari mereka pamit. Pulang dulu mengambil bekal, itu alasannya. Merasa kasihan, Tinambunen dan Tumangger mengatakan mau tinggal untuk menemani Simbuyak-mbuyak. Ternyata Simbuyak-mbuyak mengatakan lebih suka ditinggal sendiri. Cuma satu pintanya: tolong dijemput kalau pohon durian mereka di kampung sudah berbuah. Tak sembarang pohon durian mereka itu: cuma satu dan buahnya tunggal pula. Tapi sungguh istimewa buah ini: kelewat besar dan rasanya lezat nian. Semuanya mengatakan siap menjemput.

Sesampai di kampung kepada orangtua keempat bersaudara tadi menceritakan kesialan mereka di hutan. Mereka lantas mempersalahkan si abang sulung.  Setelah berkisah mereka menguatarakan pinta ke orangtua  yaitu menggelar pesta dulu sebelum mereka kembali ke hutan nanti. Sajiannya buah durian mereka serta daging ternak. Pinta diluluskan.
Khawatir terlambat Tinambunen dan Tumangger bergegas menjemput Simbuyak-mbuyak. Saat kedua bersaudara ini masih menapak menuju Gunung Sijagar ternyata pesta di kediaman mereka di Urang Julu sudah mulai. Lewat kemampuan istimewanya Simbuyak-mbuyak tahu itu. Masygul dia. Lantas ia yang sejak kepergian keenam adiknya telah menjelma menjadi pemuda ganteng nan gagah mulai merentangkan tali yang selama ini dipintalnya. Setiap pohon berisi kapurbarus ia pertautkan dengan tali itu. Ia berdoa agar pohon paling besar dan tinggi serta penuh berisi kapurbarus tumbang. Doanya terkabul. Pohon itu terhempas. Juga, batang itu terpotong-potong rapi.  Berdoa lagi dia: kayu berpotong itu terbelah dua.

Sewaktu Tinambunen dan Tumangger tiba mereka tak menemukan abangnya. Bertambah heran keduanya karena tali-temali berseliweran mulai dari gubuk hingga ke hutan. Tatapan mereka kemudian terbentur pada sebuah pohon besar-tinggi yang rebah di depan gubuk. Saat mendekat mereka melihat sang abang terbaring di belahan kayu itu. Sontak disergap rasa kaget dan haru keduanya. Simbuyak-mbuyak mereka bujuk agar keluar dari sana. Tak berhasil. Simbuyak-buyak mengungkapkan isi hati kepada kedua adik yang sungguh menyayangi dirinya. Ia bilang bahwa seandainya saja ikut  dalam pesta buah durian dan daging ternak gemuk di kampung ia akan memohon ke sang pencipta agar dirinya dijelmakan sebagai manusia sehat. Tapi, semuanya sudah terlambat, ucap dia. Ia lantas memberitahu bahwa semua pohon yang ia ikat itu berisi kapur barus. Ia persilakan mereka mengambilnya nanti sebagai pengganti kapurbarus yang telah ia makan selama ini. Setelah  memberi pelbagai petunjuk dan bertitip pesan kepada kedua orangtua dan sanak saudara ia pun mohon diri. Suara maha guruh terdengar seketika. Kayu terbelah bersatu menelan tubuh Simbuyak-buyak. Kayu itu lalu meluncur maha kencang dari  lereng Gunung Sijagar.  Ke samudra arahnya.
Tinambunen dan Tumangger sedih bukan kepalang. Namun duka mereka segera susut setelah melihat kapurbarus berlimpah yang ditinggalkan Simbuyak-buyak. Dengan bawaan yang sarat mereka pun pulang. Di rumah, kepada keempat saudaranya bawan itu mereka bagikan juga. Akhirnya keluarga mereka menjadi makmur. Hikayat pun berujung.
***


Negeri Tujuan Kaum Migran
Penduduk asli tanah Dairi adalah orang Pakpak. Sebab itu Dairi acap juga disebut tanah Pakpak (Tanoh Pakpak).   Seiring waktu kaum migran pun bermunculan. Tanah yang luas dan subur menjadi alasan utama bagi mereka untuk ‘mendairi’. Alhasil setelah bergenarasi-generasi kawasan ini telah menjadi melting pot. Berikut ini  potret beberapa etnik atau puak yang telah lama beranak-pinak di Dairi. Pakpak sendiri tentu perlu dikisahkan sebagai awalnya.

Pakpak
Tanah Pakpak terdiri dari lima suak atau kelompok berdasarkan kedekatan wilayah, sosial dan ekonomi. Suak itu adalah:  Simsim, di kawasan Salak, Kerajaan, Sitellu Tali Urang Julu, Sitellu Tali Urang Jehe;  Keppas, di kitaran Sitellu Nempu, Siempat Nempu, Silima Pungga-pungga, Lae Luhung (Lae Mbereng) dan  Perbuluhen;  Pegagan dan Karo Kampung, di sekitar Pegagan Jehe, Silalahi, Paropo, Tongging (Sitolu Huta) dan Tanah Pinem;  Boang, di lingkup Simpang Kanan, Simpang Kiri, Lipat Kajang, dan Singkil; dan  Kelasan, meliputi wilayah Sienem Koden, Manduamas, dan Barus.

Orang Pakpak juga bermarga.  Di lingkup Suak  Simsim terdapat sejumlah marga antara lain Banurea, Beringin, Berutu, Boangmanalu, Cibero, Kebeaken, Lembeng, Manik, Padang, Sinamo, Sitakar, Sitendang, dan Solin. Di  Suak Keppas: Angkat, Bako, Berampu, Bintang, Capah, Gajah Manik, Kudadiri, Maha, Pasi, Sambo, Saraan, dan Ujung. Di Suak Pegagan: Cupak atau Kecupak, Kaloko, Lingga, Manik, Matanari, dan Simaibang. Di  Suak Boang: Bancin, Berutu, Lembeng, dan Pohan. Sedangkan di Suak Kelasan: Anakampun, Berasa, Gajah, Kesogihen, Maharaja, Meka, Mungkur, Sikettang, Tinambunen, Tumangger, dan Turuten.

Kata ‘pakpak’ dalam bahasa Pakpak bermakna tinggi. Bisa jadi karena berdiam di dataran tinggi atau pegunungan maka masyarakatnya dirujuk sebagai orang Pakpak. Sejauh ini selain hasil telusuran berdasar asal-usul kata (etimologi) ada juga tafsir ‘pakpak’  versi lain.  Ada yang mengatakan kata ini berasal dari ‘wakwak’, sebutan untuk kawasan ini oleh warga negeri Abunawas (Irak sekarang) di zaman baheula.

Ada pula yang menyebut ‘pakpak’ berasal dari nama orang. Alkisah, tiga  pemuda bersahabat karib bertolak dari Singkil. Nama mereka adalah si Gayo, si Karo, dan si Pakpak. Pemuda Gayo melangkah mengikuti sungai Kali Alas. Ia tiba di tanah Gayo. Melanjut ke Kutacane dia dan mentap selamanya. Pemuda Karo mengikuti Lae Ulun dan tiba di tanah Karo. Di sana ia tinggal permanen. Adapun pemuda Pakpak, ia mengikuti Lae Renun dan sampai di Pegagan Hilir. Di sana ia bergabung dengan penduduk asli dan membentuk perkampungan. Seperti kedua sobatnya ia pun menjadi migran yang berdiam menetap. Namanya kemudian diabadikan untuk seluruh kawasan.[10]

Sudah ada tiga tafsir tentang muasal kata ‘pakpak’. Lantas orang Pakpak sendiri dari mana berasal? Seperti halnya asal-usul seluruh etnik atau sub-etnik lain di Republik ini, yang satu ini pun belum jelas betul. Aneka macam versinya. Secara umum, sejak zaman Belanda, oleh para etnolog orang Pakpak digolongkan ke dalam etnik Batak. Jadi sama seperti  orang Toba, Karo, Simalungun, Mandailing, dan Angkola. Adanya sejumlah unsur kedekatan atau kesamaan—misalnya dalam struktur sosial, sistem budaya, dan bahasa—puak ini satu sama lain menjadi dasar penggolongan.  Uli Kozok[11], misalnya, menyatakan keenam puak ini memiliki bahasa yang satu sama lain banyak kesamaannya. Merujuk para ahli bahasa ia menyebut bahasa Angkola, Mandailing, dan Toba membentuk rumpun selatan; sedangkan bahasa Karo dan Pakpak-Dairi termasuk rumpun utara. Ihwal Bahasa Simalungun ada dua pendapat. Berdiri di antara rumpun utara dan selatan, begitu satu pendapat. Merupakan cabang dari rumpun selatan yang kemudian terpisah sebelum bahasa Toba dan bahasa Angkola-Mandailing terbentuk, kata pendapat lain.[12]

Belakangan ini  semakin nyaring terdengar pernyataan bahwa Pakpak bukan Batak, terlepas dari sejumlah unsur kesamaan tadi. Menurut pemegang pendapat ini (umumnya mereka orang Pakpak) sebagai etnik Pakpak lebih tua dari Toba yang selama ini mengkleim sebagai leluhur segenap puak Batak. Diskleim senada tadinya cuma dari Mandailing. Belakangan orang Karo dan Simalungun pun  kian banyak menyangkal diri Batak. Lama-lama bisa Toba belaka yang menyebut diri Batak. Tentu para etnologlah yang  punya otoritas untuk menimbang kebenaran kleim atau diskleim ini.

Mereka yang menyatakan Pakpak lebih tua dari Toba merujuk pada folklor lokal dan benda-benda budaya dari zaman Hindu (di antaranya mejan—patung orang menunggang gajah atau harimau, terbuat dari batu) yang sampai kini bisa ditemukan di tanah Pakpak untuk menguatkan argumennya.

Kendati tak tak memiliki mitologi lengkap yang mencakup ihwal penciptaan dunia dan manusia pertama, orang Pakpak  mempunyai folklor tentang lintasan peradabannya. Menurut folklor ini Pakpak mengenal lima zaman yakni Similangilang, Sintuara, Sihaji, Hindu, dan Pemimpin. Keterangannya berikut ini[13].

Zaman Similangilang. Pada masa ini orang belum tinggal menetap atau masih nomaden. Berburu binatang merupakan pekerjaan utama mereka.

Zaman Sintuara. Mereka sudah mulai bermukim tapi kerap berpindah. Kalau ada anggota kelompok yang meninggal mereka akan berpindah sebab kematian dianggap kesialan yang harus dihindari.

Zaman Sihaji. Seperti masa sekarang, di masa ini kelompok sudah menetap secara permanen di satu tempat. Mereka sudah mulai berdagang tapi  belum menggunakan mata uang. Jadi masih berbarter. Mitra dagang mereka termasuk orang asing (Portugis, Mesir, dan India). Berbagai barang dari luar negeri sudah masuk di antaranya koden loyang (periuk), kalakati (alat pengupas pinang), sulapah (tempat sirih), pinggan pasu (piring pinggan), gabus (ikat pinggang), dan borgot

Zaman Hindu. Ini sezaman dengan kerajaan Sriwijaya. Berarti abad ke-6 sampai ke-12.

Zaman Pemimpin. Bermula sejak Islam merebak di tanah Pakpak.
Kalau folklor ini  mengandung kebenaran faktual  memang benar orang Pakpak lebih tua dari orang Toba. Jalan pikirannya, bandingkanlah folklor kedua puak. Menurut tambo (tarombo) orang Toba, manusia Batak pertama adalah Si Raja Batak. Segenap orang Batak sekarang adalah keturunannya. Dari Si Raja Batak hingga angkatan kanak-kanak Toba sekarang paling ada belasan generasi. Satu generasi katakanlah 70 tahun.  Jadi  masa sejak Si Raja Batak hingga masa sekarang baru paling 1.500 tahun (asumsinya orang Toba telah 20 generasi lebih). Berarti baru setara era Hindu menurut folklor Pakpak tadi.  Masih jauh dari zaman Similangilang. Begitulah kalau kita membandingkan folklor. Masalahnya, folklor tidak bisa dijadikan penakar tahun. Namanya juga cerita rakyat atau sahibul hikayat: berbiaknya dari mulut ke mulut.
Jejak kebudayaan Hindu sampai sekarang masih tampak jelas di tanah Pakpak. Mejan salah satunya. Lainnya adalah benda yang tadi disebut dari zaman Sihaji:   koden loyang, kalakati, sulapah, pinggan pasu, gabus, dan borgot.  Jejak ini menjadi pertanda bahwa sebagai etnik Pakpak memang sudah tua.

Tanah Pakpak memang sejak lama berada dalam medan pengaruh pelbagai kebudayaan besar. Kedekatannya dengan Aceh dan Barus menjadi penyebabnya. Setelah Hindu, kebudayaan Islam dan Kristen merembes deras ke kawasan ini.

Islam sudah lama hadir di tanah Pakpak. Kemungkin besar imbas dari  kebertetanggaannya dengan Aceh di utara dan Barus di selatan. Orang Pakpak yang pertama mendalami Islam secara intens adalah  Sjech Abdurrauf al-Singkili. Dia pernah belajar agama di Pasai (Aceh) dan tanah Arab. Namun pengislaman secara serius dan sistematis barulah oleh Tengku Telaga Mekar dari Gayo.  Pengikutnya menjadi unsur pasukan Slimin yang berjuang melawan Belanda kelak. Gelombang pengislaman berikutnya mengalun di masa Guru Gindo.  Sekitar tahun 1926 sang guru bertolak dari kampungnya di Sumatera Barat untuk mengembangkan siar Islam. Lewat Singkil dan Runding akhirnya ia tiba Sidikalang.  Di ibukota ini sejumlah  pertaki berhasil ia Islam-kan termasuk dari marga Bintang dan Ujung.[14]  Dengan begitu Guru Gindo berlomba dengan zending yang juga berhasil mengkristenkan beberapa pertaki.
****

Toba
Migrasi orang Toba (sebutan orang Pakpak: Tebba) ke tanah Dairi sudah sejak lama dan berlangsung beberapa gelombang. Mereka yang pertama berpindah kemungkinan besar adalah penduduk kawasan yang berbatasan atau dekat dengan Dairi. Dalam hal ini mereka yang bermukim di kedua pesisir yang diperantarai jembatan Tano Ponggol, Pangururan, P. Samosir sekarang (penguasa Belanda mengeruk tanah di bawah jembatan ini untuk menjadikan Samosir pulau di Tengah Danau Toba), serta mereka yang berdiam di kitaran Humbang Hasundutan sekarang persisnya di selatan garis imajiner Parlilitan-Pakkat. Mereka yang berasal dari pesisir barat  Samosir bisa berjalan kaki lewat Pangururan dan Tele di seberang Gunung Pusuk Buhit  kalau mau ke tanah Dairi. Bisa juga naik sampan (solu) dari Samosir sebelum melanjut lewat jalur darat. Sedangkan mereka yang datang dari arah Balige-Muara-Bakara bisa berjalan kaki melewati daerah Humbang. Lintasan alternatif yang lebih mudah ada bagi mereka yakni naik solu ke Sagala atau Pangururan lalu menapaki jalur darat. 

Di masa rintisan migrasi, macam-macam motif orang Toba yang melawat dan kemudian menetap di tanah Pakpak.  Mulai dari mengembara belaka untuk mengenal lebih dekat dunia, mencari penghidupan yang baik, berdagang, hingga menimba ilmu (sebagai catatan: Barus yang bertetangga dengan Dairi sejak lama telah menjadi salah satu kiblat bagi orang Toba yang mendalami ilmu perdukunan atau hadatuon).

Kelompok marga Silalahi termasuk orang Toba yang telah turun-temurun tinggal di tanah Dairi. Berasal dari  Samosir utara, nenek mereka melintasi bagian Danau Toba yang paling luas dan paling dalam. Mereka lantas beroleh tanah dari orang Pakpak pemilik hak ulayat.  Marga mereka pun dibadikan sebagai nama untuik ranah pemberian itu (Kecamatan Silalahisabungan, Dairi sekarang) berikut bagian danau yang paling luas dan dalam tadi (Tao Silalahi).

Selain Silalahi, marga lain yang sudah bergenerasi-generasi menetap di tanah Pakpak termasuk Ompusunggu (bagian dari Aritonang, berasal dari Muara), Limbong, Sagala, Malau, dan Sigalingging. Mereka mendapatkan tanah dengan pelbagai cara. Ada yang awalnya putri mereka dipersunting penguasa lokal (pertaki). Setelah besanan mereka lantas diundang untuk mendirikan kampung serta diberi pertapakan. Ini misalnya dialami marga Ompusunggu yang menjadi besan Tuan Kinalang alias Raja Pernakanmatah Ujung. Tanah pemberian untuk mereka terletak di antara Hutaraja dan Hutaimbaru.[15]

Ada pula yang bermula dari hubungan dagang.  Marga Limbong misalnya ada yang awalnya datang dari Samosir dengan mambawa ulos sebagai dagangan. Ia kemudian dipermantukan pertaki dan diberi rading tanoh (tanah pemberian orangtua  kepada putrinya yang menikah).
Kisah sekelompok marga Sigalingging lain lagi. Semula seorang kakek moyang mereka datang ke Dairi untuk belajar membuat koden (periuk).  Setelah beroleh ilmu ia pulang kampung dan di sana ia bergiat membuat periuk tanah. Hasil kriya tersebut ia bawa ke Dairi untuk dijual. Bisnisnya ternyata berhasil dan ia kemudian dipermantukan marga Ujung yang menjadi penguasa lokal. Sebagai menantu ia kemudian diberi rading tanoh. Turunannya kemudian beranak pinak di sana sampai sekarang.

Marga Sidabutar ada juga yang mendapatkan tanah dari raja marga Angkat dengan cara yang kurang lebih sama.[16] Diberi tanah oleh penguasa setempat dan turunannya lantas beranak pinak. Itulah proses mendairi yang umum ditempuh kaum migran Toba. Perlu diingat di zaman rintisan itu penduduk masih sedikit sementara tanah di Dairi masih maha luas. Sesuai hukum ekonomi paradoks yang terjadi: sesuatu yang berlimpah nilainya kecil  saja kendati manfaatnya sangat besar. Contoh: udara dan air. Tanah di Dairi pun kala itu sama. Pada sisi lain  para penguasa lokal (pertaki) secara alami bersaing kekuasaan atau berebut pengaruh satu sama lain. Agar kedudukan kokoh maka basis dukungan harus diperbesar. Orang luar merupakan sumber dukungan tambahan yang bisa diharapkan. Agar orang luar ini sudi bergabung harus ada kompensasinya. Tanah peruntukan adalah kompensasi yang paling menarik bagi  mereka setelah beru (putri) keturunan sang penguasa.  Adapun putri atau keponakan perempuan dari  sang pertaki tentulah tak banyak jumlahnya, karena itu tanahlah kompensasi yang paling tersedia.
Untuk mendapatkan tanah di masa itu proses yang dijalani kaum migran sama sekali tak rumit atau berbelit. Mudah dimengerti karena hubungan mereka simbiosis mutualistis (saling menguntungkan: pertaki perlu basis dukungan sementara kaum migran perlu tanah).
Abner Togatorop memberi sebuah gambaran. Waktu masih berusia sekitar tiga tahun (ia lahir tahun 1926) kakeknya berniat meminta tanah kepada Pertaki Batu Empat. Syarat lalu disiapkan sesuai adat sulang silima. Syarat itu berupa satu tumba (2 liter) beras, sebutir telor yang ditaruh di tengah beras tadi,  seekor ayam jantan, serta uang seringgit. Saat menghadap seserahan disampaikan dan permintaan diutarakan. Pertaki saat itu juga meluluskan. Ia menunjuk begitu saja tanah untuk keluarga Togatorop[17].

Setelah beroleh tanah, lazimnya yang dilakukan oleh kaum migran Toba di tanah Pakpak adalah mendirikan kampung sendiri (mamungka huta). Untuk itu keluarga dan handai-tolan di kampung asal diajak serta bergabung. Begitulah  asal-usul huta, lumban, atau sosor yang ada di Diairi sekarang ini. Satu hal lagi yang perlu dicatat, masing-masing kelompok migran Toba ini memiliki destinasi favorit. Sebab itu sebaran orang dari Humbang, Habinsaran, Samosir, biasanya berbeda satu sama lain.

Migrasi yang dipaparkan barusan bisa disebut  bersifat alami. Artinya kedekatan jarak yang kemudian merangsang interaksi lebih merupakan pemicunya. Gelombang migrasi bercorak lain selanjutnya mengalun di awal abad ke-20.
****

Belanda memutuskan untuk memerangi Si Singamangaraja XII yang berdiam di Paya Raja, Kelasen, Dairi,  sejak tahun 1883. Maka pada 19004-1905 mereka melangsungkan dua ekspedisi militer di Dairi.  Misi ternyata gagal sehingga  November 1905 Letnan L. Van Vuuren ditempatkan di Sidikalang sebagai pejabat sipil merangkap komandan pasukan. Benteng Sidikalang dan sejumlah pondokan pasukan segera dibangun.

Untuk membangun fasilitas militer Belanda membutuhkan para pekerja termasuk  tukang, kuli bangunan, dan portir. Di masa itu tukang terampil lulusan sekolah belum ada di Dairi.  Belanda akhirnya memutuskan untuk menggunakan tenaga kerja yang tersedia di  Silindung. Masalah timbul karena orang-orang dari  Silindung—asal mereka sebenarnya dari mana-mana termasuk dari Toba, Humbang, dan Samosir—enggan berangkat ke Dairi karena tahu Si Singamangaraja XII yang akan diperangi Belanda di sana.  Belanda meluluhkan hati mereka dengan imbalan besar. Ratusan orang pun siap berangkat.

Setiba di Dairi para pekerja dari Silindung ini banyak yang terkesima oleh tanah subur dan kosong yang terhampar di mana-mana. Ketika kembali ke kampung saat cuti atau ikatan kerjanya  telah selesai mereka berkisah kepada handai tolan tentang betapa menjanjikannya masa depan di tanah Pakpak. Tergiur, para pendengar kisah pun memutuskan untuk turut pindah ke Dairi, mendairi. Migrasi besar pun terjadilah.

Setelah orang Toba kian banyak di Dairi, terutama di Sidikalang, penginjil termashyur asal Jerman, Nommensen, kemudian meminta zending masuk ke Dairi. Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) pun  berdiri di Sidikalang tahun 1908.  Tak hanya orang Toba yang belum Kristen yang dirangkul oleh zending kala itu  tapi juga orang Pakpak yang sebagian besar masih menganut agama suku. Hasilnya, tahun 1909, Jaekuten Keppas Raja Asah Ujung dibaptis menjadi Kristen. Juga saudaranya: Raja Alang, Raja Kundeng, dan Raja Jonang. Kalau penguasa sudah dirangkul otomatis pengikutnya akan lebih mudah diajak serta. Dan memang begitulah yang terjadi. [18]

Migrasi orang Toba terus berlanjut  di masa kemerdekaan. Mengisi posisi pegawai birokrasi, guru, dan tentara itu tujuan utamanya. Demikian juga di masa gerilya dan pasca penyerahan kedaulatan tahun 1949. Pemasukan kembali Dairi ke Kabupaten Tapanuli Utara yang beribukotakan Tarutung menjadi perangsang tambahan.

Migrasi orang Toba berpuncak di masa Orde Baru. Dairi membangun. Orang-orang berpendidikan datang mengisi pelbagai lowongan birokrasi kabupaten, guru, dan tenaga kesehatan hingga ke desa-desa. Mereka yang tak berpendidikan juga tak mau kalah. Mereka berkiprah di sektor informal. Alhasil, setelah migrasi yang berlangsung lama  Dairi pun menjadi salah satu daerah rantau utama orang Toba  sampai kini.  Dan secara statistik, jumlah mereka kini sudah jauh melampaui orang Pakpak.
****

Karo
Tanah Karo berbatasan langsung dengan Tanah Dairi. Laubalang, Juhar, dan Tongging antara lain menjadi titik di dekat garis batas kedua wilayah. Kebertetanggaan langsung ini dengan sendirinya membuat kedua wilayah bersinggungan secara kultur. Bahasa yang mirip  menjadi salah satu pertandanya.

Ada  sebuah wilayah di perbatasan yang oleh penguasa Belanda dulu disebut sebagai  Onderdistrik van Karo Kampung. Kawasan ini meliputi lima kenegerian yakni : Lingga (Tigalingga), Tanah Pinem, Pegagan Hilir, Juhar Kidupen Manik, dan Lau Juhar. Dinamai Karo Kampung karena kulturnya memang  Karo. Kemungkinan besar kawasan ini merupakan wilayah Karo yang masuk wilayah Dairi akibat demarkasi  oleh Belanda.  Pinem menjadi salah satu marga tanah  di Karo Kampung. Tanah Pinem, menurut tulisan tokoh masyarakat Karo Dairi, alm. Mandur Pinem[19], merupakan asal segenap marga Pinem. Jadi bukan tanah Karo, seperti anggapan umum. Hal ini, masih menurut dia, telah diakui dalam sebuah seminar adat di tanah Karo sekitar tahun 1958. 

Selama ini hubungan orang Karo dengan Pakpak boleh dibilang berlangsung mulus dan akrab. Orang Karo tak agresif dalam mendapatkan tanah sehingga ketegangan dengan pribumi Pakpak jarang terjadi. Selain itu sejumlah marga di Dairi dan Karo menjalin perikatan khusus.   Misalnya Kudadiri dengan Ginting Suka, Sinuraya dengan Angkat, dan  Padang Jambu dengan Pinem. Relasi khususlah yang kemudian memunculkan marga seperti Peranginangin Laksa, Sembiring Maha, Sebayang Solin, dan Karokaro Ujung.

Selain hubungan khusus, ada juga peristiwa tertentu yang telah merekatkan orang Pakpak dengan orang Karo. Misalnya pergolakan PRRI pada paruh kedua 1950-an.  Dalam perkembangan lanjutan gerakan ini salah satu tokoh sentralnya, Kolonel Maludin Simbolon berseberangan jalan dengan orang dekatnya, Letkol Djamin Gintings (sewaktu Simbolon menjadi panglima Komando Tentara dan Teritorium-I Sumatera Utara, Gintingslah kepala stafnya). Seperti di daerah lain di Sumatera Utara, di Dairi pun masyarakat terbelah waktu itu: ada yang berpihak ke Simbolon, ada yang ke Gintings. Orang Pakpak yang berpihak ke Djamin  Gintings  sebagian mengidentifikasikan diri ke orang Karo. Menggunakan marga Karo itulah antara lain yang mereka lakukan. Marga Maha misalnya menjadi Sembiring. Yang memihak Simbolon ada juga seperti itu.[20] Pengidentifikasian diri itu ternyata permanen. 

Pertautan Karo-Dairi lainnya dalam bidang pertanian. Karo, boleh dibilang, sejak lama menjadi model bagi Dairi dalam hal pertanian. Sejak bersentuhan dengan teknologi pertanian di masa Hindia Belanda Karo telah menjadi sentra agribisnis utama di Sumatera bahkan di Indonesia. Sejak lama hasil ladang mereka—sayur dan buah-buahan—telah menjadi komoditi yang berpasar di P. Jawa, Singapura, dan negeri lain di kitaran Asia Tenggara.  

Di Dairi masyarakat petani yang paling intens mengikuti jejak Karo di bidang pertanian adalah mereka yang bermukim di Karo Kampung (sekarang tiga kecamatan: Tanah Pinem, Tigalingga, dan Gunung Sitember). Wajar: Kedekatan  secara geografis dan kultural telah membuat mereka senantiasa rapat.  Ketika mekanisasi pertanian meraja di tanah Karo tahun 1960-an misalnya, Karo Kampung yang pertama terimbas di Dairi. Alhasil sampai sekarang kawasan ini masih penyumbang pendapatan asli daerah (PAD) terbesar Dairi dari sektor pertanian. 
****

Simalungun
Diperantarai Tao Silalahi, pesisir Silalahi-Paropo (Dairi) yang panjangnya sekitar 30 kilometer berhadapan dengan Tigaras-Haranggaol (Simalungun). Yang membuat wilayah Dairi dan Simalungun ini tak berbatasan langsung hanyalah pengkolan tempat Tongging dan semenanjung Sibaulangit  (keduanya masuk Karo) berada.

Kendati berdekatan,  relasi Dairi-Simalungun tidak istimewa. Adanya wilayah Karo sebagai bemper atau penyangga kemungkinan besar merupakan penyebabnya. Karo budayanya dominan[21] sehingga  meredam pengaruh Simalungun di kawasan itu. Apalagi orang  Simalungun  sendiri tidak agresif dan cenderung inward-looking.[22]  Alhasil tak banyak mereka yang bermigrasi ke negeri seberang, ke Dairi. Hanya karena agresi Belanda tahun 1949-lah mereka mulai masuk ke sana. Begitu pun, selama ini masih lebih banyak orang Dairi yang bermigrasi ke Simalungun daripada sebaliknya. Seribudolok menjadi tujuan utama mereka. [23]
****

Etnik lain
Dairi berpenduduk multi-etnik, terutama Sidikalang. Ibukota ini sendiri sejak dijadikan Belanda basis untuk memerangi Si Singamangaraja XII telah menjadi titik baur berbagai etnis (melting pot). Orang Jawa, Minang, Mandailing-Angkola, dan Cina antara lain unsurnya.

Orang Jawa datang untuk menjadi pegawai baik di pemerintahan, perusahaan swasta,  maupun di sektor informal. Orang Minang, seperti biasa, bergiat di bisnis rumah makan. Menjadi tukang mas, ada juga mereka. Kaum perantauan ini membanyak di Dairi setelah tokoh utama mereka, Guru Gindo, bergiat dalam siar Islam. Awalnya kerabat Guru Gindo saja yang datang menyusul dari Sumatera Barat; lama-lama orang dari luar lingkaran mereka juga.

Dibanding etnik pendatang lain orang Cina-lah yang lebih dulu eksis berdagang di tanah Dairi. Bisnis utama mereka adalah menampung dan menyalurkan hasil bumi  macam kemenyan, nilam, dan kopi.  Sebelum zaman Jepang mereka sudah aktif. Perintis bisnis ini di Sidikalang termasuk ayahanda toke Teseng, Pengki, dan Pinciang.  Seperti di kawasan mana pun di negeri ini, di Sidikalang pun orang Cina-lah yang paling dominan menguasai perekonomian lokal. Baru belakangan ini saja dominasi mereka seperti terimbangi, dan itu terutama karena semakin banyaknya generasi muda orang Cina meninggalkan Sidikalang dan membuka bisnis di Siantar, Medan, Jakarta, bahkan luar negeri.


[1] Hutan di Kecamatan  Sumbul dan Parbuluan menyumbangkan  sebagian besar air sungainya ke Danau Toba, terutama yang berhulu di hutan lindung Lae Pondom. Lihat  Jansen H. Sinamo dkk. dalam DairiThe Hidden Prosperity (terbit tahun 2000)
[2] Lihat Jane Drakard, Sejarah Raja-Raja Barus—Dua Naskah dari Barus (Gramedia Pustaka Utama dan Ecole Francaise d-Extreme-Orient,  Jakarta, 2003).
[3] Jane Drakard, ibid.
[4] Jane Drakard, ibid.
[5] Gusti Asnan, Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera (Ombak, 2007).
[6] Claude Guillot (Ed.), Lobu Tua Sejarah Awal Barus (Ecole Francaise d’Extreme-Orient, Association Archipel, Pusat Penelitia Arkeologi,Yayasan Obor Indonesia—Jakarta, 2002).
[7] Claude Guillot, ibid.
[8] Lihat MA Marbun-LMT Hutapea, Kamus Budaya Batak Toba—Balai Pustaka 1987.
[9] Dipetik dari sebuah tulisan di internet. Sayang identitas penulisnya tak ada.
[10] Perkisahan ini berasal dari para narasumber Pakpak dalam wawancara di Sidikalang pada 7 Oktober  2008.
[11] Sembari meneliti sastra Batak ia pernah menjadi dosen di IKIP Medan dan USU. Lulusan Universitas  Hamburg ini thesis dan disertasinya tentang sastra Batak.
[12] Uli Kozok, Warisan Leluhur—Sastra Lama dan Aksara Batak (Kepustakaan Populer Gramedia dan Ecole Francaise d’Extreme-Orient, 1999).
[13] Wawancara dengan R. Ardin Ujung di Sidikalang pada 7 Oktober  2008.
[14] Wawancara dengan para narasumber Pakpak di Sidikalang pada 7 Oktober  2008.
[15] Wawancara dengan Ranap Ompusunggu di Sidikalang pada 7 Oktober  2008.
[16] Wawancara dengan para narasumber Pakpak di Sidikalang pada 7 Oktober  2008.
[17] Wawancara dengan Abner Togatorop, mantan guru dan anggota DPRD Dairi,  di Sidikalang pada 7 Oktober  2008.
[18] Wawancara dengan Abner Togatorop di Sidikalang pada 7 Oktober  2008.
[19] Tulisan ini dirujuk putranya, Saulus Peranginangin Pinem, dalam wawancara di Sidikalang 9 Oktober 2008.
[20] Wawancara dengan para narasumber di Sidikalang di Sidikalang pada 7-9 Oktober  2008.
[21] Seperti kata para narasumber, siapa pun  yang masuk Tanah Karo akan terserap budaya Karo.
[22] Lihat pelbagai tulisan Martin Lukito Sinaga dan Limantina Sialoho di majalah TATAP.  
[23] Wawancara dengan S. Cyrus Purba  di Sidikalang pada 7 Oktober  2008.

Dipetik dari buku DAIRI DALAM KILATAN SEJARAH, karangan Jansen Sinamo, Flores Tanjung, dan Hasudungan Sirait
You might also like:

Share this Article on :
Pakpak Bharat Blog15:440 Comments dan 0 Reactions
Budaya PakpakDisqus





















1 komentar: